Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Inilah yang disebut Dai dan Ulama


TintaSiyasi.com -- Mudir Ma’had Khadimus Sunnah Bandung Ajengan Yuana Ryan Tresna, M.E., M.Ag. menjelaskan siapa saja yang disebut dengan dai dan ulama di Telegram Yuana Ryan Tresna Official, Kamis (19/05/2022).

“Siapa saja dari kaum Muslim wajib berdakwah. Esensi dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran Islam. Padanya disyaratkan tsiqah (takwa dan akurat). Jadi juru dakwah (dai) itu harus amanah. Kalau tentang ulama, lain lagi. Ada manhajnya, baik dalam belajar maupun dalam mengajar,” tutur Ajengan Yuana.

Dijelaskannya, di Indonesia, dai itu disebut ustaz, tidak apa-apa, itu urf (tradisi) saja. Sebuah penghormatan bagi penyampai agama Islam. Belum tentu dia ulama.

“Ada yang disebut rawi. Rawi ini seperti dai. Tidak semua rawi (periwayat) hadis itu ulama. Rawi yang juga imam, hujah, alim, faqih, hafiz, dan lain-lain tidaklah banyak. Tetapi, periwayatan mereka semua diterima selama tsiqah (adil dan dhabith). Keadilan terkait dengan ketakwaan, sedangkan ke-dhabith-an terkait dengan akurasi dan kecermatan. Sikap amanah inilah yang nampak pada seorang rawi,” jelasnya.

Ia mengutip pendapat Imam al-Syirazi di dalam kitab Tadrib al-Rawi, Bab Muqaddimah di halaman 16 yang membedakan antara alim, faqih, hafizh dan rawi. “Pertama, alim adalah orang yang mengetahui matan dan sanad; kedua, faqih adalah orang yang mengetahui matan dan tidak mengetahui sanad; ketiga, hafizh adalah orang yang mengetahui sanad dan tidak mengetahui matan; keempat, rawi adalah orang yang tidak (disyaratkan) mengetahui matan dan sanad,” paparnya.

Teliti

Ajengan Yuana menyatakan, “Masih dalam Muqaddimah kitab Tadribur Rawi, Imam As-Suyuthi mensyaratkan empat hal apakah orang tersebut ilmunya bisa dirujuk atau tidak.” 

“Qadhi Abdul Wahab berkata, ‘Isa bin Aban menyebutkan dari Malik, bahwasanya dia berkata, ‘Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang, dan ilmu diambil dari selainnya, yang terdapat di dalam kitab Tadrib al-Rawi, Bab Muqaddimah, halaman 16,” imbuhnya.

Pertama, Ilmu tidak diambil dari ahli bid’ah (dalam perkara aqidah-pen) yang menyerukan kepada kebid’ahan. “Kedua, ilmu tidak diambil dari orang bodoh yang mendemonstrasikan kebodohannya,” jelasnya.

Ketiga, ilmu tidak diambil dari orang yang berdusta dalam perkataan manusia, meskipun dia jujur dalam khabar Nabi Shalallahu ‘alaihi Wasallam. Keempat, ilmu tidak diambil dari orang yang tidak mengetahui perkara ini (hadis, tidak ahli di bidangnya –pen),” sebutnya.

“Sekali lagi, rawi itu diterima karena adil dan dhabith. Adil terkait keimanan dan ketakwaan. Dhabith terkait keilmuan atau intelektualitas. Cara untuk dapatkan keduanya dengan talaqi dan mulazamah,” tuturnya.

Ajengan Yuana menambahkan, ada rawi yang secara tahun wafat senior, misal masuk thabaqat 7, tapi karena qalilul mulazamah maka dikelompokan pada thabaqat 9. Jadi selain tahun wafat, hal penting yang jadi pertimbangan adalah aspek katsirul mulazamah (banyak menyertai guru). 

Mulazamah juga tempat bersemainya akhlak dan adab. Tanpa adab, integritas (keadilan) dan intelektualitas (ke-dhabit-an) menjadi hampa,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan agar memperhatikan seseorang dengan ciri sebagai berikut, “Pertama, tinggalkan kalau ada seorang yang disebut ulama, kiai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi berdusta atau menyebarkan fitnah, maka ia cacat aspek ketakwaannya. Minimal mungkar atau matruk.” 

Kedua, tinggalkan kalau ada seorang yang disebut ulama, kiai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi selalu ceroboh dan tidak akurat dalam penukilan dan pendapat, menimbulkan mudarat. “Maka ia cacat aspek keilmuannya. Minimal ghaflah atau fukhsyul ghalath,” lugasnya.

Ketiga, dikatakan cacat kalau ada seorang yang disebut ulama, kiai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi berbicara di luar kemampuan (keahliannya) dan banyak mengira-ngira dalam perkara agama. “Minimal katsirul khatha' dan wahm yang mengantarkan pada illat,” ucapnya.

Keempat, kalau ada seorang yang disebut ulama, kiai, ustaz, gus, atau yang lainnya, tetapi selalu merasa diri benar dan menganggap rendah pihak lain, maka ia cacat aspek akhlaknya. “Tidak atau sedikit mulazamah, sehingga akhlak dan adabnya pun tidak bersemai. Maka telah terjatuh kedudukannya!” sebutnya.

“Terakhir, jadi harus bedakan antara para pendakwah dengan ulama. Juga tidak ada syarat bahwa dai harus lulusan luar negeri, harus ini dan itu yang merupakan syarat yang mengada-ada. Seseorang disebut belajar Islam dengan manhaj yang benar kalau ia tempuh dengan talaqi dan mulazamah. Walau belajarnya dari ustaz kampung, kalau menempuh manhaj yang benar maka ilmunya muktamad (diakui),” tandasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments