TintaSiyasi.com -- Cendekiawan Muslim Ustaz Ismail Yusanto mengatakan bahwa khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. "Loh, khilafah itu bagian dari ajaran Islam. Ijtimakk ulama November 2021 di Jakarta dengan tegas mengatakan khilafah itu bagian dari ajaran Islam," katanya dalam Live Streaming TV One: Catatan Demokrasi, Selasa (08/02/2022).
"Oleh karena itu, ijtimak tersebut mengatakan bahwa tidak boleh ada upaya stigma buruk sedemikian rupa, membuat seolah-olah jihad dan khilafah itu bukan bagian dari ajaran Islam," sambungnya.
Menurut dia, khilafah wajib diserukan dan didakwahkan kepada umat manusia. "Nah, kalau khilafah seperti apa, itu sudah fase berikutnya lagi. Di situlah sebenarnya kita memerlukan ruang dan waktu untuk mendiskusikan topik-topik semacam ini," bebernya.
Ia menyoroti realitas tidak diterapkannya Islam di beberapa aspek kehidupan dari dua hal, yaitu perintah Allah Subhanahu wa Taala yang belum dilaksanakan dan dinamika masyarakat.
"Jadi, ini ada dua hal yang saya kira penting untuk kita pahami. Pertama, misalnya kita ambil contoh yang ringan ya, sistem perbankan kita itu kan ribawi, ya kan," katanya.
Di dalam Islam, menurut Ustaz Ismail, jelas disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Taala di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 275,
Ùˆَاَ ØَÙ„َّ اللّٰÙ‡ُ الْبَÙŠْعَ ÙˆَØَرَّÙ…َ الرِّبٰوا ۗ
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.
"Sistem perbankan yang ribawi ini, akan kita biarkan atau ayat tersebut tidak kita sampaikan. Dengan alasan bahwa ini sudah ada begini ataukah tetap kita sampaikan? Mestinya tetap kita sampaikan, bahwa riba itu haram," ungkapnya.
Kedua, ia memaparkan sistem yang masih berjalan seperti sekarang adalah fakta-fakta sosial politik yang merupakan produk atau hasil dari dinamika masyarakat. "Poinnya adalah perubahan itu adalah produk dinamika masyarakat," cetusnya.
Sebagaimana dulu Orde Baru melarang kerudung di SMA, lanjut dia, akhirnya sebelas tahun kemudian diterima sebagai bagian integral dari seragam SMA, SMP, bahkan SD karena dakwah yang dilakukan secara terus menerus.
"Jadi ini dakwah, kalau dakwah, ya dibiarkan dakwah. Nah, kemudian masyarakat menerima atau tidak itu soal kedua, karena kewajiban kita memang menyampaikan," lanjut dia.
Ustaz Ismail menyampaikan perkara dakwah khilafah adalah kewajiban untuk disampaikan kepada umat. “Perkara umat menolak, tidak bisa dipaksakan. Namun faktanya belum seberapa didakwahkan sudah dilarang, bagaimana kemudian umat bisa paham ajaran agamanya. Sementara di waktu yang bersamaan ada pihak lain yang membingkai dan mendiskreditkan khilafah yang merupakan ajaran Islam tersebut," bebernya.
"Ketika dihentikan, lalu mereka membingkai dan mendiskreditkan paham itu, sementara kita tidak punya kesempatan untuk menjelaskan," imbuhnya.
Amar Makruf Nahi Mungkar
Adapun perkara mengkritik pemerintah, cendekiawan Muslim menyatakan bahwa mengkritik pemerintah adalah kewajiban dan bagian dari amar makruf nahi mungkar.
"Mestinya kita bisa memahami kenapa orang itu misalnya, mengkritik pemerintah. Karena itu kewajiban, bagian dari amar makruf nahi mungkar," bebernya.
Ia menjelaskan bahwa sebagai seorang Muslim, manusia mempunyai kewajiban menyeru sesamanya ke jalan Allah yaitu dakwah.
"Kalau di dalam Al-Quran disebutkan, اُدْعُ اِÙ„ٰÙ‰ سَبِÙŠْÙ„ِ رَبِّÙƒَ بِا Ù„ْØِÙƒْÙ…َØ©ِ, ‘Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah.’," kutipnya.
Dia menyebut perintah di dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 125 harusnya dipahami dan ditaati oleh setiap Muslim sebagai perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Makna dengan hikmah adalah dengan hujah, yaitu dengan argumen yang kuat dan kokoh. Argumen yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah," tandasnya.
Menurutnya, kritik terhadap pemerintah atau penguasa yang merupakan bagian dari dakwah, harusnya dipahami sebagai bentuk kepedulian, bahkan kecintaan kepada bangsa dan negara.
"Bayangkan kalau pemimpin ini dibiarkan jalan, terus salah, dibiarkan segala macem. Ini bisa membawa bangsa dan negara yang luar biasa besarnya ini ke jurang kehancuran itu," ujarnya.
Sehingga, kata cendekiawan Muslim jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu, penyebutan kriteria penceramah radikal yang anti pemerintah harusnya diletakkan secara tepat.
"Kritik itu bagian dari amar makruf nahi mungar, tidak boleh dipahami sebagai yang dikatakan anti, karena anti itu adalah sesuatu yang kategorial sebagai sikap politik, kan gitu," pungkasnya.[] Heni Trinawati
0 Comments