TintaSiyasi.com -- Pak Presiden Gelisah! Di Mana Urgensi Khilafah?
Presiden Joko Widodo membagikan kabar tak sedap mengenai ancaman dampak ekonomi global terhadap Indonesia. Kabar tersebut terkait dengan informasi yang diterimanya dari pimpinan IMF. Menurut informasi dari Managing Director IMF Kristalina Georgieva, sepertiga dunia terancam masuk ke jurang resesi. Kondisi ini lebih parah dari krisis finansial 97-98. (CNBC 19/01/2023). Kekhawatiran Jokowi ini ia ungkapkan saat keterangan pers di Istana Merdeka. Rabu,(18/01/2023)
Kegelisahan Jokowi bukan tanpa sebab, pasalnya jurang resesi yang diprediksi akan menimpa sepertiga negara dunia tersebut sudah nampak dan dirasakan dibeberapa negara Eropa, seperti Jerman, Italia, Prancis juga Amerika Serikat. Hal ini ditandai dengan tingginya inflasi di masing-masing negara tersebut. Sampai kemudian Bank-Bank sentral dunia berlomba untuk menaikan suku bunga sebagai jurus jitu sistem ekonomi kapitalis dalam menekan laju inflasi.
Indonesia tidak lepas dari ancaman jurang resesi ini. Slogan “Pulih Lebih Cepat Bangkit Lebih Kuat” pasca pandemi covid-19 nampaknya jauh dari harapan dan tidak berbanding lurus dengan kenyataan.
Indikasi Indonesia akan masuk ke jurang resesi bisa dilihat dari hal berikut:
Pertama, hutang pokok Indonesia tahun ini sudah mencapai, tujuh ribu triliun rupiah lebih. Belum termasuk bunga. Hal ini tentu akan semakin memberatkan pengeluaran negara. Selain itu, hutang yang merupakan hutang luar negeri ini bukanlah hutang sembarang hutang, melainkan ada konskwensi yang harus diterima dari negara pengutang. Konskwensi itu bisa berbentuk kebijakan bisa juga berbentuk barteran. Sungguh malang! Padahal Indonesia mayoritas berpenduduk muslim dan penyelenggara negara pun kebanyakan muslim yang dalam pandangan Islam hutang berbunga termasuk riba yang diharamkan.
Kedua, harga pangan dari berbagai komoditi seperti kacang kedelai dan bahan makanan pokok seperti beras; terus merangkak naik. Akibat ketergantungan pada impor. Dan ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa Indonesia tidak memiliki peta kemandirian pangan. Selain itu, belum ada regulasi tata kelola yang berkaitan dengan ini. Pemerintah lebih cenderung menghidupkan sektor non ril yang sejatinya semu dan merusak.
Ketiga, tidak adanya sumber energi yang dikuasai negara. Pengelolaan energi selama ini diserahkan kepihak swasta. Bahkan regulasi penetapan harga diserahkan ke mekanisme pasar dunia. Ini sangat riskan dan berbahaya. Kenapa? Karena akan terbentuk suatu pola hubungan penjual dan pembeli antara rakyat dan penguasa. Ditambah pihak swasta akan dapat mengendalikan harga. Padahal seharusnya pola penguasa dan rakyat adalah pola riayah (kepengurusan). Maka dalam Islam energi merupakan hajat orang banyak, dan termasuk kepemilikan umum, yang haram dikuasai seseorang atau swasta.
Keempat, jumlah pengangguran semakin bertambah akibat PHK massal yang terjadi di beberapa perusahaan industri. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) menyatakan, jumlah PHK per November 2022 sebanyak 79.316 orang. Belum lagi dari penambahan jumlah peserta lulus sekolah yang kesulitan mendapatkan pekerjaan, karena kurangnya ketersediaan lowongan. Rakyat akan tidak mampu membeli, manakala tidak punya penghasilan alias pengangguran. Kalau sudah begini, siapa yang sanggup membeli produk?Perusahaan-Perusahaan akan kewalahan dan berujung kebangkrutan.
Kelima, ketidakstabilan nilai tukar rupiah yang cenderung melemah, hingga di level Rp 15,070, per satu USD. Pertanggal 22 Januari 2023 (CNBC, 22/01/2023), hal ini, sudah barang tentu akan mendorong percepatan kenaikan suku bunga acuan demi menstabilkan agar tidak terjadi inflasi keuangan. Labil dan tidak akan pernah stabil sepanjang sistem mata uang tidak berbasis cadangan emas ataupun perak. Siklus krisis dan resesi akan senantiasa berulang, selama harga menjadi acuan dalam mengukur kebutuhan.
Melihat hal ini, tentu krisis dan resesi adalah suatu keniscayaan. Wajar jika presiden Jokowi resahkan. Yang tidak wajar, apabila kemudian menyalahkan Khilafah sebagai sistem pemerintahan.
Jika kita berkaca tentang sistem ekonomi yang digunakan, hal ini tentu bukan sesuatu yang mengejutkan apalagi sampai menakutkan seperti halnya ketakutan terhadap sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah.
Hari ini sistem ekonomi kapitalis yang berakidah sekulerisme, kembali mempertontonkan ketidakberdayaannya menghadapi jurang resesi.
Akankah Bertahan dan Tak Kepikiran untuk Berubah Haluan?
Melihat demikian, patut kiranya penguasa negeri ini berpikir ulang tentang sistem yang digunakan? Kemudian mencari sistem alternatif untuk perubahan. Pintu tawaran perubahan terbuka pada dua kutub ideologi, yakni ideologi sosialisme dan Islam. Sosialisme-komunisme telah terbukti gagal dan menghancurkan.
Adapun Islam dengan keparipurnaan konsep ajaran, akan siap menghadapi tantangan resesi global yang mengerikan. Standar halal haram menjadi rujukan kebijakan. Pola kepengurusan terhadap rakyat menjadi acuan kepemimpinan.
Sebagai contoh dalam satu item sistem ekonomi, dikenal konsep kepemilikan ( Kepemilikan individu, Kepemilikan umum, dan Kepemilikan negara) serta pendistribusian kekayaan kepada rakyat. Yang ini bila diterapkan akan menafikan dominasi harta pada satu kalangan. Untuk jalan roda perekonomian, pemerintahan Islam akan menghidupkan sektor ril serta menyediakan seluas-luasnya kesempatan pada rakyat untuk menghidupkan sektor ini. Selain itu, demi kestabilan keuangan agar memiliki daya tahan dan kemandirian, pemerintahan Islam akan mengunakan sistem mata uang yang berbasis emas dan perak. Hal ini pernah dicontohkan dan dibuktikan pada masa kekhilafahan dan masih tetap relevan sepanjang zaman.
Walhasil, konsep ekonomi Islam, hanyalah salah satu item kebijakan dari pemerintahan Islam yakni Khilafah. Yang semuanya diambil dan digali dari wahyu Allah Swt., Sang Pencipta Kehidupan.
Jika Pak Presiden memang betulan resah!? Alangkah bijaknya membuka ruang untuk Khilafah. Jika Pak Presiden memang betulan resah! Alangkah baiknya menghentikan tuduhan kotor terhadap pejuang penerapan syariah kafah.
Jika betulan?
Oleh: Nurzaman vG
Aktivis Islam Banten
0 Comments