Tintasiyasi.com -- Pesta demokrasi sebentar lagi segera dilaksankan, menuju Pilpres 2024. Masing-masing kubu telah mendeklarasikan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan bersaing menduduki kursi panas kekuasaan. Mulai dari berkoalisi menjadi kawan, berubah menjadi lawan yang penuh dengan hipokrisi alias berujung penghianatan. Seakan menunjukan harus bersiap dengan segala konsekuensi dan kekecewaan.
Sebagaimana yang dilansir CNBCIndonesia.com (2/9/2023), bakal calon presiden Anies Baswedan dicap sebagai pengkhianat. Anies dianggap telah berbohong terhadap partai politik pengusungnya, Partai Demokrat, soal pilihan calon wakil presiden (cawapres).
Itulah yang dinamakan dunia demokrasi, penuh dengan ilusi kebohongan dibungkus dengan iming-iming perubahan. Nyatanya nihil, banyak melahirkan omong kosong semata. Penghianatan pun pasti akan dilakukan demi meraih kepentingan semata.
Seperti dikutip dari media Muslimah News, suasana politik bertambah panas saat Partai Nasdem dari Koalisi Persatuan dan Perubahan (KPP) mendeklarasikan Cak Imin dari PKB sebagai pasangan cawapres bagi Anies Baswedan, padahal diketahui bahwa PKB adalah anggota partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) serta Partai Gerindra yang secara resmi mengusung Prabowo sebagai capresnya.
Langkah Nasdem pun dianggap pengkhianatan oleh kawan koalisinya di KPP, terutama Partai Demokrat yang diketahui sangat berambisi menjadikan AHY sebagai cawapres. Terlebih, menurut pihak AHY, belum lama ini Anies Baswedan pernah mengirim surat kepada AHY yang isinya meminang dirinya sebagai pasangan.
Wajar jika AHY merasa dikhianati. Bahkan, pidato yang berisi kekecewaannya pun kini berseliweran di media sosial. Hal ini berbeda dengan pihak KIM yang menyikapi pengkhianatan PKB dengan lebih santai lagi. Maklum, apa yang terjadi ini sudah diprediksi sejak jauh-jauh hari (6/9/2023).
Dasar dari demokrasi adalah kepentingan. Tidak ada kawan yang sejati, yang ada adalah kepentingan abadi. Slogan tersebut mewakili kejadian di atas. Semula kawan bisa menjadi lawan asal bisa menguntungkan, walau rakyat yang harus dibikin bingung. Maka tidak heran jika hari ini bilangnya A, besok berubah B dengan sekejap mata. Itulah dunia demokrasi.
Koalisi memang menjadi faktor tuntunan dalam berpolitik. Disepakati sistem pemilu menggunakan presidential treshold artinya capres dan cawapres diusung gabungan partai politik yang memiliki kursi 15 %. Ini menjadikan syarat partai harus membangun koalisi. Walhasil dengan sistem ini, tarik ulur kekuasaan dan penghianatan memang harus dilakukan jika ingin terlibat dalam pesta demokrasi hari ini.
Dengan semboyan sistem demokrasi kedo vox populi vox dei (suara rakyat suara tuhan) artinya kedaulatan terbesar ada ditangan rakyat, bukan ditangan tuhan. Wajar tiap 5 tahun pemilihan selalu dilakukan dengan standar suara terbanyak. Suara ustadz dan suara orang gila berlaku sama. Kuantitas lebih diutamakan ketimbang melihat faktor kualitas.
Namun pada kenyataannya sering kali suara rakyat bisa diambil alih oleh parpol, dengan transaksional partai. Pelaksanaannya pun, untuk menentukan pasangan capres atau cawapres justru kedaulatan berada ditangan kekuatan parpol itu sendiri. Dan kekuatan parpol dipegang oleh kekuatan elit global para kapital yang menjadi pemodal. Dimana sebenarnya kedaulatan di tangan rakyat itu sendiri yang sering digaungkan?
Dana yang disiapkan untuk pemilu harus menyiapkan biaya besar. Wajar saja ajang pemilu sering kali menjadi "ajang perjudian besar-besaran." Para pemodal siap jadi bekingan berupa proyek, kebijakan UUD yang menguntungkan bagi mereka. Dana kampanye yang menguras, tentu potensi berbuat kecurangan semakin tinggi karena masing-masing calon bersaing lewat finansial. Sudah lumrah terjadi dalam prosesnya.
Selain itu, peran agama tidak berlaku. Sebab sistem ini tegak di atas sekuler, agama tidak berhak mengatur kehidupan sosial termasuk dalam urusan politik. Halal haram bukan tolak ukur, maka tidak heran potensi kecurangan dalam persaingan merebut kekuasaan kerap terjadi. Janji manis antar sesama parpol melalui perjanjian akan begitu mudahnya dilanggar, sebab tidak ada rasa takut kepada pencipta, karena menganggap urusan politik bukan ranah tuhan.
Dengan segudang fakta dan realita di atas, sudah cukup menjadi bukti bahwa sistem demokrasi bukan sistem terbaik yang layak diterapkan, sudah terbukti berpuluh-puluh tahun diterapkan menimbulkan banyak kerusakan di segala bidang. Beberapa kali pemilu dilaksanakan hanya menjadi ajang tipu-tipu bagi rakyat, sangat jauh melahirkan pemimpin yang amanah.
Sejarah telah mencatat, ratusan tahun yang lalu sejak kepemimpin Islam melahirkan solusi kepemimpinan cemerlang. Hanya dengan kembali pada sistem buatan sang maha penciptalah, keadilan dan kesejahteraan bisa dirasakan bersama-sama. Wallahu a'lam bishshowab.
Oleh: Rani
(Relawan Opini)
0 Comments