Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pesantren Kok di Dalam Lapas?


TintaSiyasi.com -- Lapas atau biasa dikenal dengan lembaga kemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap nara pidana atau anak didik kemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal dengan istilah lapas di Indonesia tempat tersebut dikenal dengan istilah penjara. Namun, apa jadinya lapas dikreasikan manjadi berbasis pesantren.

Lapas kelas III di Kabupaten Lama Puluh Kota, Sumatera Barat ditetapkan menjadi lapas berbasis pesantren untuk menginovasi pembinaan kepribadian bagi penghuni lapas. Haris Kusamto, Kepala Kanwil Kemenkumhan Sumbar, menyatakan bahwa pembinaan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan membangun pondasi diri warga binaan agar tidak melakukan pelanggaran lagi (Detik.com, 07/03/2023).

Pembinaan ini dilakukan kepada 101 penghuni lapas yang merupakan mayoritas Islam. Kegiatan rutin yaitu tadarus Al-Qur'an yang diikuti dengan mempelajari, memahami, dan mengkaji. Kalapas Suliki Kameswor, menyebutkan program dilaksanakan tidak hanya tadarus tetapi juga pembelajaran akidah, akhlak, tarikh Islam, tahsin dan tahfiz Qur’an. Kalapas sendiri bahkan memiliki harapan lebih kepada warga binaan dilapas ini agar setelah keluar dari tempat itu bisa menjadi muazzin, guru mengaji, dan menjadi imam di masjid (Sumbar.kemenkumham, 06/03/2023).


Mungkinkah Ini Menjadi Solusi?

Jika melihat fenomena kejahatan yang tengah terjadi hari ini sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat. Di kutip dari laman data Indonesia, Polri mencatat terdapat 276.507 kasus kejahatan yang terjadi sepanjang tahun 2022, jumlah tersebut mengalami kenaikan 7,3% dari tahun sebelumnya. Dengan demikian terdapat 1 kejahatan setiap menit dua detik dan setiap jam nya terdapat 31,6 kejahatan yang terjadi dalam negeri. Sedangkan Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM melaporkan jumlah warga binaan kemasyarakan (WBP) di Indonesia sebanyak 273.822 orang pada 27 April 2022 dari jumlah tersebut mayoritas mendekam dipenjara karena kasus narkoba dan posisi kedua disusul oleh pidana umum sebanyak 132.367 orang. Pasalnya peredaran miras terus mengalami peningkatan bahkan sudah menjadi pemasukan bagi negara. Jelas barang haram yang terlarang ini menjadi cikal bakal dari kejahatan.

Faktor utama menjamurnya kejahatan dan kriminalitas ialah karena rusaknya regulasi dan sistem hukum yang ada. Buktinya dari ribuan kasus yang terjadi tidak ada satu pun hukuman yang mampu memberikan efek jera kepada pelaku tetapi makin hari kejahatan malah tumbuh subur. Seharusnya pemerintah melakukan tindakan preventif dan kuratif. Namun pada kenyataannya hukum hanya mengambil tindakan kuratif (penyembuhan) sedangkan preventif (pencegahan) tidak pernah dilakukan. Hal ini terlihat dari tindakan yang menjadikan pesantren di dalam lapas.

Pendidikan akhlak, akidah, dan memahami Al-Qura’n harus dilakukan sejak dini pada anak-anak melalui regulasi pendidikan untuk membentuk pribadi yang bertakwa. Bukan ketika seseorang sudah masuk lapas barulah semua pemahaman tentang Islam dipahamkan dan berharap warga binaan dalam lapas memiliki kesadaran menjadi orang berakhlak mulia dan panutan. Ini sebuah tindakan yang tidak masuk akal dilakukan oleh pemerintah, pasalnya pencegahan dilakukan setelah terjadinya kejahatan. Demikianlah bila hukum dipegang oleh sistem kufur menjadikan keterbatasan akal sebagai sumber hukum.

Sehingga langkah menjadikan lapas basis pesantern bukanlah langkah yang tepat untuk mengatasi tindak kejahatan dan kriminalitas yang terjadi. Maka langkah yang harus diupayakan oleh pemerintah adalah bagaimana tidak ada lagi terjadi kejahatan sehingga tidak perlu lagi mendirikan lapas.


Lalu Bagaimana Islam Menanggapi Hal Ini?

Islam memandang bahwa kejahatan merupakan perbuatan tercela dan keluar dari fitrahnya manusia. Kejahatan ialah perbuatan yang keluar dari apa yang Allah tetapkan dalam hukum syarak ketika hukum syarak sudah menetapkan bahwa perbuatan itu tercela maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan tanpa memandang apakah itu kecil atau besar. Syarak sudah menetapkan bahwa perbuatan tercela sebagai dosa yang harus dikenai sangsi dapat di akhirat dan di dunia.

Maka di sinilah peran negara Islam yaitu menerapkan hukum Allah untuk menjaga umat agar tetap berada dalam koridor Islam serta negara juga menjadi perisai dan pengurus bagi rakyatnya. Apabila tidak ditetapkannya syariat Islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan di tengah masyarakat seperti yang terjadi hari ini. Setelah negara menerapkan hukum Allah dan terjadi pelanggaran maka akan dikenai sangsi dapat di akhirat dan dapat di dunia. Sangsi di akhirat berupa azab yang Allah berikan di akhirat kelak tetapi manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk bertobat sebelum ia meninggal. Sedangkan sangsi di dunia dijalankan oleh negara dengan cara menjalankan hudud Allah. Hukuman (uqubat) berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Zawajir untuk mencegah manusia berbuat pelanggaran dan sangsi disaksikan orang ramai sehingga menimbulkan rasa takut apabila melakukan pelanggaran. Pemberian hukum dunia akan menggugurkan sangsi di akhirat. Sama halnya yang dilakukan oleh Gmidiyyah, ia berkata kepada Rasulullah “Ya Rasulullah sucikanlah aku” kemudian ia dirajam hingga mati.

Demikianlah negara Islam mengatur, sebelum diberikannya hukuman maka negara bertanggung jawab menerapkan hukum Allah secara sempurna agar tidak terjadi pelanggaran, dengan menanamkan pendidikan sehingga terbentuk pola sikap dan pola berpikir islami agar umat takut berbuat jahat maupun tindak kriminal, negara juga menerapkan sistem ekonomi, pergaulan, dan lainnya hingga tercipta masyarakat islami. Ketika terjadi pelanggaran maka harus dihukum berdasarkan hukum Allah. Bukan seperti sekarang, pembinaan Akidah dilakukan setelah terjadi pelanggaran, tentu ini bukan solusi yang mengakar untuk menumpas segala kejahatan yang ada. []


Oleh: Putri Cahaya Illahi
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments