Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pupuk Bersubsidi Langka, Lantas Harus Apa?





TintaSiyasi.com -- Dunia pertanian Indonesia masih memiliki PR besar yang harus diselesaikan. Sebelum menuju keberhasilan swasembada pangan, banyak hal yang harus diperhatikan dan diperbaiki. Salah satu masalah tahunan yang seringkali muncul adalah langkanya pupuk bersubsidi yang dibagikan kepada masyarakat. Masalah ini seringkali muncul setiap tahunnya. Di tahun ini, kelangkaan pupukpun bisa terjadi tersebab adanya dugaan perbedaan alokasi anggaran dari Kementan untuk penyediaan pupuk dengan realisasi pupuk dari perusahaan.

Kementan menganggarkan dana sebesar 25 T dengan harapan bisa mendapatkan 7,85 juta ton pupuk bersubsidi. Namun, pada kenyataannya perusahaan hanya mampu menyediakan 6,68 juta ton sesuai anggaran yang diberikan. Hal ini karena menyesuaikan dengan HPP perusahaan. Dari sini, dapat kita ketahui bahwa masih perlu anggaran tambahan untuk menyediakan pupuk bersubsidi sesuai dengan kebutuhan yang ada. 

Sebetulnya, penyelesaian permasalahan pertanian tidak cukup hanya diselesaikan melalui langkah-langkah teknis saja namun butuh penyelesaian secara paradigmatis.

Salah satu hal paradigmatis yang harus dikuatkan adalah memandang bahwa sektor pertanian merupakan sektor penting yang harus dikembangkan bahkan menjadi sektor utama yang seharusnya menjadi perhatian. Dari pandangan inilah akan memunculkan keseriusan untuk menyediakan seluruh kebutuhan pengembangan pertanian Indonesia, diantaranya: penyediaan pupuk, bibit, edukasi pengembangan pertanian kepada petani, peningkatan di bidang riset, peningkatan kolaborasi antara akademisi dengan petani guna mengembangkan dunia pertanian, dan lain sebagainya.

Jika melihat hal ini, bagaimanakah realita di Indonesia? Sudahkah negara ini serius menjadikan sektor pertanian menjadi sektor utama yang dikembangkan?
Jika melihat dari realisasi dana yang diperuntukkan untuk pembelian pupuk, masih terhitung sangat kecil dibandingkan dengan jumlah APBN yang diberikan. Yaitu sekitar 25 T dari 3.061 T atau hanya sekitar 0,81% APBN. Angkanya masih di bawah 1%. 
Bulan Agustus lalu, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa  pemerintah masih memiliki sisa belanja sekitar 60% dari total APBN yang harus diserap. Anggaran tersebut setara dengan 1.836,6 T. Bukankah angka ini adalah angka yang besar? Jika anggaran belanja masih tersisa, lantas kenapa tidak dianggarkan sedari awal dengan jumlah yang memadai?

Wajarlah, jika akan memunculkan asumsi bahwa negara ini belum terlalu memprioritaskan sektor pertanian untuk dikembangkan. Maka, perlulah negara membenahi kembali paradigma dalam mengelola sektor pertanian. Sektor pertanian bukanlah sektor sebagaimana industri manufakatur atau barang dan jasa yang bisa diperhitungkan mendapatkan keuntungan besar untuk negara dalam waktu singkat. Majunya sektor pertanian dan membawa keuntungan membutuhkan jangka waktu yang tidak sebentar karena banyak hal pendukung yang harus disiapkan.

Namun, yang perlu diperhatikan sektor pertanian adalah sektor vital yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan warga negara. Kewajiban mengurus dan memastikan bahwa kebutuhan pokok warga negara terpenuhi ada di pundak pemerintah tanpa memandang apakah tindakan tersebut membawa keuntungan atau tidak. Pemerintah harus betul-betul memahami hal tersebut.

Oleh: Aisyah Zahidah
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments