Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pajak, Upeti ala Kapitalisme


TintaSiyasi.com -- Mengawali tahun 2023, rakyat harus menelan pil pahit kebijakan pemerintah, per Minggu 1 Januari 2023 berlaku tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, maka pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal, yakni menerbitkan aturan baru mengenai tarif baru pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan.

Hal ini telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah diteken Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022.

Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak. Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak. Tapi untuk WNA dengan keahlian khusus, dikecualikan dari pengenaan Pph tersebut.
 

Pajak dalam Kapitalisme

Dalam sistem demokrasi kapitalisme, memang meniscayakan negara mengambil pajak dari rakyat untuk keberlangsungan jalannya pemerintahan.

Karena penerimaan pajak merupakan sumber pemasukan negara, maka segala cara di genjot untuk memenuhinya. Dan untuk tahun 2023, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun. 

Oleh karenanya strategi dan kebijakan pun disusun untuk merespon sejumlah ancaman dan tantangan global tahun depan yang dapat mempengaruhi penerimaan pajak.

Inilah kabar buruk yang harus di terima rakyat. Pajak bagi rakyat adalah beban, apalagi di tengah kesulitan kehidupan saat ini, para pelaku usaha yang mulai bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat dampak dari pandemi, pun kembali harus menerima kenyataan pahit dengan beban pajak ini. 

Di sisi lain, rakyat pun tak semuanya bisa menikmati segala fasilitas dan pelayanan terbaik yang yang katanya di biayai dari penerimaan pajak. Jalan tol harus bayar, biaya pendidikan dan kesehatan makin mahal, kesejahteraan masih jauh dari jangkauan mereka. Belum lagi yang masuk di kantong para koruptor.

Peran negara yang sejatinya meriayah dan menjadi pelayan rakyat justru menjadi pemalak melalui pungutan pajak beserta kebijakanya yang semakin membebani rakyat, pajak ibarat upeti yang wajib di setor kepada sang raja.

Inilah akibat dari penerapan sistem kapitalisme yang dianut negeri ini, sistem yang dari akarnya salah dan susah untuk dihilangkan. Kapitalisme-Sekulerisme adalah sistem hidup yang dilandaskan standar materi dan pemisahan antara agama dari kehidupan.

Tak terelakkan, sumber pendapatan utama negara yang menerapkan Kapitalisme adalah pajak, selebihnya adalah utang, padahal kekayaan alam negeri ini begitu banyak namun rakyat dipungut pajak tak henti-hentinya, tersebab SDA yang melimpah ruah ini diserahkan kepada swasta dan asing untuk dikelola. 

Keuntungannya diambil oleh kapitalis, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan rakyat, utang menjadi solusinya. Karena pandangan negara dalam mengurus rakyat adalah untung rugi, maka harus ada imbalan yang didapatkan layaknnya pengusaha yang harus meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. 

Tidak ada makan siang gratis, dan pajak menjadi jalan bagi rakyat mengembalikan apa yang sudah negara berikan pada mereka sebagai imbalan atas pengurusan rakyat selama ini.


Islam dan Pengaturan Pajak

Dalam sistem Islam, ada satu mekanisme pungutan yang telah dipraktikkan dalam sejarah peradaban Islam yang disebut dengan sistem Baitul Mal.

Sistem Baitul Mal tidak memangkas pendapatan rakyat, sistem pemungutan di dalam baitulmal selalu mengacu kepada tingkat produktivitas.

Selain produktivitas, ada pemastian yang disebut dengan haul. Yaitu, akan dipungut apabila dalam rentang waktu 1 tahun tidak terjadi penurunan aset.

Kemudian, ada batas minimal yang disebut dengan nisab, untuk memastikan bahwa harta atau aset yang dipungut oleh negara itu tidak memangkas kebutuhan sehari-hari rakyat.

Di dalam sistem pemerintahan Islam yang paripurna, seluruh aspek kehidupan diatur dengan aturan yang terbaik, termasuk dalam pengelolaan dan pengaturan harta dan Anggaran Pendapatan Negara.

Dalam APBN Khilafah (APBN-K), sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: 
Pertama, fai’ [Anfal, Ghanimah, Khumus]; 
Kedua, jizyah; 
Ketiga, kharaj; 
Keempat, usyur; 
Kelima, harta milik umum yang dilindungi negara; 
Keenam, harta haram pejabat dan pegawai negara; 
Ketujuh, khumus rikaz dan tambang; 
Kedelapan, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris;
kesembilan, harta orang murtad.
Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan. 

Adapun pajak dalam sistem pemerintahan Islam hanya bersifat insidental saja, yakni saat baitul mal kosong sedangkan ada kewajiban negara yang harus terpenuhi. Itu pun untuk kalangan tertentu saja, yaitu orang yang memiliki kelebihan harta. Jadi tidak semua rakyat dikenakan pajak. Pajak pun tidak ditarik terus-menerus, jika kebutuhan negara terpenuhi maka penarikan pajak pun akan dihentikan.

Selain itu, kepemilikan SDA merupakan kepemilikan umum yang dikelola oleh negara yang di peruntukkan untuk kemaslahatan umat. Individu apalagi asing tidak bisa memiliki kekayaan SDA. 

Apabila seluruh aspek perekonomian negara berjalan di atas fondasi sistem ekonomi Islam, tentu saja tidak ada pajak yang akan membebani rakyat seperti saat ini. 

Pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’k.

Negara dalam sistem pemerintahan Islam juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain.

Dengan demikian hanya sistem islam yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan yang menyeluruh kepada seluruh rakyat.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Ema Darmawaty
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments