TintaSiyasi.com - Pulau Rempang di provinsi Kepri yang dihuni sekitar 4.000 penduduk asli Melayu pribumi terusik keberadaannya akibat tindakan represif aparat keamanan gabungan TNI-Polri, Satpol PP dan Badan Pengelola (BP) Batam yang berlangsung 7 September 2023.
Warga Rempang mengalami rudapaksa dengan pengosongan lahan seluas 17.000 hektar, sebanyak 16 kampung tua yang telah ada sejak ratusan tahun harus di kosongkan karena pulau tersebut akan dibangun Rempang Eco City (REC) yang menjadi proyek milik PT. Makmur Elok Graha.
Penindasan yang dibumbui dengan ultimatum kepada warga Rempang, terkesan bahwa proyek ini sangat darurat dan penting, hingga pemberian batas pengosongan pulau sampai dengan 28 September 2023. Jelas sekali REC bukan untuk kepentingan rakyat kecil. Tindakan anarkis dan kezaliman menjadi alat kekuasaan penguasa dengan meminjam tangan aparat sebagai alat gebuk rakyat. Sekalipun terbukti bahwa penduduk Rempang secara turun temurun tinggal di sana, dan tanah tersebut sudah menjadi tanah Ulayat (tanah adat), tetapi dalih pemerintah mengklaim tanah tersebut milik negara, alih-alih diperkuat dengan alasan demi kepentingan pembangunan dan investasi yang manfaatnya dipandang jauh lebih besar. Proyek pembangunan kawasan Rempang termasuk salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) dicanangkan pemerintah yang konon untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dengan berlandaskan aturan di bawah payung UU Cipta Kerja.
Bahkan pemerintah menyatakan sebagaimana pulau lainnya, dengan menyetujui pemberian konsesi selama 30 tahun hingga 80 tahun kepada PT. Makmur Elok Graha (PT.MEG) yang merupakan anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata, menyatakan bersedia untuk mengembangkan Pulau Rempang menjadi kawasan perdagangan, jasa, industri dan pariwisata sesuai rancangan pemerintah.
Pemberian konsesi di Rempang dilakukan bersamaan dengan pemberian konsesi ratusan ribu hektar tanah lainnya di pulau Galang dan Setokok yang akhirnya proyek tersebut tidak berjalan sesuai harapan hingga merugikan negara sebesar Rp3,6 triliun. Negarapun tidak bisa mengajukan tuntutan karena kerjasama tersebut tidak menetapkan kewajiban pemberian ganti rugi oleh investor kepada negara jika gagal. Penguasa negeri inilah yang memproyeksikan Pulau Rempang sebagai PSN dengan konsep Green and Sustainable City ke Chengdu Cina. Hasilnya terjadilah MoU bersama Xinyi Group, perusahaan kaca dan solar terintegrasi terbesar di dunia yang ada di China.
Realitasnya semua proyek pembangunan yang dipicu konflik lahan selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat justru tidak dinikmati oleh para korban dan rakyat menjadi tumbal para korporasi dan negara sebagai pelayannya. Bahkan tidak dipungkiri banyaknya proyek strategis nasional berlatar konflik lahan, malah berujung mangkrak yang berakibat merugikan keuangan negara.
Akar permasalahan dari kasus Rempang ini karena negara meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, yang praktiknya ada di tangan para oligarki. Paradigma kekuasaan negeri ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang mengatas tuhankan kapital dan kebebasan. Negara hanya bertindak sebagai regulator (pengatur) kepentingan para korporasi. Jadilah negeri ini negeri korporatokrasi (pemerintahan perusahaan) bentuk pemerintahan dimana kewenangan telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Penguasa abai dalam mengurus apalagi melindungi (jiwa) rakyat, termasuk soal kepemilikan lahan dan segala yang menyangkut hajat hidup serta kemaslahatan orang banyak.
Islam sebagai Solusi Atas Problematika Umat
Kekuasaan dan kepemimpinan dalam Islam tegak di atas asas akidah Islam untuk menerapkan hukum-hukum syariah Allah. Dari Ibnu 'Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin (raa'in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya." (H.R. Bukhari).
Penguasa dalam sistem Islam akan selalu berhati-hati dan rasa takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Setiap kebijakan yang diambil pasti akan memberi kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyatnya. Terlebih memastikan setiap jiwa rakyatnya terpenuhi semua hak dan kebutuhannya.
Salah satu dari ekonomi Islam mengatur soal kepemilikan lahan. Lahan memiliki tiga status kepemilikan. Pertama milik individu seperti lahan hunian, pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua lahan milik umum seperti hutan, laut, sumber daya energi dan sebagainya. Ketiga milik negara yakni lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara.
Haram bagi negara atau swasta (maupun asing) untuk mengambil hak individu atau umum untuk dilegalisasi oleh kebijakan negara meskipun dengan mengatasnamakan rakyat. Islam mengatur negara tidak boleh melakukan kerja sama dengan negara kafir penjajah apalagi menjadi boneka korporasi meski berdalih investasi atau untuk pertumbuhan ekonomi. Semua korporasi harus hengkang dari Daulah Islam.
Untuk kepemilikan lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya wajib diambil negara agar semua manfaat dapat dirasakan seluruh rakyat.
Pengoptimalan pemanfaatan lahan diatur oleh Islam dengan aturan tentang larangan penelantaran lahan miliknya selama tiga tahun, maka yang bersangkutan akan kehilangan hak kepemilikannya. Sebaliknya, siapa pun yang menghidupkan lahan yang tidak tampak ada kepemilikan, maka tanah tersebut menjadi miliknya.
Kepemimpinan dalam Islam merupakan puncak perwujudan keimanan sehingga negeri baldatun thoyyibatun warobbhun ghofur bisa terealisasi dalam naungan sistem Khilafah Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Kikin Fitriani
Aktivis Muslimah
0 Comments