TintaSiyasi.com -- Penyaluran BBM bersubsidi telah memasuki babak baru. Pemerintah dan PT Pertamina (Persero) mengambil langkah berbasis digital untuk memastikan penyaluran subsidi BBM jenis pertalite dan solar tepat sasaran. Di mana masyarakat yang termasuk dalam kategori konsumen BBM bersubsidi wajib melakukan pendaftaran secara online melalui website subsiditepat.mypertamina.id atau aplikasi MyPertamina, atau bisa juga secara offline di gerai yang tersedia di SPBU. Uji coba atas langkah ini dimulai sejak tanggal 1 Juli 2022 di 13 kota dan kabupaten yang ada di 5 provinsi. Di antaranya adalah Kota Bukit Tinggi, Kab. Agam, Kota Padang Panjang, Kab. Tanah Datar, Kota Banjarmasin, Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kab. Ciamis, Kota Manado, Kota Yogyakarta, Kota Sukabumi, Kota Solo, dan Kota Denpasar.
Beberapa kalangan menilai kebijakan ini adalah gebrakan yang cukup positif. Namun tak sedikit pengamat yang mempertanyakan efektifitasnya untuk merealisasikan tujuan dari kebijakan tersebut. Sebagaimana tanggapan pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi yang menilai kebijakan tersebut kurang tepat. “Kalau (untuk) membatasi pembelian Pertalite, penetapan kriteria konsumen dengan MyPertamina itu (rasanya) sangat tidak tepat” (kompas.com/4/6/22).
Beliau beralasan bahwa kerumitan dalam penentuan kriteria pembeli BBM bersubsidi sulit diurai. Dan adanya dua harga yang jauh berbeda antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi berpotensi menyebabkan moral hazard atau penyimpangan sosial, baik oleh pihak SPBU maupun konsumen.
Jika diperhatikan dengan seksama, alih-alih mendapatkan banyak manfaat dari kecanggihan teknologi, nyatanya kebijakan ini sungguh problematik. Digadang-gadang akan memudahkan, tetapi diprediksi justru malah menimbulkan kesulitan.
Pada faktanya, kebijakan ini malah memunculkan beban baru bagi masyarakat sasaran subsidi yang tidak memiliki perangkat memadai seperti smartphone, kuota, dan akses website lainnya. Selain itu, masih rendahnya tingkat literasi digital pada masyarakat kalangan bawah juga akan menghambat kesuksesan program ini. Minimnya sosialisasi program belum diberlakukan secara masif dan merata di kalangan masyarakat. Ujug-ujug masyarakat ‘dipaksa’ untuk melakukan uji coba. Tentu penyesuaiannya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Tak cukup sampai di situ, efektifitas dari program ini pun belum bisa diraba. Karena adanya gap harga yang berbeda antara BBM subsidi dan nonsubsidi akan menimbulkan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, daripada ribet registrasi atau karena tidak ada fasilitas mengakses MyPertamina, maka akan banyak masyarakat yang memilih beralih ke BBM nonsubsidi. Kemungkinan kedua, akan timbul kecurangan atau sabotase dari oknum-oknum tertentu untuk memperoleh BBM dengan harga yang lebih murah. Hal ini karena tingkat pendapatan masyarakat dan harga-harga kebutuhan berbanding terbalik. Apapun akan diusahakan rakyat jika berada pada kondisi pengeluaran meroket sementara pendapatan stagnant atau malah menurun. Sangat ironi.
Pada dasarnya, program digitalisasi penyaluran subsidi BBM dipicu oleh mahalnya harga impor minyak dunia akibat perang Rusia-Ukraina. Sementara harga keekonomian yang sesungguhnya dari Pertalite adalah Rp 17.200 per liter dan Solar Rp 18.150 per liter . Sementara itu, harga jual tersubsidi untuk Pertalite Rp 7.650 per liter dan harga jual solar Rp 5. 150 per liter. Tentu saja dengan adanya subsidi, negara merasa menanggung beban yang cukup besar.
Sayangnya, kebijakan yang hadir justru beraroma kapitalistik. Karena sistem digitalisasi dalam penyaluran subsidi BBM tentu saja disinyalir akan mendatangkan keuntungan bagi pihak pengembang aplikasi. Sementara bagi rakyat, hal ini sangat menyusahkan dan merugikan. Belum lagi ditambah kekhawatiran atas keamanan data pribadi pengguna website dan aplikasi. Lantas, kepada siapa sebenarnya kebijakan digitalisasi ini berpihak?
Sejatinya, pengaturan sejumlah komoditi berharga murah dan terjangkau adalah kewajiban bagi pemerintah sebagai wujud pelayanan kepada masyarakat. Sebelum berburu impor, pemerintah dapat memaksimalkan potensi pengelolaan sumber daya alam dalam negeri untuk konsumsi sendiri. Sayangnya, kapitalisme sekularisme telah membuat negeri ini sangat sulit mengeksplorasi hasil tambang dan alamnya sendiri. Akibat aturan-aturan global yang dibuat pro swasta dan asing.
Misalnya liberalisasi migas yang puncaknya muncul saat lahirnya UU Migas (UU 22/2001). Dalam UU tersebut, khususnya pasal 28 ayat (2), memuat tentang pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar. Ketika pemerintah Indonesia dan IMF menandatangani Letter of Intent (LoI) pada 1998, hal ini berdampak pada pelepasan harga BBM ke mekanisme harga internasional. Otomatis, subsidi migas wajib dikurangi, bahkan dicabut. Liberalisasi migas pun bergulir.
Dengan begini, sangat wajar jika di masa depan masyarakat akan mempertanyakan ketulusan dan keseriusan pemerintah dalam meriayah (melayani) rakyatnya. Bukankah pemerintah terpilih telah mengambil amanah untuk bertanggung jawab atas setiap tugas kepemimpinannya?
Masalah utama bukanlah pada kecanggihan teknologi yang menjadi sarana melayani masyarakat, tapi sejauh mana keseriusan pemerintah untuk melayani masyarakat dengan cara yang benar. Sebelumnya, hal yang sama terjadi pada konsumsi minyak curah, kini pada subsidi BBM, nanti pada apalagi? Jangan sampai terkesan, demi kecanggihan teknologi, pemerintah mengabaikan empati.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan dalam sabdanya, “Ya Allah, siapa yang mengurusi satu perkara umatku, lalu ia menyulitkan umat, maka persulitlah ia. Dan siapa yang mengurusi perkara umatku, lalu ia memudahkannya, maka permudahlah ia” (HR Muslim).
Juga sabda beliau SAW, “Setiap hamba yang Allah (takdirkan) melayani masyarakatnya, (lalu) mati di suatu hari dan ia zalim (selama memimpin) kepada rakyatnya, maka Allah haramkan baginya surga” (Muttafaqun ‘alaihi).
Mencermati ini semua, hendaklah kita tidak berhenti bersuara. Kita harus terus menggencarkan kontrol sosial. Masyarakat harus kritis terhadap kezaliman. Masyarakat harus menolak kebijakan zalim perihal BBM ini agar tidak merembet pada kebijakan lainnya. []
Oleh: Rina Indrawati, SE
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments