TintaSiyasi.com -- Makin liberal saja manusia di zaman ini. Demi memuaskan hawa nafsu dan mengikuti gaya hidup modern, orang memilih menjalani hidup dengan kelainan orientasi seksual sebagai kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Para pelaku dan pendukung gerakan LGBT secara terbuka mulai menunjukkan eksistensinya di ranah publik melalui komunitas tertentu didukung oleh pemberitaan media massa maupun media sosial.
Sampai saat ini belum diketahui jumlah populasi LGBT secara pasti di Indonesia. Namun, jumlah lelaki berhubungan seks dengan lelaki (LSL) termasuk biseksual mencapai lebih dari 1 juta orang (Kemenkes RI, 2014). Sedangkan populasi lesbian belum banyak diketahui.
Selain jumlah pelaku yang makin masif, LGBT saat ini bukan lagi sekadar persoalan individu-individu, namun makin terorganisir dan terstruktur rapi. Bahkan pada level tertentu, komunitas ini dibela dan diperjuangkan eksistensinya secara sistematis dengan dalih penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sampai akhir tahun 2013 terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang menaungi 119 organisasi di 28 provinsi. Pertama, yakni jaringan gay, waria, dan laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain Indonesia (GWLINA) yang didirikan pada Februari 2007 dan mendapat dukungan dari organisasi serupa pada tingkat internasional. Jaringan kedua, yaitu Forum LGBTIQ Indonesia yang didirikan pada 2008. Organisasi ini bertujuan untuk memajukan program hak-hak seksual yang lebih luas dan memperluas jaringan agar mencakup organisasi-organisasi lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender (Republika, 23 Januari 2016).
Mirisnya lagi, Thailand dan Vietnam, yang merupakan anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) telah melegalkan pernikahan sesama jenis (LGBT). Dikabarkan, Singapura juga bersiap mengikuti jejak kedua negara tersebut untuk melegalkan hubungan pernikahan sesama jenis.
Dalam Islam, LGBT merupakan bentuk penyimpangan dan tergolong perbuatan yang keji (fahisyah). Kasus LGBT pertama kali terjadi pada zaman Nabi Luth as. Penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ini menjadi sejarah LGBT yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an QS Al-A'raf Ayat 80:
وَلُوۡطًا اِذۡ قَالَ لِقَوۡمِهٖۤ اَتَاۡتُوۡنَ الۡفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمۡ بِهَا مِنۡ اَحَدٍ مِّنَ الۡعٰلَمِيۡنَ
Artinya: "Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, "Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)."
Kaum Nabi Luth bukan saja tidak bersyukur atas nikmat-Nya, tetapi juga mengingkari fitrah manusia yang oleh Allah diciptakan agar berpasangan antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan mengembangkan keturunan manusia guna memakmurkan alam ini.
Nabi Luth diutus kepada kaum seperti ini untuk menyampaikan ajaran Allah agar mereka kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan kelakuan buruk yang bertentangan dengan sunatullah. Karena mereka menolak ajakan Nabi Luth untuk kembali kepada fitrahnya dan taat kepada Allah SWT, maka Allah membinasakan kaum durhaka tersebut. Allah SWT mengabadikan kisah tentang diazabnya kaum Nabi Luth dalam firman-Nya :
فَأَخَذَتۡهُمُ ٱلصَّيۡحَةُ مُشۡرِقِينَ فَجَعَلۡنَا عَٰلِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمۡطَرۡنَا عَلَيۡهِمۡ حِجَارَةٗ مِّن سِجِّيلٍ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّلۡمُتَوَسِّمِينَ
Artinya: "Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit, Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang yang memperhatikan tanda-tanda" (QS Al-Hijr: 73-75).
Ayat ini sekaligus sebagai peringatan dari Allah kepada manusia agar tidak melakukan penyimpangan fitrah kemanusiaan (apapun alasannya) dan melampaui batas dalam memperturutkan hawa nafsunya.
Sejatinya, LGBT bukanlah bagian dari hak asasi manusia, melainkan tergolong perilaku yang menyimpang dan dikategorikan gangguan jiwa.
Dalam Islam jelas bahwa ide LGBT adalah haram dan tidak boleh dilindungi dengan dalih apapun, sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual)” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).
Kondisi seperti ini jika dibiarkan bukan hanya mengancam generasi, tetapi juga populasi manusia. Karena Allah telah menegaskan dalam QS an-Nisa : pertama bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan adalah untuk kelangsungan jenis manusia dalam segala martabat kemanusiaannya, sehingga telah jelas semua hubungan seksualitas yang dibenarkan oleh Islam adalah melalui pintu pernikahan yang sah secara syari.
Problem LGBT sebenarnya merupakan problem yang sistemik, sehingga pencegahan dan pemberantasan perilaku menyimpang LGBT tak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus secara menyeluruh sampai ke akar-akarnya. Dan syariat Islam memiliki solusi yang paripurna untuk mengatasinya, dari sisi preventif, kuratif maupun dalam hal pemberian sanksi.
Syariat Islam sendiri sesungguhnya memiliki tiga pilar dalam penerapannya, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial dalam masyarakat dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara.
Dari sisi preventif, Islam mensyariatkan agar negara mewajibkan kepada diri rakyat untuk mempelajari akidah Islam dan membangun ketakwaan individu kepada Allah SWT. Dengan bekal keimanan dan ketakwaan tersebut dengan sendirinya akan mampu membentengi warga negara dari sikap hedonis dan budaya barat yang mengutamakan pemuasan hawa nafsu.
Sistem pendidikan pun haruslah berbasis Islam, yang mencakup penanaman norma-norma, budaya, moral dan pemikiran Islami.
Negara juga wajib melakukan pembinaan dan sosialisasi tentang hukum syarak. Yang tak kalah penting, negara juga harus memblokir situs-situs pornoaksi dan pornografi di tengah masyarakat, sehingga masyarakat terlebih generasi muda akan terhindar dari media-media yang dapat merusak moral. Dengan demikian akan tercipta sebuah ketakwaan individu yang ditopang oleh kontrol sosial yang baik dalam masyarakat.
Sedangkan bagi para pelaku penyimpangan, termasuk para pelaku LGBT, diberikan pembinaan terlebih dahulu. Ketika mereka memahami dan berniat untuk kembali kepada jalan yang benar, bertaubat sepenuh hati serta tidak mengulangi kembali perbuatan buruknya, maka sanksi hukum tentu tidak dikenakan.
Tetapi ketika pelaku penyimpangan perilaku alias LGBT ini tidak juga bertaubat, maka sanksi hukum yang sesuai syariat Islam harus diberlakukan. Sanksi yang diberikan akan disaksikan masyarakat secara langsung, sehingga akan membuat jera para pelaku tindak kriminal dan mencegah masyarakat lainnya untuk melakukan kejahatan. Menurut syariat Islam hukuman bagi LGBT adalah dijatuhkan dari gedung yang tinggi hingga mati.
Inilah kesempurnaan syariat Islam dalam mengatasi problema kehidupan manusia sejak dulu hingga saat ini. Maka sudah seharusnya kaum Muslim menerapkan syariat Islam dalam berbagai sendi kehidupan, demi kemaslahatan hidup seluruh manusia.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Pujiati SR, S.ST
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments