Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menggoreng Radikalisme di Penghujung Tahun

TintaSiyasi.com -- Khalayak terhenyak dengan bom bunuh diri (lonewolf) yang dilakukan seorang pria bernama Agus Sujatno alias Abu Muslim, Rabu 7 Desember 2022. Aksi yang dilakukan di Polsek Astanaanyar, Bandung pada pagi hari saat aparat kepolisian apel pagi. Dikabarkan satu orang polisi meninggal dunia dan 10 lainnya terluka. Kesigapan aparat mengidentifikasi pelaku patut diacungin jempol. Namun, apakah untuk kasus-kasus yang lain juga demikian? Rasanya ada standar ganda yang berlaku.

Seperti dikutip dari laman www.tribunnews.com
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyatakan pelaku bom bunuh diri bukan lonewolf terrorism, melainkan masuk dalam kelompok jaringan teroris. Diketahui pelaku terafiliasi sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Jawa Barat. 

Pun ramai pemberitaan terkait pelaku yang dengan cepat diketahui sepak terjangnya. Misal anaknya yang mondok di pesantren, keluarga pelaku yang pendiam dan tertutup, dan beragam hal yang mengindikasikan kondisi serupa dengan pelaku-pelaku bom sebelumnya. Menjadi tanya adalah pelaku bom atau teror di negeri ini, seolah hanya berlaku kepada agama tertentu saja, yakni jika pelakunya beragama Islam. Tidak kepada yang lain, bahkan publik menduga isu radikalisme adalah isu yang sengaja “dipelihara”. 

Standar Ganda Sistem Kapitalisme 

Masyarakat sangat geram dengan aksi yang sering kali berulang pada aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bukan hanya teror secara verbal, fisik, tetapi sampai menghilangkan nyawa banyak orang termasuk TNI dan Polri. Namun, apa tindakan aparat kepada mereka? publik melihat seakan aparat tidak sesigap ketika menangani kasus yang menimpa umat Islam, bahkan tidak berlebihan jika disebut abai. 

Dilansir dari laman news.detik.com, bahwa pada Kamis (29/9/2022) terjadi peristiwa kekerasan berdarah di kawasan Teluk Bintuni, Papua Barat. Akibat serangan KKB tersebut, 4 orang tewas dan 1 orang masih hilang. Jadi, total korban berjumlah 14 orang.

Pun, banyak peristiwa serupa yang berlalu begitu saja. Seolah nyawa manusia tidak berharga lagi dalam sistem saat ini. Penghilangan nyawa karena ulah kelompok-kelompok tertentu tidak disikapi sebagaimana jika pelakunya adalah seorang muslim. Fakta ini tidak bisa ditutupi, tersebab dunia digital saat ini penyebarannya begitu cepat dan transparan. 

Terindera dengan sangat terang benderang bagaimana cengkeraman Barat atas negeri-negeri muslim dalam semua aspek kehidupan. Rakyat awam yang tidak paham politik pun mulai bisa membaca kemana drama bom yang sering kali dimainkan pada bulan-bulan Desember, terutama mendekati perayaan Nataru. Tentu hal ini sangat mudah dipahami, agar stempel intoleran, radikal, dan semacamnya terus disematkan dengan mudah dan kelihatan tepat kepada umat Islam. Kondisi ini sangat menyakitkan dan terkesan sangat dipelihara. 

Kita tidak sedang fokus di kuantitas, mayoritas atau minoritas. Namun, masyarakat ingin disuguhkan fenomena berkehidupan politik yang sehat. Dimana agama bukan hal yang terus dikambinghitamkan untuk menutupi kegagalan sistem kapitalisme. Kerusakan yang sedemikian parah di hampir semua lini kehidupan, membuat Barat berusaha mencari-cari obat yang bisa menyembuhkannya. Namun, sistem yang lahir dari rahim yang rusak tidak akan mampu menghasilkan produk yang baik.

Sistem Rusak dan Merusak

Lihatlah dunia global saat ini dengan beragam sakitnya, tak terkecuali di Indonesia. Kemiskinan yang demikian parah berimbas ke aspek lainnya, seperti tingginya angka bunuh diri, generasi bermental rapuh (illness), kriminalitas, angka perceraian, dan segudang permasalahan umat. 

Belum lagi berbicara pergaulan bebas akibat sistem kehidupan liberalis dan gaya hidup hedonis yang banyak mendera generasi/pemuda. Tingginya angka penderita HIV/Aids akibat hubungan seksual. Banyaknya kasus aborsi akibat hamil diluar nikah. Angka bunuh diri akibat asmara, dan seabrek problem kehidupan terus berulang dan makin beragam.

Inilah potret sistem rusak yang diemban negeri ini dan negeri-negeri lainnya, telah membawa kerusakan yang demikian parah. Adapun narasi radikalisme pasca tragedi 911 terus berkamuflase dalam banyak ruang. Mulai dari program Moderasi Beragama hingga menyusup ke kurikulum pendidikan.

Wajar saja jika banyak pihak menduga kuat bahwa sistem kapitalisme menjadikan narasi radikalisme sebagai bagian agenda global. Upaya ini terus diaruskan ke negeri-negeri muslim demi mengokohkan hegemoninya. Jika dianalisis lebih jauh, akan ditemui muara agenda besar Barat tersebut dalam rangka membendung kebangkitan Islam kafah. Mengapa Islam kafah?

Ada beberapa argumen mengapa Islam kafah menjadi common enemy, diantaranya: pertama, Islam kafah mengurusi seluruh urusan umat dengan aturan Islam paripurna. Termasuk dalam pengelolaan harta atau sumber daya alam di negeri-negeri muslim. Dimana dalam sistem ekonomi Islam, syariat telah menetapkan bahwa harta milik umum dan milik negara harus dikelola oleh negara secara mandiri dan independen. Tidak boleh diserahkan kepada individu atau kelompok, terlebih kepada asing maupun aseng. 

Kedua, Barat menancapkan kukunya dengan skema utang ribawi melalui investasi. Islam kafah melarang keras bermuamalah dengan akad ribawi, sehingga dengan instrumen tersebut Barat merasa terancam. Sehingga, dicarilah sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian umat agar tidak fokus ke kerusakan sistem kapitalisme.

Ketiga, isu yang paling sensitif adalah isu agama. Sehingga banyak agenda global yang mengatasnamakan agama, termasuk Moderasi Beragama yang saat ini lagi dimasifkan. Disinilah kemudian isu radikalisme juga disisipkan. Patut diwaspadai akan mengalir ke hulu dengan nama pluralisme. Jika sudah demikian, maka imperialisme makin mudah menancapkan kukunya, karena Islam kafah sudah tidak bergigi lagi. 

Islam Kafah Solusi Hakiki

Jika ingin mengkaji solusi hakiki, tidak lain harus dikembalikan kepada asal penciptaan bumi dan segala apa yang ada di dalamnya. Manusia dan makhluk hidup lainnya beserta seluruh isi semesta adalah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla. Al-Khalik al-Mudabbir, artinya Allah Swt. sebagai pencipta sekaligus pengatur. Artinya, segala sesuatu harus dikembalikan kepada aturan yang membuatnya.

Oleh karena itu, terkait sistem dalam mengatur kehidupan di dunia ini sudah seyogianya menggunakan aturan Allah Swt. Melalui lisan manusia mulia Rasulullah saw. kemudian didakwahkan hingga Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin. Sebagaimana dalam sejarah 1400 silam, selama 13 abad menjadi peradaban gemilang yang mampu melingkupi 2/3 belahan dunia. Saat itu kesejahteraan seluruh manusia tanpa batas, menembus ruang dan waktu saat dunia belum se modern saat ini. Kesejahteraan bisa dirasakan semua tanpa memandang agama, ras, warna kulit, jenis kelamin, dll. 

Inilah hakikat dari sebuah ketaatan, yakni keberkahan dari langit dan bumi. Sehingga, jika Indonesia dan negara-negara di dunia ingin meraih kesejahteraan dalam semua aspek kehidupan, maka mengambil sistem Sang Pencipta adalah sebuah keharusan. Jangan lagi terperdaya oleh tipu muslihat Barat dalam memainkan beraneka isu-isu sampah, termasuk radikalisme dan ekstremisme. Sudah saatnya masyarakat harus cerdas menilai, mana yang benar dan mana yang salah. Sejatinya Islam tidak pernah membenarkan tindakan bunuh diri atau membunuh orang lain tanpa alasan syar’i.

Wallahua’lam bis Showab.



Oleh: Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
Dosen dan Pemerhati Sosial
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments