TintaSiyasi.com -- Pemilu 2024 sudah di depan mata. Menariknya, pada pemilihan umum tahun depan suara pemilih akan didominasi anak muda. Ini terungkap dari laporan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang rilis pada September 2022. CSIS memprediksi, proporsi pemilih muda (kelompok usia 17-39 tahun) atau mencakup sebagian Generasi Z (Gen Z) dan Milenial dalam pesta demokrasi tahun depan itu jumlahnya lebih dari 50 persen. Generasi Z sendiri merujuk pada penduduk yang lahir di periode kurun waktu tahun 1997-2012 atau berusia antara 18 sampai 23 tahun. Sementara Milenial adalah mereka yang lahir pada kurun waktu 1981-1996 atau berusia antara 24 sampai 39 tahun. Sebagai gambaran, jumlah kelompok usia 15-39 tahun dalam Sensus Penduduk 2020 porsinya 41,06 persen atau sekitar 110,8 juta orang. Bila dikonversi dengan data dari KPU (pemilih 2019 sebanyak 190 juta orang), maka proporsi pemilih muda tersebut ditaksir menyentuh 58 persen.
Anak muda memanglah lekat dengan perubahan. Sejarah perubahan di negeri ini pun tak lepas dari kontribusi pemuda. Mulai dari perjuangan melawan penjajah, peristiwa proklamasi, masa-masa awal mengisi kemerdekaan hingga reformasi 1998. Semua peristiwa penting itu melibatkan bahkan diinisiasi oleh pemuda. Pasca reformasi, demokrasi diklaim sebagai harga mati. Kebebasan konon harus dilindungi. Hingga pemuda pun diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkontribusi dan memberikan aspirasi. Terlebih menjelang tahun politik 2024, pemuda menjadi ujung tombak karena besarnya jumlahnya dibandingkan jumlah pemilih keseluruhan. Kontestasi politik diwarnai berbagai upaya untuk merebut suara anak muda. Namun, benarkah kontribusi pemuda hanya sebatas ini bagi kemajuan negeri?
Sementara itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik (www.voaindonesia.com).
Mantan narapidana kasus korupsi atau napi koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. Menurut Kurnia, kondisi saat ini berbeda dengan yang terjadi di Pemilu 2019. KPU saat itu, tambahnya, justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi. Artinya, langkah penyelenggara pemilu saat ini merupakan suatu kemunduran dan tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel.
Mencari Pemimpin Bersih di Tengah Tumpukan Jerami
Realitas adanya calon pemimpin yang terbukti pernah melakukan tindak pidana korupsi memunculkan suatu pertanyaan besar. Apakah tidak ada lagi calon pemimpin yang lebih layak untuk mengemban amanah? Jawabannya, tentu masih banyak calon pemimpin yang lebih baik. Namun, partai politik sebagai kendaraan para calon pejabat nyatanya tidak menjadikan kapabilitas sebagai pertimbangan utama. Sistem politik demokrasi yang berbiaya besar lebih ‘menghargai’ kader partai yang memiliki kekuatan dana. Orang baik, tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri.
Inilah realitas demokrasi, yang tidak bisa dipungkiri terjadi dalam kehidupan politik saat ini. Proses kampanye membutuhkan biaya besar. Biaya fantastis yang dikeluarkan tidak bisa dijangkau kecuali oleh pengusaha. Alternatif lainnya, calon pejabat tanpa modal cukup harus meminta sponsor kepada pemilik dana. Semakin gencar kampanye, semakin terbangun citra positif, maka semakin besar peluang terpilih. Kelak, ketika terpilih harus putar otak untuk mengembalikan dana kampanye. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pun kembali terjadi.
Fase keburukan yang berulang seperti ini menjadi sesuatu yang biasa di alam sekuler demokrasi. Uang dan modal menjadi kunci dari kepemilikan kekuasaan. Tak jarang, pemimpin yang bersih pun harus terseret dalam pusaran keburukan yang sistemik. Upaya untuk mencari pemimpin bersih di dalam sistem yang kotor seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Dan kondisi seperti ini tidak akan berubah selama tetap bertahan di dalam sistem politik sekuler demokrasi.
Saatnya Kaum Muda Menciptakan Arus Perubahan
Menjelang tahun politik, kaum muda harus menciptakan arus sendiri. Anak muda tidak boleh membiarkan dirinya hanya dijadikan mesin pengumpul suara namun minus dari pemikiran politik yang benar. Terlebih anak muda muslim, harus memahami bahwa Islam pun telah memiliki konsep berpolitik yang cemerlang.
Sejarah Islam berawal dari hadirnya sosok pemuda terpercaya, Muhammad bin Abdullah, yang menerima wahyu pertama di Gua Hira, sosok pemuda paling revolusioner sepanjang sejarah manusia. Muhammad ‘al-Amin’ berhasil menghimpun pemuda Quraisy dari berbagai kalangan dalam sebuah Hizb [ar]-Rasul (partai politik) serta menerima kekuasaan politik dari para pemimpin muda kabilah di Yatsrib.
Dalam waktu setahun, Mush’ab bin Umair, pemuda cerdas utusan dakwah Rasul untuk Yatsrib—berhasil mengislamkan mayoritas penduduknya tanpa goresan pedang. Kecerdasan Mush’ab mampu menundukkan para pemuda pemuka Yatsrib, seperti As’ad bin Zurarah, Usaid bin Hudhair, dan Sa’ad bin Mu’adz (pemuka utama) cukup bersenjatakan nas dan argumentasi logis yang sejalan dengan fitrah manusia. Pada puncak peralihan kekuasaan, penyerahan kekuasaan (istilamul hukmi) dari pemuka Yatsrib kepada Muhammad Rasulullah saw. sebagai kepala negara, berjalan damai penuh rahmat. Memang demikianlah politik Islam sejak mulanya. Bangunan keimanan, ketaatan, dan loyalitas total terhadap ajaran Islam menjadi pilar utama institusi politik Negara Islam.
Demikianlah pemberdayaan potensi pemuda di dalam sistem politik Islam. Pemuda pada hari ini harus dikelola sebagaimana amal Rasulullah SAW. Rasulullah mengawali dengan aktivitas tatsqif atau pembinaan yang dilakukan di rumah Arqam bin Abil Arqam sehingga lahirlah kader-kader dakwah yang loyal dan menjadikan aqidah Islam sebagai pondasi bagi setiap amal. Maka pemuda hari ini harus dibina dengan aqidah Islam agar mereka terlahir sebagai insan berkepribadian Islam. Mereka tumbuh dengan suatu pemahaman bahwa Islam bukan sekadar akidah ruhiyah, tetapi juga akidah siyasiyah. Islam bukanlah sekadar agama, tetapi Islam adalah ideologi bagi negara, masyarakat, dan kehidupan, sehingga pemerintahan dan negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Islam.
Para pemuda muslim mustahil mencukupkan diri dengan amal individu menegakkan sistem Islam yang menerapkan syariat kafah. Megaproyek ini membutuhkan kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas. Mereka butuh amal jama’i (berjamaah) bersama sebuah partai Islam ideologis.
Islam telah mendesain bangunan partai Islam ideologis sebagaimana dalam QS Ali Imran ayat 104. Sifat dan karakter utama partai Islam adalah mengoreksi berbagai kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan tuntutan syariat. Dakwah amar makruf nahi mungkar berdimensi politik lokal maupun global. Partai Islam harus berasaskan akidah Islam, menolak sekularisme, dan hanya mengambil Islam dalam menawarkan solusi berbagai problematik umat.
Partai Islam ideologis adalah rumah bagi para pemuda muslim yang kalbunya merindukan negerinya menjadi “Madinah Kedua” dan penduduk negerinya menjadi “ahlul Madinah”. Partai Islam ideologis merupakan representasi Hizb [ar]-Rasul masa kini yang beranggotakan para pemuda Anshar dan Muhajirin abad ke-21. Di dalam partai politik ideologislah para pemuda dapat mengoptimalkan potensinya semata-mata untuk kemuliaan Islam sebagaimana Mushab bin Umair dan Abdullah bin Umi Maktum yang diutus sebagai duta dakwah di Yastrib. Sinergi dakwah yang indah dari keduanya telah menjadikan Madinah dalam kurun waktu tak lebih dari satu tahun telah menjelma negeri yang siap diterapkan syariah kaffah atasnya. Padahal keduanya adalah orang asing di bumi Madinah. Namun, kekuatan ideologi Islam telah menjadikan keduanya sosok pembawa perubahan. Rasulullah dan para shahabat dengan berani menciptakan arus baru di tengah kejahilyahan system pada masa itu. Dan demikianlah keteladanan yang harus diikuti oleh para pemuda muslim hari ini. Berbekal ideologI Islam, anak muda muslim harus berani menciptakan arus baru yang berseberangan dengan arus kehidupan saat ini. Di saat dunia terpancang pada demokrasi dan sekulerisme, anak muda Muslim harus siap mewarnai dunia dengan pemikiran politik Islam ideologis yang akan membawa pada perubahan dan kesejahteraan hakiki.
Oleh: Oktavia Nurul Hikmah, S.E.
Pemerhati Sosial
0 Comments