Tintasiyasi.com -- Pengesahan RUU Kesehatan menjadi Undang Undang Kesehatan no. 17 tahun 2023 tentang Kesehatan menunjukkan kapitalisasi sektor kesehatan makin luas dan pemerintah semakin nyata berlepas tangan dengan kewajiban penyediaan kesehatan bagi masyarakat.
Pasal pada RUU tak lepas dari amanat-amanat asing. Misalnya Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di Jenewa Swis yang mengamanatkan beberapa hal diantaranya proposal TRIPS Waiver tentang hambatan Kekayaan Intelektual dalam penanganan covid 19 yang menyulitkan hilirisasi penelitian (M.bisnis.com, 15/06/2022).
Amanat dari pertemuan Jenewa sepertinya termaktub di dalam RUU Kesehatan diantaranya pasal 326 4 (c):
"memberikan dukungan bagi penguasaan dan pemanfaatan teknologi dan inovasi serta penelitian dan pengembangan dalam bidang Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, termasuk melalui kerja sama luar negeri, yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat secara multilateral, regional, dan bilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Pada pasal 329 ayat 1 dan 5 juga menjelaskan tentang kemudahan hilirisasi penelitian dan terbukanya investasi asing.
Dalam rekomendasi WHO juga dituliskan bahwa negara negara di dunia harus menelaah ulang kebijakan kesehatan mereka salah satu kunci adalah dengan investasi pada jaminan kesehatan sosial:
"Safeguard access to service and financial protection despite constrained fiscal capacity by : ... "reviewing fiscal policies to support UHC and climate resilience. Introducing and increasing taxes on the consumption unhealthy product is a cost effective way of promoting better health and raising additional public revenue for example phasing out fossil fuel subsidies can support climate resilience and saving can be redirected to support UHC or other goverment priotites."
Rekomendasi WHO ini tampak di jalankan oleh pemerintah dalam UU Kesehatan pasal 411 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
"Pendanaan Upaya Kesehatan perseorangan melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan (pasal 1). Program jaminan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat wajib bagi seluruh penduduk (pasal 2). Dan, pada pasal 326 ayat 4c menjadi penjelas bahwa pintu investasi dalam jaminan kesehatan terbuka lebar.
UU Kesehatan pun pada konsepnya tidak lagi bertumpu pada presiden melainkan bersifat desentralisasi otonomi Menteri terkait. Oleh karena itu, dapat diduga dari amanat WTO dan WHO, asing mendorong liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan melalui RUU Kesehatan Omnibus Law yang menjadi UU Kesehatan.
Beberapa waktu setelah pengesahan UU kesehatan, saham emiten di bidang kesehatan mulai dari rumah sakit hingga farmasi mengalami kenaikan.
Misalnya saham RS. Siloam, PT Siloam International Hospitals Tbk. (SILO) naik mencapai 9,89 %. Demikian pula menurut data RTI, dalam sepekan terakhir saham mereka menguat 4,1. Dimana kenaikan saham mulai dari 1 persen hingga 5 persen yang terjadi pada PT Bundamedik Tbk. (BMHS), PT Medikaloka Hermina Tbk. (HEAL), PT Metro Healthcare Indonesia Tbk. (CARE). Lalu PT Royal Prima Tbk. (PRIM), PT Sarana Meditama Metropolitan Tbk. (SAME), dan PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA).
Para investor ramai-ramai menanamkan modal mereka karena menganggap iklim investasi kesehatan menjanjikan untuk menghasilkan uang. Sementara rakyat hanya akan menjadi makanan bagi pemodal. Rakyat akan semakin sulit mengakses kesehatan yang semakin hari semakin mahal dan semakin hari semakin di liberalisasi oleh negara.
Liberalisasi sektor kesehatan merupakan perkara yang tidak sepatutnya dilakukan. Dalam islam pelayanan kesehatan sepenuhnya diurus oleh penguasa. Kesehatan di topang oleh dua sistem besar yakni sistem politik dan sistem ekonomi. Dengan dua sistem tersebut maka sistem kesehatan akan berdiri kokoh dan kuat.
Kedua sistem itu tegak atas kesadaran mengurusi urusan umat, sebagaimana Rasulullah bersabda:
"Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari.
Oleh karena itu, upaya liberalisasi kesehatan adalah perkara perluasan kapital yang hanya menyengsarakan rakyat karena akses kesehatan akan semakin mahal dan sulit. Sebaliknya, pengaturan kesehatan dalam islam justru bertumpu pada pelayanan terhadap umat yang akan menjadikan kesehatan menjadi hak semua warga negara.[]
Oleh: Shela Rahmadhani, S. Pt.
(Keluarga Alumni UGM)
0 Comments