Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Prof. Suteki: Jadi Profesor Itu Nalar Kebenaran Harus Tunduk pada Ilmu, Bukan Logika Kekuasaan


TintaSiyasi.com -- Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. berpesan kepada Prof. Budi Santoso Purwokartiko yang viral lantaran unggahannya di Facebook. "Jadi, profesor itu, nalar kebenaran harus tunduk pada logika ilmu, bukan logika kekuasaan," tuturnya kepada TintaSiyasi.com, Senin (9/5/2022). 

"Menjadi profesor itu berat. Menjadi profesor apalagi profesor radikal (ramah terdidik, dan berakal) itu jauh lebih sulit lagi. Bukannya sekadar memiliki tanggung jawab intelektual, melainkan juga tanggung jawab moral," imbuhnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Undip ini menyatakan, bisa saja profesor mengeluarkan teori ndakik-ndakik, tetapi mahasiswa akan melihat itu hanyalah NATO (no action talk only) saat melihat profesor tak sejalan antara perkataan dan perilakunya.

Prof. Suteki menambahkan, saat terjadi benturan antara ilmu dan kekuasaan, profesor "radikal" harus memilih setia pada ilmu dan membersamainya dengan segala konsekuensinya, bukan mengabdi dan mengemis pada kekuasaan.

"Akibatnya, kadang bukan hanya dialienasi oleh kekuasaan bahkan rekan sejawat pendidik pun ikut menjauhi dirinya karena takut distigma dan terpapar radikal. Bukan karena tak percaya nalar ilmu, tapi karena takut pada persekusi kekuasaan yang bisa setiap saat merampas capaian yang dirintis dengan ilmu selama puluhan tahun," cetusnya. 

Lebih lanjut ia menyampaikan, menjadi profesor "radikal" ini ibarat guru yang memiliki kewajiban "digugu lan ditiru", bukan "wagu tur saru". Ia mendorong agar tetap menjaga dedikasi, berani membela kebenaran dan keadilan, meskipun berisiko dikriminalisasikan dan dipersekusi jabatannya.

"Coba nalar ilmu mana yang bisa dibenarkan, seorang profesor pengajar Pancasila plus Filsafat Pancasila hingga nyaris seperempat abad, dipersekusi jabatannya karena tuduhan anti-Pancasila. Naif bukan?" tanyanya. 

Namun menurutnya, itulah risiko menjadi profesor "radikal", harus siap kehilangan jabatan demi kesetiaan pada visi meruhanikan ilmu, menjadi garda kebenaran dan keadilan, walau harus terkoyak dan kehilangan jabatan.

"Kalau hanya bermodal rasisme, islamofobia, dan xenophobia, malah mendapatkan jabatan, itu sih gampang sekali. Tidak perlu menjadi profesor, "Dilan" saja sanggup untuk melakoni semua itu," tandasnya. [] Puspita Satyawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments