TintaSiyasi.com -- Mengawali pernyataan Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan, memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme (humas.polri.go.id, 2022/08/13).
Sepatutnya dunia Pendidikan dilindungi dari paham sekuler liberal yang saat ini masif dan sangat nyata kerusakannya bagi generasi. Seperti eforia bulan lalu kita sempat dihebohkan dengan aksi Citayam Fashion Week (CFW). Meskipun CFW resmi ditutup, fenomena budaya latah ini seolah menjadi magnet berbagai kalangan untuk datang, menjajal dan menonton. Di manapun, bukan hanya di Jakarta. Muda mudi pun unjuk kebolehan memadu gaya, tak mau kalah dari Citayam Fashion Week. Bahkan 'emak-emak'nya pun tak mau kalah dengan anak-anaknya menyemarakkan CFW (detik.com, 26/7/2022).
Semua terjadi berawal dari krisiss jati diri anak bangsa Indonesia yang menyebabkan dampak yang menyimpang dari fitrah, kondisi ini jauh lebih mengerikan dan mengancam generasi kita, yakni kasus seks bebas, LGBT, narkoba, judi online, pecandu games, tawuran, bullying, hingga pembunuhan, adalah hasil dari penerapan paham sekuler liberal justru ini yang membuat generasi kita hari ini semakin berada pada jurang kehancuran. Bukan isu yang digaungkan tentang radikalisme, atau terorisme yang selama ini tidak jelas.
Semua tergantung bagaimana kita melihat kondisi psikologi anak bangsa ini, dan dari sudut pandang mana menilai perilaku anak bangsa ini. Jika yang memandang seorang yang yang berlatar belakang militer pada sistem sekuler tentu memandang perilaku yang menyimpang dari hukum sekuler pasti dibilang, intoleran, radikalis, ekstrimis bahkan terorisme. Karena ada rasa ketakutan dan was-was akan dikuasai atau dirongrong oleh pihak lain, demikian tidak salah jika semua penilaian itu terukur dan menyeluruh berlaku untuk semua agama dan etnis yang mendiami negeri ini, tidak menyudutkan salah satu agama.
Namun akan jadi kontra versi bahkan jadi perang saudara jika hukum dan tuduhan itu hanya sepihak kepada agama tertentu yang menjadi mayoritas menghuni negeri ini. Menjadi tidak paham dengan agama mayoritas karena tidak pernah diterapkan hukum dan aturannya, lebih tunduk kepada hukum dan aturan demokrasi kapitalis buatan negara-negara sekuler, dibanding dengan peraturan agama yang mereka yakini. Kenapa bisa terjadi demikian?
Karena pemerintah sendiri sangat ketakutan kepada ajaran Islam kaffah, karena hukumnya akan menhancurkan praktik-praktik kemaksiatan yang sudah menjadi perilaku para pemangku negara selama ini. Akhirnya mereka membuat opini dan framing intoleran terhadap Islam sebagai agama mayoritas. Sampai akhirnya orang pemeluk Islam secara kaffah justru diberikan label seperti itu, semuanya mulai dari Taman Kanak-Kanak bahkan playgroup hingga perguruan tinggi selalu menjadi sasaran operasi radikalisme mereka.
Jika mengacu pada pernyataan Wakapolri di atas tentu ada hal yang patut untuk kita pertanyakan, paham radikalisme seperti apa yang dimaksud, juga intoleransi seperti apa yang mereka maksud? Pernyataan tersebut pun menjadi momok yang menakuti masyarakat dan menyakiti perasaan kaum Muslim.
Yang harus kita pahami, jika yang mereka maksud dengan paham radikal itu adalah pemahaman syariat Islam yang sebenarnya bersumber dari Al-Qur'an dan hadis, Islam kaffah, ideologi Islam yang menjadi problem solver dalam kehidupan kita, tentu salah besar ketika anggapan tentang paham radikal yang mereka maksud seperti itu. Karena Islam adalah agama yang sempurna yang memiliki aturan khas bersumber dari Al-Khaliq, Allah SWT. Allah juga menuntut kita sebagai orang-orang yang beriman agar mengambil Islam secara keseluruhan (kaffah) sebagaimana dalam firman Allah QS Ali-Imran ayat 208.
Selain itu, Islam bukan hanya diyakini sebagai akidah, tetapi juga sebagai sebuah mabda (ideologi) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk aspek pemerintahan. Maka, jika kaum Muslim mengambil syariat Islam secara sempurna, itu karena kesadaran mereka sebagai hamba Allah serta bentuk ketundukan mereka kepada Allah SWT. Jelas tidak ada yang perlu dipermasalahkan dalam hal ini. Maka siapa saja yang mengaku sebagai seorang Muslim yang beriman kepada Allah sudah selayaknya mengambil Islam baik akidahnya maupun ideologinya. Maka, jika Muslim yang seperti itu lantas disematkan memiliki paham radikal, tentu salah alamat.
Selanjutnya intoleransi yang mereka maksud seperti apa? Apakah ketika kita tidak memberikan ucapan-ucapan selamat pada hari-hari besar agama lain mereka lantas dikatakan intoleran? Apakah ketika kita menganggap agama kita adalah agama yang benar lantas dianggap intoleran? Tentu pemikiran yang seperti itu juga keliru jika dituduhkan kepada kaum Muslim. Setiap Muslim ketika melakukan perbuatan terikat dengan hukum syariat yang lima yaitu, wajib, haram, makruh, mubah, sunah. Semua ini pun jelas diikuti dengan petunjuk dalil syari.
Untuk itulah, mari kita tinggalkan sistem sekuler yang rusak ini menuju kepada sistem Islam yang hakiki, yakni Daulah Islamiah di bawah naungan Khilafah. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Marsitin Rusdi
Praktisi Klinis
0 Comments