TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini, sejumlah tokoh nasional lintas ormas Islam dan ratusan jemaah mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti Islamofobia (GNAI) yang digelar di Aula Buya Hamka Masjid Al Azhar Jakarta. Gerakan ini menindaklanjuti penetapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menetapkan 15 Maret sebagai hari anti-islamofobia, Selasa 15 Maret 2022. PBB mengadopsi konsensus resolusi yang disampaikan oleh Pakistan atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk memerangi islamofobia (viva.co.id, 15/04/2022).
Sebagian tokoh menyambut gembira resolusi PBB ini dengan harapan besar, islamofobia bisa lenyap dan umat Islam dapat bersatu. Namun sayang harapan itu ibarat jauh panggang dari api, mustahil diwujudkan. Hal ini karena umat Islam digiring sejalan dengan agenda Barat yang tertuang dalam ketetapan PBB yang sangat membenci Islam, bukan murni dengan perjuangan Islam secara kaffah. Jelas sikap umat ini, ibarat menari di panggung milik orang lain, bukan dengan membuat panggung sendiri.
Jika demikian adanya, apakah benar GNAI cukup solutif menyelesaikan islamofobia yang tidak hanya marak di negara Barat tapi juga di negeri-negeri Muslim? Serta apakah gerakan ini akan menyatukan umat?
Asal Usul Islamofobia
Islamofobia muncul seiring dengan kebangkitan Islam politik yang ada di negeri Muslim. Kondisi tersebut dideteksi Barat sebagai ancaman yang akan menghancurkan ambisinya menjajah dunia. Skenario perlawanan terhadap Islam dikumandangkan tepat saat peristiwa hancurnya menara kembar di World Trade Center (WTC) Amerika Serikat 11 September 2001, yang dinarasikan Barat sebagai bukti serangan teroris global. Sejak saat itu kampanye perang melawan terorisme atau "War on terrorism (WOT)" makin masif, sistemis, dan terstruktur secara global.
Islam seringkali dikaitkan pada tindakan kekerasan, kasar, ekstrem, dan terorisme. Bahkan tema islamofobia beberapa kali diangkat dalam cerita film-film yang terus dipropagandakan untuk memunculkan kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Dalam tayangan film tersebut seringkali ditunjukkan bahwa tindakan terorisme itu dilakukan oleh orang Timur-Tengah atau Muslim. Laki-lakinya digambarkan bersorban, berjengot, jidat hitam, dan celana ngatung. Sementara perempuannya bercadar dan bergamis hitam.
Selain itu media juga memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk persepsi negatif manusia di dunia atas Islam. Narasi ancaman terorisme terus disebarkan untuk menakut-nakuti semua pihak yang berusaha membangkitkan Islam. Hal itu menumbuhsuburkan stereotip negatif terhadap Islam sehingga mengarahkan pada ketakutan akan ajaran Islam dan simbol-simbolnya.
Akibatnya, Muslim mendapatkan perlakuan buruk atau diskriminasi di negeri Barat dan bahkan di negeri Muslim itu sendiri. Pejuang Islam dicap teroris, dimusuhi, dikriminalisasi, dan dibunuh hanya dengan dugaan teroris. Sedangkan umat diadudomba agar saling curiga dan menjauhi pemahaman Islam yang shahih.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Dr. Adian Husaini mengatakan antara Islam dan Barat terjadi perbedaan yang sangat fundamental yang akan menimbulkan benturan pandangan hidup. Menurutnya, islamofobia yang terjadi saat ini merupakan rekayasa politik yang didesain oleh kalangan intelektual anti Islam yang menjadikan Islam sebagai ancaman. Rekayasa ini didasari oleh ketakutan akan kekuatan Islam yang sesungguhnya.
Islamofobia menjadi salah satu agenda utama untuk membendung laju kebangkitan Islam. Efeknya sebagian Muslim pun takut untuk menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh karena khawatir dilabeli radikal atau ekstrem. Sementara itu, kalangan intelektual Muslim sibuk untuk menulis buku-buku yang menunjukkan bahwa Islam itu ajaran yang moderat. Tentu saja hal ini seperti jebakan dan perangkap untuk mengarahkan perjuangan Islam ke jalur moderat. Hingga akhirnya penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah bisa diaborsi sedini mungkin.
Di titik ini, kaum Muslim terjebak pada perangkap Barat. Mereka berusaha menyampaikan konsep-konsep Islam dengan kacamata Barat bukan dengan metode Islam yang shahih dalam membendung islamofobia. Sekadar adanya hari anti islamofobia saja tidak akan cukup menjadi solusi untuk menghapus kebencian orang terhadap Islam dan mewujudkan persatuan umat Islam.
Umat benar-benar harus memahami bahwa islamofobia hadir seiring bergantinya sistem Islam kaffah dengan sistem sekularisme kapitalisme sejak Khilafah Islam di Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924 M. Sehingga selama sistem yang dianut oleh negeri Muslim belum berubah maka islamofobia akan terus ada. Solusi tambal sulam pun dikhawatirkan hanya sekadar "lip service". Pun demikian dengan harapan persatuan umat, mustahil bisa terwujud.
Islam Kaffah Solusi Islamofobia
Sungguh, Islam adalah aturan yang bersumber dari Allah SWT sebagai solusi atas seluruh masalah manusia. Islam turun pada masa jahiliah di mana manusia banyak berbuat maksiat dan berpecah-belah. Hal inilah yang membuat Rasulullah Muhammad SAW merenung di gua Hira, tentang solusi kerusakan masyarakat yang ada. Hingga akhirnya beliau diangkat menjadi nabi dan rasul bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui [QS. Saba’ (34): 28].
Sejatinya, Islam hadir di muka bumi ini bukan menjadi racun melainkan obat mujarab bagi seluruh persoalan hidup manusia, termasuk maraknya islamofobia dan perpecahan kaum Muslim. Rasulullah SAW adalah suritauladan hakiki bagi manusia untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi mengikuti wahyu dari Allah SWT. Hingga akhirnya Rasulullah SAW berhasil merubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat beradab dan mulia serta mengangkat derajat manusia pada keagungan hamba-Nya. Berkasih sayang sesamanya, hidup harmonis antar umat beragama, bahkan alam pun mendapat rahmat berkahnya.
Hilangnya kebencian umat selain Islam benar-benar terwujud tatkala Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Daulah Islam atau Khilafah Islam. Sebab Islam hadir membawa kebenaran dan keadilan bagi semua warga negara baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam Al-Qur'an, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berlaku adil. "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran..." (QS An-Nisa': 135).
Dengan perlakuan yang adil, dan juga pengurusan urusan umat Muslim maupun non-Muslim yang baik, terciptalah kecintaan terhadap negara Khilafah Islam ini dari setiap warganya. Ketika negara diserang musuh, non-Muslim berjuang melawan para penjajah bersama kaum Muslim. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya.
Semua warga negara Islam atau khilafah yang non-Muslim disebut sebagai ahlu dzimmah. Mereka semua, berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi. Negara khilafah harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, dan harta bendanya.
Rasulullah bersabda: "Barang siapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun" (HR Ahmad). Bahkan, ketika Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah.
Begitulah Islam menghapus islamofobia dan menyatukan umat dengan penerapan Islam politik dalam institusi negara Khilafah Islam. Hanya dengan adanya GNAI tanpa penegakan khilafah, islamofobia tidak akan dihapus dan persatuan umat akan pupus. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Diana Wijayanti
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments