Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Soal Nikah Beda Agama, Ustaz Fahmi Salim: Bukan Perdebatan Fiqih, tetapi Kekonyolan


TintaSiyasi.com -- Menanggapi mencuatnya perihal pernikahan beda agama antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, Da’i Ustaz Fahmi Salim menegaskan bahwa hal itu bukan lagi perdebatan fiqih, melainkan kekonyolan. 

“Ini bukan perdebatan fiqih, tetapi adalah kekonyolan,” tuturnya dalam Fokus: Nikah Beda Agama dan Fenomena Kemusyrikan di saluran YouTube UIY Channel, Ahad (27/3/2022). 

Menurutnya, tidak ada perdebatan fiqih perkara haramnya pernikahan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, baik dia menikah dengan laki-laki ahlul kitab ataupun laki-laki musyrik. 

Fahmi menjelaskan, akad pernikahan tidak boleh terjadi, kecuali dengan izin syar’i. Yaitu, kecuali ada nashnya di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah. Sebab, hukum asal hubungan seksual adalah haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya atau menghalalkannya. Karena itu, lanjutnya, pernikahan beda agama adalah haram, kecuali yang dihalalkan. Dalam konteks ini, ia menjelaskan, yang dihalalkan tersebut hanyalah laki-laki Muslim dibolehkan menikahi wanita ahlul kitab sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 5. 

“Yang dihalalkan dalam konteks ini ya cuma satu, yaitu Al-Maidah ayat 5. Yaitu, laki-laki Muslim dibolehkan untuk menikahi wanita ahlul kitab. Hanya itu saja yang didispensasi nikah beda agama. Yang lainnya tetap haram. Karena, konteks pernikahan beda agama,” terangnya. 

Salim menduga di balik fenomena nikah beda agama itu, ada desain untuk melegalkan pernikahan beda agama. “Ada semacam desain untuk melegalkan pernikahan beda agama itu. Karena mereka ini, kelompok liberal ini sudah gatel sekali ingin mengubah,” ungkapnya. 

Alasannya karena kelompok liberal telah beberapa kali melakukan judisial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengganti materi-materi yang ada di undang-undang nomor 1 tahun 1974. Sementara, menurutnya, undang-undang tersebut merupakan hasil dari perjuangan panjang umat Islam. 

Ia menerangkan, pada tahun 1973 rezim Orde Baru pernah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perkawinan yang dalam salah satu pasalnya ada yang menyatakan bahwa perbedaan suku, etnis, agama, bahasa bukanlah penghalang untuk terjadinya sebuah pernikahan. 

“Artinya apa? Ingin mengatakan bahwa perbedaan agama, perbedaan keyakinan itu ketika ada orang ingin mengadakan proses pernikahan itu dianggap sah oleh negara. Ini bertentangan dengan hukum Islam,” tegasnya. 

Fahmi mengingatkan, Indonesia mayoritas umat Islam. Menurutnya, undang-undang bukan hanya tentang sekadar muamalah atau sosial biasa, sementara pernikahan tidak boleh terjadi kecuali dengan izin syar’i. 

“Jadi dia (Muslimah yang menikah beda agama) tetap dalam keadaan haram. Jangan dibolak-balik. Oleh orang liberal ini, satu dalil al Maidah ayat 5 yang membolehkan Muslim  laki-laki menikahi wanita ahlul kitab, lalu dibawa untuk menghalalkan semua bentuk perkawinan beda agama. Itu jelas keliru, jelas sesat menyesatkan, tidak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an, tidak sesuai dengan hadis Nabi SAW, juga praktik sahabat dan salafus shalih,” pungkasnya.[] Tyas
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments