TintaSiyasi.com -- "Lebih baik mencegah daripada mengobati," Sebuah adagium yang tepat untuk kondisi saat ini, mengingat ongkos layanan kesehatan yang tidak murah di Indonesia. Rencana pemerintah mengurangi kuota peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) secara bertahap yang sudah dimulai sejak 2022 sampai tahun 2024 menyebabkan sebagian masyarakat miskin dan tidak mampu berpotensi tidak mendapat perlindungan jaminan kesehatan nasional (JKN). Selain itu keluhan mengenai sulitnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat juga masih dirasakan oleh sebagian masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia termasuk di kota Bekasi.
Sulitnya masyarakat yang tidak mampu untuk mengakses fasilitas kesehatan disorot oleh Jamkeswatch Bekasi, Jawa Barat. Jamkeswatch Bekasi meminta untuk permudah layanan BPJS Kesehatan sektor PBI pemerintah untuk mengakomodasi warga miskin yang sakit, namun belum terdaftar di kepesertaan.
Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Jamkeswatch Bekasi Nur Ali di Bekasi, Rabu mengatakan cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC) di Kota Bekasi sebetulnya sudah mencapai 95 persen lebih, namun pada praktiknya masih banyak warga miskin yang belum menerima manfaat kesehatan secara paripurna (antaranews.com, 14/12/2022). Sulitnya proses pendaftaran peserta BPJS Kesehatan untuk kategori PBI di Kota Bekasi masih terganjal sejumlah birokrasi yang menyulitkan warga. Mulai dari mengurus SKTM dari level RT hingga ke kelurahan, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial. Hal ini semakin meneguhkan ungkapan yang mengatakan bahwa "orang miskin dilarang sakit."
Potret Buram Sistem Kesehatan
Inilah potret buram sistem kesehatan di negeri ini, rumitnya mendapatkan akses pelayanan kesehatan hingga mahalnya biaya pelayanan kesehatan dalam lingkup sistem kapitalis. Birokrasi yang panjang dan berbelit harus ditempuh meski pasien sakit parah, bahkan tak sedikit berujung meregang nyawa. Tak heran jika banyak masyarakat yang mengeluhkan bahkan kecewa terhadap sistem kesehatan yang tak beres di negeri ini yang dirasa lebih mencari keuntungan materi dari pada nyawa manusia.
Hal tersebut wajar dalam sistem saat ini, karena kesehatan dalam sistem kapitalisme dipandang sebagai sektor komersil, konsep good governance yang menyerahkan pengurusan kemaslahatan rakyat pada korporasi merupakan implementasi kerangka berpikir kapitalistik. Konsep semacam ini menjadikan pemerintah abai dalam menjalankan fungsinya sebagai pengurus rakyat.
Di tengah kesempitan hidup yang dirasakan masyarakat Indonesia seperti sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari, naiknya harga bahan pokok yang semakin melambung, dll., tentu ini akan menambah beban hidup masyarakat khususnya pasca pandemi. Jika sudah begini maka rakyat miskin-lah yang lagi-lagi menjadi korban dari sistem kesehatan ini.
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Hal ini tentu sangat berbeda jauh dengan pelayanan kesehatan dalam Daulah Islam. Islam bukan hanya akidah ruhiyah tetapi juga merupakan akidah politik. Aspek politiknya terlihat dari pengaturan dan pemeliharaan syariat Islam atas urusan rakyat. Rasulullah dalam hadits riwayat al-Bukhari, mengatakan:
“Kepala negara (imam/khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”
Diantara tanggungjawab Imam atau Khalifah dalam Islam adalah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyatnya, dalam Islam kesehatan dipandang sebagai kebutuhan dasar masyarakat selain pendidikan dan keamanan.
Dalam Islam rakyat wajib mendapatkan jaminan kesehatan secara gratis (cuma-cuma), negara tidak boleh membebani biaya pada rakyat untuk mendapatkan layanan kesehatannya. Dana kesehatan rakyat akan ditanggung secara penuh oleh negara, adapun dana yang digunakan oleh negara berasal dari anggaran pos kepemilikan umum (baitul mal). Pos ini berasal dari harta kepemilikan umum yakni SDA (Sumber Daya Alam) yang dikelola secara mandiri tanpa intervensi pihak manapun.
Negara juga menyediakan layanan kesehatan, sarana dan prasarana yang mendukung. Dengan visi melayani kebutuhan rakyat secara menyeluruh, baik di kota-kota besar maupun di pelosok-pelosok desa, bahkan di dalam penjara sekalipun, hal itu demi terjaminnya layanan kesehatan bagi setiap masyarakatnya.
Pelayanan kesehatan prima diberikan kepada seluruh penduduk tanpa diskriminasi, tidak memandang status kaya maupun miskin, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda, Muslim ataupun non Muslim, semuanya mendapatkan layanan dengan kualitas yang sama.
Dalam sistem Islam tak perlu birokrasi berbelit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, karena sistem administrasi dalam Daulah Islam bersifat mempermudah bukan mempersulit. Tak ada pembeda dalam strata kelas ekonomi. Kelas sultan ataupun rakyat jelata semua berhak mendapatkan pelayanan kesehatan paripurna. Dari paparan di atas tentu semakin membuat kita merindukan sosok pemimpin yang mampu menerapkan Islam secara sempurna, yang mampu menjamin urusan-urusan rakyatnya termasuk dalam sistem kesehatan. Semoga pertolongan Allah segera datang, sehingga Khilafah kembali tegak di bumi Nya. Allahu Akbar!
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
Pemerhati Sosial dan Media
0 Comments