TintaSiyasi.com -- Warga Cianjur, Jawa Barat, kembali dikejutkan gempa susulan hingga berhamburan keluar rumah. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa magnitudo 1,9 terjadi pada pukul 18.42 WIB dengan pusat gempa di darat 6 kilometer Barat Laut Cianjur di kedalaamn 12 kilometer.
Sebelumnya BMKG mencatat, hingga 1 Januari 2023 pukul 06.00 WIB telah terjadi 445 gempa susulan, dengan magnitudo terbesar magnitudo 4,3 dan terkecil magnitudo 1,0 (kompas.com, 01Januari 2023).
Hal ini membuat warga panik, terlebih bagi mereka yang masih tinggal di pengungsian. Nasib para korban gempa Cianjur masih belum memiliki kepastian. Sejak satu bulan setelah gempa bumi berkekuatan 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat,sejumlah warga masih bertahan di tenda-tenda pengungsian,menanti kepastian untuk memulai kehidupan normal seperti dulu.
Di desa Cibeureum, Kecamatan Cugenang, masih ada warga yang belum menerima dana stimulan perbaikan rumah karena proses pendataan yang tidak akurat dan harus diulang. Selain itu, sebagai salah satu desa yang disebut dilalui patahan sesar aktif Cugenang, warga juga masih menanti kepastian apakah mereka akan terdampak relokasi atau tidak.
Sebelumnya, pemerintah menjanjikan dana bantuan sebesar Rp.60 juta untuk rumah rusak berat, Rp.30 juta untuk rumah rusak sedang, dan Rp.15 juta untuk rumah rusak ringan. Namun, pada proses verifikasi sebelumnya, ditemukan data yang tidak sesuai dengan kondusi riil rumah yang rusak. Oleh sebab itu, dilakukan verifikasi ulang dan berakibat mayoritas warga Desa Cibeureum masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, termasuk balita dan anak-anak. (www.bbc.com/22Des2022)
Tertundanya bantuan yang telah dijanjikan pemerintah kepada korban gempa menunjukkan ketidakoptimalan pemerintah dalam mengurusi korban gempa terlebih persoalan utamanya yaitu rumah tinggal. Seharusnya negara bergerak cepat untuk menyelesaikannya mengingat Cianjur adalah sesar gempa. Sebab, pemerintah adalah pihak utama yang paling bertanggungjawab dalam pencegahan dan penanggulangan segala sesuatu yang berbahaya bagi masyarakat. Ditambah fakta terbaru bahwa gempa masih terus terjadi sehingga tindakan cepat dari pemerintah sangat diperlukan untuk meminimalisir terjatuhnya banyak korban kembali akibat pencegaha ndan penanggulangan bencana yang terkesan lamban.
Namun, dalam sistem pemerintahan saat ini, mekanisme aturan terutama dalam memberikan bantuan atau pencegahan dan penanggulangan yang dibuat begitu rumit dan panjang sehingga hanya menghasilkan kelalaian dan tak terselesaikannya masalah.
Berbeda dengan Islam, Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadist yang artinya: ”Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia adalah (laksana) penggembala. Dan dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari).
Penanganan bencana alam mengharuskan adanya manajemen bencana yang jitu. Merujuk pada penanganan yang ada dalam sistem Islam akan ditemukan penanganan pra bencana, ketika bencana, dan sesudah bencana. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Al-Khattab ra, ketika menangani masa paceklik yang menimpa jazirah Arab. Pada saat itu, orang-orang mendatangi kota Madinah yang emnjadi pusat pemerintahan Islam untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Al-Khattab segera membentuk tim yang terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Yazid bin Ukhtinnamun, Abdurrahman bin Al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud ra. Setiap hari, keempat sahabat itu melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Al-Khattab sekaligus merancang apa yang akan dilakukan esok harinya.
Umar bin Al-Khattab menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah. Jumlah pengungsi yang mereka catat terus meningkat. Pengungsi tersebut mendapatkan pelayanan terbaik dari khalifah Umar bin Al-Khattab. Saat situasi telah kondusif, para pengungsi tersebut kembali ke tempat mereka seraya dibekali dengan kebutuhan yang mereka perlukan di masa awal kembali ke daerah.
Dalam pencegahan dan penanggulan bencana tentu memerlukan anggaran biaya. Anggaran ini disiapkan oleh pemerintahan Islam yang bersumber dari pos fa’i dan kharaj,dan pos kepemilikan umum. Adapun jika anggaran tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya diambil dari kaum muslim melalui pemungutan pajak. Hal ini diperbolehkan sebab syariah telah memerintahkan kaum muslim untuk memberi makan orang kelaparan, menolong orang yang kesulitan dan menyelamatkan orang dari bahaya. Hanya saja, pajak dipungut dari orang yang kaya saja. Begitulah pemerintahan dalam Islam menangani saat bencana dan pasca bencana.
Penanggulangan dan penanganan bencana yang terstruktur dan sistematis, serta memperhatikan kedaruratan yang harus diprioritaskan hanya ada dalam pemerintahan Islam. Dorongan iman dan syariah menjadi asas bagi pemerintahannya juga bagi masyarakatnya.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Lia A
Aktivis Muslimah
0 Comments