Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tanpa Basa-basi, Eks Koruptor Berebut Kursi


TintaSiyasi.com - Pemimpin amanah adalah harapan rakyat, namun masih saja eks napi korupsi ingin mengambil porsi kepemimpinan meski sudah tercoreng muka karena "menjambret" harta rakyat. Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 12 nama calon anggota legislatif (caleg) mantan terpidana korupsi yang akan ikut berkontestasi dalam pileg 2024 mendatang. 

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, 12 nama caleg tersebut hasil temuan dari daftar calon sementara (DCS) yang dirilis 19 Agustus 2023. "Hari ini partai politik sebagai pengusung bakal calon anggota legislatif (caleg) ternyata masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi," pungkasnya.

Menurut Kurnia, kondisi saat ini berbeda dengan yang terjadi di Pemilu 2019. KPU saat itu, tambahnya, justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi. Artinya, langkah penyelenggara pemilu saat ini merupakan suatu kemunduran dan tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel (Kompas.com, 25/08/2023).


Alasan HAM, Eks Napi Korupsi Daftar Bacaleg

Kurnia Ramadhan dan lembaganya mendesak KPU untuk segera mengumumkan nama bacaleg baik tingkat DPRD kota/kabupaten, provinsi, DPR RI dan DPD RI yang berstatus sebagai mantan koruptor. Ada beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Dulu sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan dengan alasan HAM. 

Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. 

Kebolehan ini di satu sisi seolah menunjukkan tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Inilah realita demokrasi. 

Hal ini bisa terjadi karena inti demokrasi adalah hak membuat aturan ada pada manusia, bukan Tuhan. Akibatnya, para penguasa bisa membuat aturan sesuka hati mereka untuk memuluskan syahwat politiknya. Bahkan, mereka bisa saling bekerja sama—meski berbeda fraksi—demi mengegolkan suatu regulasi yang dikehendaki.

Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, hukum bisa dibeli. Memang seperti inilah jika pengurusan masyarakat hanya memperhitungkan untung rugi bagi segelintir elite. 

Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat.

Abdurrahman bin Samurah berkata, Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung jawabnya akan dibebankan kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu akan diberi pertolongan.” (HR Muslim).

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi dalam Islam sanksi berfumgsi sebagai  zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus).

Semoga kejadian ini menyadarkan kita bahwa tidak ada sistem paripurna untuk masyarakat kecuali hanya Islam yang mampu mengurusi masyarakat sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai perintah Rabb-nya. Wallahu a'lam. []


Oleh: Leny Agustin S.Pd.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments