Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Beredar Daftar Penceramah Radikal, Prof. Suteki: Ilegal dan Ngawur

TintaSiyasi.com -- Beredar daftar penceramah terindikasi intoleran dan radikal di dunia maya dinilai Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. ilegal dan ngawur. 

"Daftar ilegal yang beredar ini sudah beberapa kali terjadi. Saya sebut ilegal karena tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas penerbitan daftar ngawur tersebut. Saya ada di nomer 39 (HTI, Semarang). Apa dasar pengelompokan, kriterianya apa? Apakah ukurannya lima karakteristik radikalisme yg dikeluarkan oleh BNPT itu?" ulasnya dalam segmen Tanya Profesor: Terdaftar Penceramah Radikal: Felix Siauw Runner Up, Prof. Suteki No. 39, di kanal YouTube Prof. Suteki, Senin (7/3/2022). 

Prof. Suteki, sapaan akrabnya, mengkhawatirkan daftar ini akan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat karena adanya polarisasi penceramah, ustaz dengan ukuran yang ngawur.   

"Bahaya ini! Negara harus bertindak. Aparat penegak hukum (APH), presiden, Menteri Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), kalau perlu terjun untuk klarifikasi daftar ilegal tersebut. Jangan dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan resistensi dan pergolakan kegaduhan dlm masyarakat," ujarnya. 

Guru besar Fakultas Hukum Undip ini berpesan, kalau tahu daftar itu ilegal, sebaiknya jangan dikonsumsi. Apalagi menurutnya, indikator radikal juga tidak jelas.

"Saya berani mengatakan bahwa nomenklatur radikalisme itu obscure (kabur) dan lentur serta lebih bernuansa politik daripada hukum. Tidak ada satu UU pun yang menjadikan radikalisme sebagai tindak pidana. Kalau terorisme jelas," cetusnya.

Ia menduga kenapa radikalisme ini terus dihembuskan karena isu terorisme sudah tidak laku lagi untuk menjerat orang yang tidak sepaham, beda paham, berseberangan dengan kebijakan pemerintah, karena kriteria terorisme lebih jelas disebutkan dalam UU Terorisme. 

"Nah, ketika penguasa hendak menjerat, menghukumi orang-orang yang beda pendapat itu, maka akan dicari narasi yang lebih sempit lubang jaringnya meskipun obscure dan lentur. War on radicalisme telah menggantikan kedigdayaan isu war on terrorism," imbuhnya. 

Selanjutnya Prof. Suteki mengajak mengkritisi kriteria radikalis itu seperti apa. Menurutnya, BNPT menyebut penceramah radikal adalah yang mengajarkan ajaran yang anti-Pancasila dan proideologi khilafah transnasional. Ia menilai, Kriteria pertama ini tendensius dan rawan dijadikan alat gebuk pada ajaran Islam khilafah. 

"Ajaran yang bertentangan dengan Pancasila, tidak pernah didefinisikan secara jujur. Kapitalisme liberal yang diterapkan di negeri ini, yang menyebabkan rakyat sengsara, seluruh tambang dikuasai swasta, asing, dan aseng, tidak pernah disebut bertentangan dengan Pancasila. Komunisme dan sosialisme, juga tidak diungkap. Pancasila hanya dijadikan alat gebuk kepada Islam dan ajarannya, baik jihad dan terkhusus khilafah," jelasnya.

Padahal katanya, MUI memberikan rekomendasi kepada masyarakat dan pemerintah agar jihad dan khilafah tidak dipandang negatif, karena dalam Ijtima' Ulama Komisi Fatwa MUI ke VII, MUI menegaskan jihad dan khilafah adalah ajaran Islam. 

"Apakah BNPT mau membangkang pada fatwa MUI ? Sudah jelas, dalam urusan ajaran Islam khilafah, MUI lebih berkompeten ketimbang BNPT. Jadi benarkah orang yang mengajarkan dan setuju ajaran Islam khilafah itu menjadi kriteria seseorang untuk disebut radikalis? Tidak benar!" ungkapnya. 

Ia meminta masyarakat agar mengabaikan daftar "gendheng", bodong, ilegal dan ngawur itu, dan lebih dewasa dalam menyikapi isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

"Tabayun, konfirmasi, dan tetap istiqamah terhadap ajaran islam. Itu yang dapat menyelamatkan kehidupan pribadi dan masyarakat, baik di dunia maupun akhirat," pungkasnya. [] Puspita Satyawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments