Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Marak Perundungan Anak, Apa Masalah Utamanya?


TintaSiyasi.com -- Kasus perundungan (bullying) yang berujung kematian kembali terjadi, kali ini menimpa bocah kelas 2 SD. Bocah berinisial MH (9) merupakan seorang siswi di Sekolah Dasar (SD) Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa barat. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, aksi perundungan terhadap korban berlangsung dua hari (15-16/05). 

Aksi perundungan dilakukan di tempat yang berbeda. Hari pertama (15/05), korban dianiaya di lingkungan sekolah. Kemudian hari kedua (16/05), korban mendapat perundungan di belakang sekolah atau di dekat toilet sekolah. Inisial HY (52) yang merupakan kakek korban mengatakan, cucunya memberi tahu dokter bahwa rasa sakit di dada dan punggungnya serta sesak nafas yang dirasakannya akibat telah dikeroyok oleh empat siswa SD. Korban menyebut, empat pelaku tersebut ada yang duduk di kelas 5 SD, kelas 4 SD dan kelas 2 SD. 

Menurut keterangan dokter, HY menyebut, korban mengalami luka fatal di bagian dada, punggung, kepala dan rahang. Karenanya, korban sempat dirawat di Rumah Sakit selama empat hari hingga menghembuskan nafas terakhirnya pada Sabtu (20/05) pagi. (CNNIndonesia.com , 22 Mei 2023). Sungguh miris melihat generasi saat ini. Perilaku anak makin sadis dan bengis menambah catatan merah kerusakan pada generasi.

Fenomena perundungan (bullying) terhadap anak kerap kali terjadi dan pengaplikasiannya pun kian bertambah parah. Jika dahulu kasus perundungan hanya menimpa pelajar tingkat SMP dan SMA, kini kasus perundungan telah menjamur menimpa siswa yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Jenis perundungan yang sering dialami korban beragam, mulai dari verbal, fisik hingga sosial di dunia nyata maupun di dunia maya. 

Perundungan saat ini mengalami kenaikan signifikan, KPAI mencatat sepanjang tahun 2022 ada sekitar 226 kasus perundungan atau meningkat empat kali lipat dibanding tahun 2021. Perundungan di sekolah berpotensi terus terjadi. Survei Mendikbudristek memperkuat hal ini. Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia di level SD/Madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan di lingkungan sekolah. (Merdeka.com)

Artinya, perundungan (bullying) menjadi ancaman bagi anak-anak. Mengapa kasus perundungan seolah tak memiliki ujung penyelesaian ? Dimana letak masalah utamanya ? Padahal, seperangkat kebijakan pendidikan untuk mengatasi maraknya perundungan di lingkungan sekolah sudah diupayakan. 


Buah Pahit Didikan Sekuler Liberal

Adanya kasus perundungan yang tak berkesudahan merupakan dampak dari penerapan sistem kehidupan sekuler, paham pemisahan agama dari realitas kehidupan setiap individu sehingga menjauhkan generasi dari hakikat penciptaan manusia sebagai hamba Allah yang taat dan terikat dengan syariat. Berbagai faktor yang mempengaruhi maraknya kasus perundungan terhadap anak.

Pertama, kebijakan negara dalam menciptakan kurikulum pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai sekuler. Pernahkah kita berpikir lebih mendalam (al-fikru al-'amiq ) ? Begitu banyak sekolah, baik yang berbasis Islam maupun umum dengan sistem yang dinilai baik, tapi nyatanya belum cukup mampu menangkal dan mencegah kasus perundungan. Inilah konsekuensi yang harus dihadapi ketika negara lebih memilih penerapan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis akidah sekulerisme. Daya rusak akidah ini sangatlah dahsyat. Lihat saja, betapa perilaku generasi yang makin ke sini makin jauh dari karakter umat terbaik (khairu ummah). Perundungan, kekerasan seksual, narkoba, perzinaan, bunuh diri, tawuran, pembunuhan dan sebagian kerap mengintai generasi saat ini. 

Kedua, bentuk pola asuh sekuler liberal yang diberikan orang tua dalam membentuk kepribadian anak, seperti kebebasan berekspresi dan berperilaku, menjadi faktor pemicu mudahnya anak-anak mengakses tontonan yang berbau kekerasan. Beberapa kasus perundungan yang menimpa siswa SD tersinyalir karena pelaku sering mengakses konten kekerasan melalui ponsel. Faktor kebebasan (liberalisme) ini pula yang menjadi model bagi orang tua dalam mendidik anak-anak mereka sehingga anak-anak mendapat lebih banyak kemudahan dalam menggunakan teknologi tanpa pengawasan, jadilah mereka peniru atau dengan bahasa lain mencopy paste konten kekerasan yang diakses.

Tidak hanya itu, pola asuh mendidik ala sekuler liberal mengakibatkan anak tidak kental dengan nuansa keimanan di rumah, keimanan yang kental dan kuat hanya didapat apabila akidah yang tertanam sangat kokoh. Budaya liberalisme, seperti bolehnya berpacaran, bersikap permisif (serba boleh), tidak ada sanksi/hukuman ketika anak berbuat salah atau melanggar syariat-Nya, pembelaan buta terhadap kesalahan yang anak perbuat, terkadang juga menjadi bibit perilaku perundungan (bullying) terhadap orang lain. 

Ketiga, kehidupan masyarakat individualis akibat sistem kapitalis sekuler mengikis habis kepedulian antarsesama. Masyarakat cenderung bersikap apatis ketika terjadi kriminalitas atau perbuatan yang mengarah kepada perundungan jika yang dirundung (bullying) itu bukan anak mereka. Akibat sistem kapitalis sekuler, masyarakat tumbuh menjadi manusia mudah kalap, tersulut emosi dan kemarahannya. Akhirnya, saling membalas perilaku dengan kekerasan. Perilaku mencela dan menghina secara verbal masih dianggap wajar dan sekedar perilaku normal kenakalan anak-anak 'toh masih anak-anak, belum tau apa-apa', tanpa sadar jika model masyarakat seperti ini dibiarkan terus berjalan, tidak dipungkiri anak-anak juga akan terpengaruh dengan karakter masyarakat tempat mereka tumbuh dan berkembang. 

Ketiga point di atas menunjukkan betapa pentingnya peran pemangku atau pembuat kebijakan (negara), keluarga terutama orang tua dan masyarakat dalam mencegah perundungan agar tidak kembali terjadi. 


Stop Perundungan dengan Islam 

Jika kita bercermin pada peradaban Islam, profil generasi yang dihasilkan sungguh sangat bertolak belakang dengan generasi yang dihasilkan sistem saat itu yakni kapitalis sekuler yang berasaskan liberalisme. Dalam sistem Islam, akidah merupakan landasan dasar pendidikan yang membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islamiyah), tidak heran jika pada masa Islam tampil sebagai peradaban dunia telah lahir begitu banyak individu yang berkepribadian Islam, berakhlak mulia dan unggul dalam ilmu dunia seperti sains, matematika, dll. Setidaknya ada empat faktor yang menjadi kunci kesuksesan tersebut. 

Pertama, keimanan sebagai landasan setiap perbuatan yang menjadi benteng dari perilaku sadis dan bengis, perundungan (bullying), misalnya. Seseorang yang memahami Islam secara benar dan kaffah akan menjauhkan diri dari perbuatan yang sifatnya tercela. Ia menyadari konsekuensi sebagai hamba Allah yakni menaati setiap perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya. 

Kedua, menciptakan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Negara Islam menerapkan sistem pendidikan Islam di semua jenjang sekolah dan satuan pendidikan. Jika sistem pendidikannya baik, maka output yang dicetaknya pun generasi yang baik. Negara juga harus menjalankan fungsinya sebagai pengontrol media dan informasi yang mudah diakses anak-anak, tidak boleh ada konten yang mempertontonkan kekerasan, sebaliknya yang ada hanya konten-konten edukasi mengenai pemahaman Islam kaffah. 

Ketiga, dengan landasan akidah Islam, pola asuh orang tua ketika mendidik anak pun berubah. Nuansa keimanan akan terbentuk dalam lingkup keluarga. Ketika anak kenyang dengan perhatian dan kasih sayang orang tua, jelas ia akan tumbuh menjadi pribadi yang hangat, peduli sesama dan tidak mudah mencela orang lain. Tentunya mengenyangkan anak dengan perhatian dan kasih sayang bukan berarti memenuhi setiap keinginannya yang unfaedah. 

Keempat, penerapan sistem pergaulan sosial berasaskan syariat Islam (al-ijtima'i fil Islam) akan melahirkan masyarakat yang bertakwa. Masyarakat yang dibangun dengan budaya amar makruf nahi mungkar dengan sistem Islam kaffah akan menciptakan karakter gemar dakwah bagi setiap individu, tidak akan menoleransi tindakan dan perbuatan apapun yang bertentangan dengan syariat Islam, termasuk perundungan (bullying). 

Kasus perundungan tidak akan menuai penyelesaian dengan seruan revolusi mental, pendidikan berkarakter ataupun kampanye anti bullying. Sesungguhnya akar utama masalah perundungan adalah sistem kehidupan sekuler liberal yang rusak dan merusak. Sebaliknya, permasalahan generasi saat ini akan menuai penyelesaian dengan mengembalikan peradaban Islam yang komprehensif dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara melalui institusi Khilafah. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Sartika
(Tim Pena Ideologis Maros)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments