Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Impor Beras Menggurita, Rakyat Makin Menderita

TintaSiyasi.com -- Harga beras saat ini sedang tinggi sehingga petani enggan menjual produksinya pada Bulog yang menawarkan harga beli yang lebih rendah. Petani enggan menjual beras produksinya ke Perum Bulog karena harga di pasar jauh lebih tinggi dibandingkan harga beli yang ditetapkan BUMN tersebut sebesar Rp 9.700 per kg. Akibatnya, Bulog kesulitan untuk menambah cadangan beras pemerintah atau CBP yang semakin menipis.   

Ketua Umum Perkumpulan Penggiling Padi dan Pengusaha Beras atau Perpadi, Sutarto Alimoeso, menuturkan petani saat ini lebih memilih untuk menyimpan berasnya atau menjualnya langsung dibandingkan dengan menjual berasnya ke Perum Bulog. "Sekarang petani juga lebih memilih untuk menyimpan. Menyimpan untuk apa? Untuk dijual misalnya saat menjelang lebaran, atau menjelang panen kedua. Umumnya petani sekarang menjual di sawah," ujar Sutarto kepada Katadata.co.id, pada Senin (22/11). 

Kemendag sudah siapkan komitmen impor beras. Harga beras melambung menurut Sutarto, pemerintah harus cermat untuk memutuskan kapan waktu yang tepat untuk membeli dan menjual. Seharusnya, pemerintah membeli CBP saat produksi beras berlebih. Sebaliknya, pemerintah bisa menjual beras pada saat produksinya kurang. Dengan demikian, harga beras dapat stabil dan tidak terjadi kenaikan. 
"Pada saat produksi lebih, kemungkinan bisa jatuh harga. Harganya murah. Itulah yang harus diselematkan dan sekaligus untuk memupuk cadangan. Nah pada saat produksinya kurang harganya pasti menjadi lebih mahal," ujar Sutarto. Sementara itu, Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat rata-rata harga beras kualitas super I secara nasional, Senin (21/11) mencapai Rp 13.650 per kg. Harga beras kualitas medium I mencapai Rp 12.350 per kg, dan beras kualitas bawah I mencapai Rp 11.200 per kg. 
Sedangkan untuk rata-rata harga beras termahal jatuh kepada Kalimantan Tengah mencapai Rp 15.700 per kg. Serta untuk rata-rata harga beras termurah jatuh kepada Sulawesi Barat Rp 9.900 per kg.  Cadangan beras pemerintah atau CBP di gudang Bulog saat ini hanya 651 ribu ton, jauh di bawah cadangan ideal sebesar 1,2 juta ton. Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso, menyarankan cara lain untuk meningkatkan CBP yaitu dengan impor. 

Pria yang kerap disapa Buwas tersebut mengatakan, pemerintah harus bergerak cepat mengambil langkah alternatif untuk memenuhi stok CBP yang menipis. Dengan demikian, Bulog bisa menjalankan tugasnya dalam pengendalian ketersediaan dan harga pangan. "Karena kalau kita terlambat, di satu sisi kita sudah tahu tidak mungkin dalam waktu dekat bisa menyerap dalam jumlah besar. Karena barangnya selain tidak ada, harganya juga tidak memungkinkan," kata Budi Waseso dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI di Gedung Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (16/11), seperti dikutip dari Antara. 

Pada 2021, volume impor beras Indonesia mencapai 407,74 ribu ton. Angka tersebut tumbuh 14,44% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun demikian, beras yang diimpor tersebut merupakan jenis khusus.
Mahalnya harga pangan pokok belakangan ini tentu menyulitkan masyarakat, pedagang, serta petani. Masyarakat sangat terbebani dengan mahalnya kebutuhan pangan yang mereka konsumsi. Pedagang pun mengeluh lantaran kenaikan harga pangan menurunkan daya beli masyarakat yang juga berpengaruh pada berkurangnya pendapatan mereka. Begitu pula dengan petani, mereka juga resah karena tingginya biaya produksi, seperti mahalnya pupuk dan pestisida sehingga terpaksa menaikkan hasil produksi pangan.

Berbagai upaya pemerintah dalam menekan kenaikan harga tampaknya belum berdampak signifikan. Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah menyampaikan kenaikan harga komoditas pangan disebabkan dua faktor, yaitu pergerakan harga global dan gangguan produksi dalam negeri. Said menuturkan, produksi pangan belum merata karena belum adanya pengembangan yang mengarah pada panen komoditas pangan sepanjang waktu.

Saat ini, produksi pangan bergantung pada perubahan iklim dan cuaca sebab produksi pangan memang memiliki musim tertentu. Di sisi lain, situasi global yang fluktuatif seperti tingginya inflasi hingga perang Rusia-Ukraina turut berdampak pada ketersediaan pangan secara global, khususnya Indonesia yang masih gemar impor pangan dari negara lain, semisal gandum dan kedelai. Pemerintah kurang mendorong sektor pertanian sebagai lokomotif ketahanan pangan nasional. 

Ditambah kebijakan yang tidak berpihak pada nasib petani dalam negeri seperti polemik minyak goreng yang hingga kini masih bergejolak di masyarakat. Pemerintah juga terlalu mengandalkan kebijakan instan, yaitu impor dalam menutupi kekurangan pasokan pangan. Padahal, persoalan pangan mestinya fokus mengurai problem hulunya, yaitu sistem pertanian yang mandiri dan berdaulat. Tidak kalah penting, munculnya berbagai persoalan pangan sejatinya berawal dari penerapan sistem kapitalisme liberal. 

Hadirnya mafia pangan tidak terlepas dari penguasaan kepemilikan lahan yang tidak terbatas. Petani lokal harus berhadapan dengan korporasi besar yang memiliki usaha pertanian dan pangan dari tingkat hulu hingga hilir. Begitu pula konsekuensi kesepakatan internasional yang membolehkan masuknya pangan impor ke negeri ini. Pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting dan strategis dalam mempertahankan kedaulatan negara. Negara yang hanya mengandalkan produk impor pangan dari negara lain adalah negara yang tidak berdaulat. 

Oleh karenanya, persoalan pangan tidak bisa dianggap remeh. Pemenuhan pangan adalah kewajiban negara sebagai pelaksana dan pelayan bagi kepentingan rakyat. Masalah pemenuhan pangan mestinya menjadi sasaran utama bagi kebijakan negara. Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar akan menghadapi tantangan yang kompleks dalam pemenuhan kebutuhan pangan penduduknya.

Dampak kekurangan pangan dapat dirasakan secara langsung karena memicu kelaparan, kemiskinan, stunting, dan kurangnya gizi pada anak-anak yang akan berpengaruh pada masa depan generasi bangsa. Jika harga bahan pangan terus saja mahal, rakyat pasti kesulitan bertahan hidup.

Oleh karena itu, secara fundamental, negara harus menata ulang sistem tata kelola pertanian secara menyeluruh. Dalam hal ini, Islam telah menetapkan sejumlah langkah strategis dengan menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas dalam pembangunan ekonomi.

Pertama, negara wajib menjamin ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup. Penyediaan pangan oleh negara harus diupayakan melalui produksi pangan dalam negeri.  Peningkatan produksi pangan dalam negeri bisa dilakukan dengan intensifikasi, yaitu penggunaan teknologi biologi dan kimia (pupuk, benih unggul, pestisida, dan herbisida), serta teknologi mekanis (penggunaan traktor serta kombinasi manajemen air irigasi dan drainase); ekstensifikasi, yaitu perluasan area lahan sawah dan pertanian; dan diversifikasi, yaitu penganekaragaman usaha pertanian untuk menambah produksi dan pendapatan rumah tangga petani.

Kedua, membangun infrastruktur pertanian yang memudahkan para petani menggarap lahannya, seperti sarana irigasi, jalan, alat-alat pertanian yang canggih, dan industri pendukung lainnya (pupuk, benih, dll.). Negara harus memfasilitasi para petani dengan sarana pertanian yang mutakhir dan memadai. Dengan begitu, produksi pertanian akan meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas.

Ketiga, pembagian kepemilikan tanah sesuai ketentuan syariat Islam. Saat ini, lahan pertanian kian sempit karena alih fungsi lahan secara masif. Sebagai negara agraris, sangat aneh apabila pertanian tidak menjadi lumbung mata pencaharian. Ketahanan pangan sangat ditentukan oleh tersedianya lahan pertanian yang mampu memproduksi pangan secara kontinu. Berdasarkan data Kementan, alih fungsi lahan pertanian bisa mencapai 100.000 hektare per tahun, sedangkan pemerintah hanya mampu mencetak sawah sekitar 40.000 hektare.

Negara juga akan menghidupkan tanah-tanah mati yang dibiarkan pemiliknya selama tiga tahun. Hal ini agar tidak ada tanah yang dibiarkan kosong tanpa ditanami dan dapat difungsikan secara optimal.

Keempat, melarang praktik-praktik kecurangan, penimbunan, dan monopoli pasar. Negara tidak boleh kalah oleh pemilik kartel. Nabi saw. memperingatkan para pelaku kartel dan monopoli pasar ini dengan ancaman keras, “Siapa saja yang memengaruhi harga bahan makanan kaum muslim sehingga menjadi mahal, merupakan hak Allah untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada hari kiamat.”

Kelima, tidak melakukan ekspor sehingga kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi.
Keenam, distribusi pangan secara merata hingga pelosok desa. Negara akan menyediakan prasarana distribusi, baik secara darat, laut, dan udara. Hal ini agar pasokan pangan menjangkau seluruh wilayah, terutama wilayah terpencil yang mengalami keterbatasan pasokan pangan. Terhambatnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan akan memicu kenaikan harga dan mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karenanya, negara akan memperhatikan akses pangan ke daerah terpencil dan terluar.

Ketujuh, pengawasan ketat serta penegakan hukum yang tegas bagi praktik mafia pangan. Di Negara Khilafah, struktur khusus yang mengawasi berjalannya pasar secara sehat ialah kadi hisbah. Tugasnya adalah melakukan pengawasan dan menindak setiap pelanggaran yang mengganggu hak masyarakat. Dengan langkah-langkah ini, kemandirian pangan dan berdaulat dapat terwujud. Penerapan sistem Islam secara kafah akan menciptakan stabilitas harga pangan yang terjangkau masyarakat. Penguasa amanah, petani semringah, dan rakyat pun Bahagia.

Sejujurnya, jika kita menelisik lebih dalam, masalah pangan ini tak lagi hanya berkaitan dengan luas lahan pertanian dan cuaca yang mendukung. Masih banyak faktor lainnya, sebagaimana definisi ketahanan pangan itu sendiri. Menurut Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, ketahanan pangan adalah suatu kondisi terpenuhinya pasokan pangan bagi negara sampai dengan perseorangan untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Hal ini tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. Sudah rahasia umum jika ketahanan pangan negeri ini bermasalah, khususnya hal penyediaan infrastruktur di daerah terpencil dan pesisir. Selain itu, politik pertanian (pengurusan pertanian) juga tak sepenuhnya berpihak pada rakyat. Misalnya, luas lahan pertanian yang menyempit. Kondisi ini berkorelasi dengan kebijakan pembangunan wilayah industri, pemukiman, infrastruktur yang semakin pesat. Semakin pesat pembangunan sektor tersebut, justru membuat lahan pertanian semakin sempit. Keadaan ini memperlihatkan buruknya tata kelola dan rancangan wilayah. Padahal, kebutuhan pangan akan meningkat terus, seiring dengan pertambahan penduduk. Kemudian mengenai kebijakan impor yang ugal-ugalan, ditambah aturan dalam UU Omnibus Law yang mengatur impor adalah bagian dari kebijakan mewujudkan ketersediaan pangan.

Artinya, kebijakan impor akan dianggap sebagai tindakan yang wajar dilakukan. Keputusan ini tentu akan menyakiti para petani, biasanya harga bahan impor lebih murah jika dibanding hasil pertanian. Masalah lain seperti keterbatasan bibit dan kelangkaan pupuk juga menggelayuti pertanian di musim tanam. Apalagi subsidi pupuk juga dikurangi. Akhirnya petani harus mencari pupuk di luar yang harganya cukup tinggi.

Jika para petani punya banyak modal tentu tak masalah. Kenyataannya, petani negeri ini banyak yang modalnya pas-pasan. Ujung-ujungnya mereka terlilit utang. Belum lagi munculnya mafia makin menambah daftar buruk bagi kondisi pangan. Mulai dari mafia pupuk, mafia impor, beras, dan lain-lain. Mereka mengambil untung di tengah kondisi rakyat yang kian buntung. Karena ulah mereka harga-harga akan menjadi naik, bahkan barang juga bisa jadi langka. Akhirnya rakyat juga yang sengsara.

Tidak adanya keberpihakan negara pada penelitian pertanian juga memberikan efek buruk. Mulai dari masalah kurangnya pendanaan hingga izin berbelit menjadikan penelitian semakin sulit. Kalaupun bisa dilakukan, kebanyakan berakhir di koleksi perpustakaan. Sulit diterapkan dalam skala besar. Oleh karena itu, kemandirian pangan sepertinya masih sebatas retorika dan janji belaka. Realitasnya, masalah pangan terus menggerogoti negeri ini.

Keberhasilan penyelesaian masalah pangan oleh negara tergantung sejauh mana mereka memegang prinsip. Jika prinsipnya kuat, solusi yang diperoleh pun akan berhasil. Apalagi jika prinsipnya bermabda (berideologi), kebijakan yang dihasilkan akan lebih matang. Negara tersebut akan tampak unggul dalam bidang pertanian, mandiri dan kuat, termasuk di aspek lainnya.

Di sistem Islam, kebijakan impor bukanlah solusi bagi pangan. Sistem negara Islam, yaitu Khilafah, memiliki sejumlah mekanisme bagaimana mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada negara lain. 

Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.

Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan.

Kelima, prediksi cuaca. Yaitu, kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan negeri.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya. Itulah beberapa langkah strategis negara Khilafah dalam mengatasi persoalan pangan. Dengan kebijakan yang tersistematis, sangat kecil kemungkinan bagi Khilafah menggantungkan diri pada impor, terlebih untuk pangan yang menjadi kebutuhan pokok bagi rakyat.

Dikutip dari Republika, masa kekhalifahan merupakan masa kejayaan penerapan sistem ketahanan pangan. Umar bin Khaththab menerapkan inovasi soal irigasi untuk mengairi area perkebunan. Kawasan delta Sunga Eufrat dan Tigris serta daerah rawa sengaja disulap dengan dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan itu diteruskan hingga Dinasti Umayyah. Swasembada pangan dengan sistem khilafah itu sangat logis, riil, dan aplikatif.



Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments