Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Korupsi Semakin Menggurita di Kalangan Politisi

TintaSiyasi.com -- Peringatan hari anti korupsi sedunia (HAKORDIA) di Indonesia terasa sekedar seremoni tanpa makna. Pasalnya kasus korupsi di negeri ini seolah tidak ada habisnya bagaikan penyakit kronis yang susah untuk disembuhkan. Bahkan upaya menyembuhkan penyakit ini terkesan asal-asalan.

Bahkan Indonesia Corruption Watch ( ICW ) menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi, Salah satunya tingginya angka korupsi di kalangan politisi.

Seperti yang dilansir oleh tirto.id ( 11/12/2022 ), " Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif ( DPRD maupun DPR RI ) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang." Ujar peneliti ICW, Kurnia Ramandhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu 11 Desember 2022.

Penetapan R. Abdul Latif Amin Imron sebagai tersangka kasus korupsi menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan. Bupati Bangkalan itu terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau mewakili terkait lelang jabatan. ( tirto.id, 9/12/2022 )

Semestinya hal ini menjadi alarm dalam rangka pembenahan menyeluruh pada sektor politik, terutama dalam lingkup partai politik dan pemilu. Tapi nyatanya hanyalah isapan jempol belaka.

Apalagi pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi para koruptor. Korupsi seolah tidak lagi menjadi kejahatan publik.

Inilah konsekuensi logis penerapan sistem politik demokrasi, legalitas penguasa dalam sistem ini dilihat dari suara mayoritas. Dan untuk mendapatkan suara mayoritas tentunya diperlukan modal yang besar.

Modal yang besar itu tentunya tidak semua berasal dari kantong pribadi, bahkan calon kepala daerah menyatakan ada donatur dan sokongan dari sponsor dalam pilkada. Sehingga habitat budaya korupsi menjadi semakin  tumbuh subur.

Sistem demokrasi lahir dari sistem sekulerisme kapitalisme yang melahirkan elit politik dan oligarki yang rakus. Kasusnya sering ditutupi dan tidak menyentuh siapa otak di balik kasus korupsi.

Bahkan revisi UU KPK malah membatasi gerak KPK, buktinya adanya test wawasan kebangsaan dengan soal yang tidak relevan. Test ini malah membuang orang-orang yang dikenal baik dalam menjalankan tugas KPK.

Korupsi hanya bisa diminimalisir bahkan dihentikan jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, yaitu menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan.

Dalam sistem Islam pejabat tidak boleh melakukan kemaksiatan, termasuk korupsi.

Mekanisme yang akan dilakukan dalam sistem Islam adalah : 
Pertama, Islam melarang para pegawai negara menerima harta selain gaji dan tunjangannya contohnya suap.
Kedua, tidak boleh menggunakan harta yang ada dalam tanggung jawabnya.
Ketiga, dilarang memanfaatkan jabatan dan kekuasaan untuk pribadi dan keluarga.

Di dalam sistem Islam ada badan pengawasan dan pemeriksa keuangan. Seperti contoh pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang mengangkat pengawas yaitu Muhammad bin Maslamah, Beliau bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.

Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan kekayaan para pejabatnya dihitung sebelum dan setelah menjabat. Jika tidak sesuai dengan gaji selama masa jabatannya, maka harta itu akan disita dan dimasukkan ke pos kepemilikan negara di Baitul Mal.

Dalam sistem Islam para pejabat akan diberi gaji yang cukup sehingga bisa memenuhi kebutuhan. Serta menyediakan biaya hidup terjangkau dan murah untuk kebutuhan dasar rakyatnya seperti sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan karena semua itu menjadi tanggung jawab negara secara mutlak. Alhasil baik pejabat atau warga bisa terjamin kebutuhan hidupnya.

Sistem Islam menetapkan syarat takwa dan amanah sebagai salah satu ketentuan ketika mengangkat pejabat atau pegawai negara sebagai pengedali internal agar setiap individu tidak melakukan kemaksiatan dan menunaikan amanah dengan benar.

Dalam sistem Islam juga menerapkan sanksi ta' zir pada pelaku korupsi karena berkhianat kepada negara. Seperti sabda Rasulullah Saw :

" Tidak diterapkan hukum potong tangan kecuali bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor ), orang yang merampas harta orang lain, dan penjambret. " (HR. Abu Daud)

Sistem uqubat yang diterapkan akan membawa efek khas, sebagai jawazir atau penebus dosa bagi pelakunya kelak di akhirat. Selain membawa efek jera bagi pelakunya juga sebagai pencegah masyarakat untuk melakukan perbuatan yang sama. Inilah solusi yang ditawarkan Islam untuk mengatasi korupsi di negeri ini.

Wallahu'alam bishshawab.

Oleh : Yuniyati
Sahabat TintaSiyasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments