TintaSiyasi.com -- Lagi dan lagi harta rakyat kembali di embat, lucunya pelakunya tak lain dan tak bukan merupakan pembela kebenaran dan pembawa keadilan yakni seorang kuasa hukum yang mendiami bumi cendrawasih, Papua Lukas Enembe.
Dikutip dari tribunnews.com, (25/09/2022), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan temuan adanya penyetoran uang senilai Rp560 miliar dari Lukas Enembe untuk kasino. Selain dugaan aliran dana untuk bermain kasino, PPATK juga menemukan adanya setoran tunai senilai Rp550 juta untuk pembelian jam tangan mewah.
Atas dasar itulah, kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Lukas Enembe sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi sebesar Rp1 miliar.
Miris disaat rakyat susah akan kenaikan bbm dan sejumlah kebijakan yang ditetapkan pemerintah, pejabatnya malah hidup enak menikmati uang milyaran rupiah.
Dikutip dari (kompas.com, 09/12/2021), Pada periode Januari sampai November 2021, kata Jokowi, Polri telah melakukan penyidikan 1.032 perkara korupsi. Sementara itu, pada periode yang sama Kejaksaan melakukan penyidikan 1.486 perkara korupsi. Dikutip dari (kompas.com, 09/12/2021)
Sungguh memprihatinkan, Ini baru satu periode namun jumlah perkara korupsi sangat banyak dan meningkat tajam. Belum lagi jika menghitung kasus korupsi periode sebelumnya dan sebelumnya, seolah kasus korupsi di negeri ini tak pernah ada habisnya.
Sekulerisme Biang Lahirnya Korupsi
Merebaknya kasus korupsi di tanah air, tak terlepas dari penerapan sistem sekulerisme. Sekulerisme memisahkan agama dari kehidupan. Dari penerapan sekulerisme lahirlah demokrasi, dalam demokrasi rakyat merupakan kedaulatan tertinggi, sementara kedaulatan Allah Swt diabaikan. Rakyatlah yang diberikan hak untuk membuat, mengubah dan menetapkan undang-undang serta memilih para pemimpin untuk menjalankan undang-undang tersebut.
Dalam sistem demokrasi sekuler, rakyatlah yang memilih para calon pemimpin legislatif dan eksekutif melalui program kampanye pemilu dengan dana yang sangat besar. Untuk menarik simpati dan dukungan rakyat, berbagai jurus pun dikeluarkan mulai dari serangan fajar, pembagian sembako hingga mendatangi masjid-masjid berucap janji-janji manis yang membuat rakyat semakin termakan bujuk rayu mereka. Lantas apa yang terjadi selanjutnya?
Para pemimpin kapital sekuler ini tentu tidak mau rugi, tidak ada namanya pengorbanan yang gratis. Semua yang dikorbankan tentu harus ada imbalan yang setimpal bahkan lebih daripada itu. Akhirnya apa yang mereka lakukan?
Setelah berhasil menjabat janji tinggallah janji tanpa memikirkan persoalan akhirat dan nasib rakyat, Para pemimpin tersebut berani melakukan tindak korupsi. Menjadi maling berdasi yang terus menguras semua aset negara. Jutaan, miliaran hingga triliunan pun diembat. Bukannya sibuk mengurusi rakyat dan memenuhi kebutuhan rakyat, mereka justru sibuk memikirkan cara mengembalikkan uang yang dikeluarkan pada kampanye pemilu.
Begitulah wajah asli Pemimpin dalam demokrasi. Tak peduli halal-haram hanya mementingkan materi dan keuntungan. Jabatan yang diperoleh pun bukan atas dasar kepemampuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam melainkan karena politik uang dan suara mayoritas saja.
Ditambah lagi sanksi yang tidak tegas dalam menindaki pejabat korupsi, rata-ratanya cuman kurungan 2 sampai 3 tahun penjara saja bahkan ada beberapa yang belum masanya keluar lapas sudah bebas tanpa bersyarat. Belum lagi saat mendekam dipenjara masih bisa menikmati fasilitas mewah yang tak seharusnya dinikmati para tahanan. Tak heran koruptor di sistem ini bukannya habis diberantas malah tumbuh semakin subur. Alhasil rakyatlah yang dirugikan.
Mengapa? Dengan mengorup uang dan berbagai aset negara hak-hak rakyat tentu ditelantarkan. Fasilitas umum yang seharusnya dinikmati rakyat dengan gratis dan murah malah disuruh bayar mahal, kebutuhan pokok yang seharusnya terpenuhi malah tidak terpenuhi, punya ini dan itu semua dipajaki dan masih banyak lagi beban-beban rakyat yang harus ditanggung seorang diri, padahal negara kita kaya sumber daya alam, lantas kemana hasilnya? Lah, kemana lagi kalau bukan kekantong para pejabatnya, iyakan?!
Kesejahteraan hidup dan keadilan hukum yang dijanjikan rakyat justru berbalik menjadi kemelaratan dan ketidakadilan. Bukannya sejahtera, rakyat justru makin melarat. Kelaparan diberbagai kondisi, kemiskinan yang makin akut , pengangguran yang makin bertambah, pajak yang semakin mencekik, semuanya harus ditanggung rakyat seorang diri. Sementara para pemimpinnya semakin kaya dan sejahtera dengan uang dan aset yang di korupsi.
Lantas pantaskah pemimpin semacam ini dipertahankan dan jadi tauladan untuk generasi berikutnya? Atau maukah kita terus mempertahakankan sistem yang melaratkan rakyat?
Tauladan Kepemimpinan dalam Islam
Islam yakni khilafah Islamiyah adalah satu satunya sistem yang terbukti melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab, tegas dan sangat berhati hati dalam menjalankan amanah-amanah yang ditanggungnya. Hal itu dapat dibuktikan dengan para khalifah terdahulu yang menjadi pemimpin negara.
Para khalifah terdahulu menyadari bahwa menjadi periayah umat merupakan tanggung jawab yang sangat besar dan tugas paling berat. Sebab konsekuensinya adalah dunia dan akhirat. Oleh karena itu mereka sangat berhati-hati dalam melaksanakan tugas-tugasnya, terutama dalam mengelola harta negara.
Sebagaimana yang pernah dikakukan khalifah Umar Bin Khaththab ketika menjadi pemimpin negara. Beliau sangat berhati-hati bahkan kekayaan negara di baitul mal justru meningkat tajam. Saat itu ia berhasil menaklukan kisra (persia) dan qaishar (romawi).
Dari Ibnu Katsir dalam buku al-Bidayah Wa an-Nihayah menukil pidato Umar, "Tidak dihalalkan bagimu dari harta milik Allah ini selain dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seseorang di antara orang Quraisy biasa. Dan aku adalah orang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin, (Ibnu Katsir)
Beginilah seharusnya pemimpin dalam Islam tegas dan sangat berhati-hati dalam setiap tindakannya. Menjadikan sikap takwa melekat pada dirinya dan aqidah Islam sebagai landasan utamanya dalam menjalankan hukum negara. Dengan rasa takut akan murka Allah dan sanksi akan kehidupan setelah dunia. Para pemimpin tak akan berani menyalahgunakan jabatannya apalagi sampai mengambil harta rakyat atau korupsi. Sebab dalam islam mengambil harta rakyat hukumnya haram.
Untuk mencegah dan mengatasi para pejabat yang melakukan korupsi, Islam melakukan perhitungan secara berkala terhadap harta kekayaan para pejabatnya baik sebelum, saat, dan setelah menjabat, semuanya harus dihitung dan diverifikasi apakah ada penambahan atau tidak.
Jika ada penambahan maka akan diteliti lagi apakah penambahan itu syari atau tidak. Jika ada kecurangan dan terbukti melakukan korupsi maka harta tersebut akan disita dan dimasukkan ke kas negara sementara pejabat yang korup akan diproses secara hukum sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Mulai dari nasehat, denda, hukum cambuk hingga hukuman mati.
Dengan sikap takwa yang selalu ditanamkan dan negara memberlakukan sanksi yang tegas. Para pejabat tentu akan berfikir seribu kali untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini dapat meminimalkan bahkan meniadakan korupsi di negeri ini.
Oleh karena itu marilah kita kembali kepada sistem Islam yang kaffah, hanya dengan sistem Islamlah semua hukum-hukum Allah dapat terlaksana dan berbagai perkara yang ada dapat diselesaikan hingga ke akarnya, termasuk dalam perkara korupsi yang menjamur ditanah air ini.
Wallahualam bissawab
0 Comments