Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kasus BSI: Mempertanyakan Kemampuan Negara atas Jaminan Keamanan Data

TintaSiyasi.com -- Seiring perkembangan teknologi digital, kasus kebocoran data makin marak terjadi. Belakangan ini masyarakat terkhususnya yang merupakan nasabah BSI kembali diresahkan akibat adanya gangguan yang terjadi pada sistem Bank Syariah Islam (BSI) dan mengancam keamanan data mereka. Adanya gangguan pada sistem BSI ini melahirkan tanya akan kemampuan negara dalam melindungi data rakyat. 

Sistem eror tersebut menimbulkan kerugian yang besar dan mengakibatkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan bank dan pemerintah. Kini menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana hal ini bisa terjadi? Di mana tanggung jawab negara melindungi data nasabah? Siapa yang akan menanggung kerugian rakyat? Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi hal tersebut?

Berbagai fakta berikut ini menjadi sumber bukti dari keresahan tersebut, yakni mengutip dari laman website www.cnnIndonesia.com (13 Mei 2023), diketahui Bank Syariah Indonesia (BSI) diduga menjadi korban serangan ransomware Lockbit 3.0 dengan total data yang dicuri dari serangan diduga mencapai 1,5 TB. Data-data pelanggan yang bocor di antaranya adalah nama, nomor ponsel, alamat, saldo di rekening, riwayat transaksi, tanggal pembukaan rekening, informasi pekerjaan, dan beberapa data lainnya. 

Kasus teretasnya data nasabah BSI sebenarnya adalah yang kesekian kalinya terjadi.  Hal inilah yang menggiring munculnya berbagai pertanyaan besar dari warga tentang siapa yang bertanggung jawab atas jaminan keamanan dan perlindungan data rakyat ? Sebagaimana yang kita tahu bersama bahwa data digital merupakan entitas yang sangat berharga bagi para pengelolanya dalam meraup cuan sebanyak-banyaknya.

Lebih lanjut dari sumber yang sama www.cnnindonesia.com (13 Mei 2023), diinformasikan bahwa pada 2021 NielsenIQ mencatat jumlah konsumen belanja online di Indonesia yang menggunakan e-commerce mencapai 32 juta orang. Jumlahnya melesat 88 persen dibandingkan 2020 yang hanya 17 juta orang. Penting dipahami bahwa bagi perbankan sebagai penyedia layanan jasa keuangan, data digital nasabah haruslah dijaga secara rahasia agar mereka terus mendapat keuntungan dari nasabahnya. Sedangkan bagi hacker, data tersebut merupakan pundi-pundi uang jika berhasil mereka retas. Artinya jelas bahwa data digital rakyat atau nasabah akan menjadi penting bagi kedua belah pihak.

Sahabat beriman, hidup dalam sistem kapitalisme seperti saat ini menjadikan kasus kebocoran data adalah suatu niscaya. Mengapa? Sebab sistem yang berasaskan manfaat dengan akidahnya yang sekuler ini membuat cara pandang manusia berorientasi pada materi. Untuk mencari keuntungan, berbagi carapun dihalalkan meskipun harus merugikan orang lain. Mendapati fakta ini tentu saja negara harus segera turun tangan  untuk menyelesaikan. Sayangnya sistem bathil kapitalisme menjadikan negara tidak berfungsi sebagaimana seharusnya.

Adanya disfungsi negara dalam sistem kapitalisme inilah yang membuat negara tidak mampu memberikan jaminan sebagai penyedia utama kenyamanan, perlindungan dan keamanan bagi setiap warganya. Negara kapitalisme hanya menjadi regulator dan fasilitator. Maka jangan heran dengan banyaknya kasus peretasan yang merugikan rakyat solusi yang diberikan hanya membuat RUU Perli dungan Data Pribadi (PDP).

Segala kekacauan dalam sistem kapitalisme ini tentu saja tidak akan terjadi jika diatur oleh sistem pemerintah Islam yakni Khilafah. Alasannya sebab khilafah adalah sebuah negara yang hadir sebagai perisai akan melindungi warga negaranya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. berikut:
“Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang yang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya’’ ( HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).


Dengan landasan inilah kasus peretasan tidak akan mudah bahkan mustahil terjadi. Khilafah akan proaktif menjaga, melindungi dan menjamin keamanan data rakyat termasuk harta rakyatnya. Lebih dari itu perlindungan data pribadi menjadi satu hal yang sangat penting sebab terkait dengan pertahanan nasional. Khilafah sangat memahami arus digitalisasi yang kerap menawarkan kecepatan dan kemudahan namun pada saat yang sama manyadari arus ini juga membawa potensi kejahatan online seperti hacking  atau sosial engineering. Karenanya, khilafah akan mengerahkan tim IT negara untuk menciptakan mekanisme perlindungan terkuat dengan teknologi yang paling canggih dan terbaru. 

Khilafah tentu saja tidak akan berhenti pada sistem mobile app shielding multifactor authentication, dan electronic signature yang saat ini banyak digunakan sebagai pelindung data digital melainkan khilafah akan terus melakukan inovasi, riset, evaluasi teknologi dan peningkatan layanan. Tugas ini akan diemban secara penuh oleh khilafah. Khilafah tidak akan membiarkan pihak swasta menjadi pelayan utama perlindungan data warga negara seperti yang terjadi saat ini. Pihak swasta hanya diperbolehkan menjadi pendukung dan pembantu negara untuk melayani masyarakat. 

Selain optimal di sisi perannya sebagai negara, khilafah akan memastikan para pegawai negara khusunya mereka yang bertugas melayani pendataan digital adalah orang yang amanah dan profesional. Kriteria ini akan menajdi penjaga dari sisi factor human error  sebab adanya idraksillah billah atau kesadaran hubungannya dengan Allah menjadikannya lurus dalam tugasnya. Ditambah kemampuan yang memadai manjdaikannya ahli dalam bidangnya sehingga meminimalisir kekeliruan.

Selanjutnya jika terjadi kasus peretasan, khilafah mempunyai sistem sanksi atau uqubat yang akan membuat siapapun jera. Tindakan peretasan, kecurangan, penipuan, dan seluruh jenis kejahatan cyber lainnya yang membuat data bocor adalah tindakan yang merugikan orang lain bahkan negara. Dalam sanksi Islam, pelaku akan diberi sanksi takzir. Syekh Abdurrohman Al Maliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa takzir adalah sanksi pidana untuk perbuatan-perbuatan atau kejahatan-kejahatan yang hukumnya tidak diatur dalam nash (AL-Qur’an dan Al-Hadist). Hukuman yang diberikan akan diserahkan pada ijtihad qadhi (hakim) atau khilafah. 

Hukumannya akan diberikn sesuai kadar kejahatan. Hukuman yang paling ringan adalah pewartaan, hingga yang paling berat adalah hukuman mati. Keistimewaan sanksi yang diterapkan khilafah ini akan memberikan efek jawabir (penebus dosa pelaku) dan zawajir (pencegah ditengah-tengah masyarakat). Jika negara telah memberikan perlindungan yang optimal, para pegawai menjalankan tugasya dengan benar, dan pelaku dihukum sesuai kadar kejahatannya tentu perlindungan data warga negara bukan sesuatu yang mustahil dapat diwujudkan. Tentu saja semua kemaslahatan ini akan niscaya terjadi jika umat saat ini berada dalam naungan sistem khilalfah. Untuk itu, yuk perjuangkan tegaknya Khilafah. Allahu Akbar 

Wallahu alam bishawab

Oleh: Aisyah Humaira
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments