Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mantan Napi Korupsi Menjadi Bacaleg, Dampak The Power of Money

TintaSiyasi.com -- Tinggal beberapa bulan lagi, Indonesia akan menggelar hajat besar yaitu Pemilihan Umum di tahun 2024. Oleh karena itu, beberapa orang baik mewakili suatu Partai maupun secara mandiri beramai-ramai mulai mendaftarkan diri menjadi Bakal calon legislatif (Bacaleg). 

Namun ada yang beda, Pemilihan Umum (Pemilu) di tahun ini membolehkan mantan calon terpidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, DPRD. Izin soal ini tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g yang berbunyi, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapiana.” 

Saat dikonfirmasi, Ketua Umum Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari membenarkan. Menurutnya, data status sebagai mantan terpidana termonitor dalam Silon, karena terdapat menu isian bagi bakal calon yang berstatus mantan terpidana pada saat mengisi dokumen syarat, berupa surat pernyataan bakal calon, Surat Keterangan Pengadilan Negeri, Putusan Pengadilan dan dokumen pendukung lainnya. 

Sebab itu sebanyak 12 nama mantan koruptor ada dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI. Temuan ini disampaikan peneliti ICW (Indonesia Corruption Watch) Kurnia Ramadhan, dilansir Kompas.com, Jumat (25/08/2023). Hal ini sangat disayangkan karena ternyata KPU terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. “Jika akhirnya nanti, para mantan terpidana korupsi itu lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT) tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil,” kata Kurnia menegaskan. Menurutnya hal ini berbeda dengan Pemilu di tahun 2019, saat itu KPU sangat progresif karena mengumumkan daftar caleg yang berstatus mantan narapidana korupsi. Artinya, langkah penyelenggaraan pemilu saat ini merupakan kemunuran dan tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel.

Polemik terkait dibolehkannya kembali para mantan koruptor sebagai caleg tak lepas dari inkonsistensinya undang-undang di negeri ini. Sebagaimana diketahui, awalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 Pasal 7 ayat 1 (g) melarang mantan narapidana kasus korupsi bersama terpidana kasus narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, untuk ikut kontestasi. Namun aturan ini dimentahkan oleh putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Beberapa alasan MA mencabut larangan itu diantaranya mengaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan. MA berpendapat larangan mantan napi koruptor untuk nyaleg bersinggungan dengan pembatasan HAM, terutama hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih.

Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa di satu sisi seolah tidak ada lagi rakyat yang berkompeten dan layak memegang amanah. Di sisi lain menunjukkan bahwa ada kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut, mengingat untuk menjadi caleg pastinya membutuhkan modal yang sangat besar. Dalam realita demokrasi, orang baik tanpa sokongan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Selain itu, kebolehan para mantan napi ini menimbulkan asumsi negatif di masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Masyarakat menilai, apa kegunaan SKCK dari Kepolisian jika mantan napi saja bisa jadi anggota legislatif. Sedangkan SKCK sendiri merupakan salah satu syarat dalam lamaran pekerjaan baik itu di perusahaan swasta maupun BUMN.

Inilah realita yang terjadi jika hukum diatur oleh manusia. Peraturan dengan mudah berganti dan hukum bisa dibeli. Tindakan korupsi mungkin saja terulang mengingat sanksi hukum dalam sistem Kapitalis saat ini tidak mampu memberi efek jera. Sudah menjadi rahasia umum jika para mantan napi ini hidup “layak” di penjara. Semua fasilitas disediakan sehingga penjara bagi mereka adalah “rumah kedua.” Uang dan kekuasaan menjadi pion untuk meraih kebebasan dengan cepat.  

Berbeda halnya dengan sistem Islam yang di dalamnya telah ditetapkan syarat-syarat pemangku dan pelaksana hukum dalam tatanan negara dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang krusial. Islam mensyaratkan wakil umat adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa agar amanah dalam menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Sistem hukum Islam juga akan menindak tegas para pelaku kejahatan hingga memberi efek jera bagi mereka. Dengan begitu para pelaku dapat benar-benar bertobat. Inilah keunggulan hukum-hukum yang diturunkan oleh Sang Pencipta, Allah SWT. Hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, di mana sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). 

Wallahu’alam Bishowab.


 Oleh: Rita Yusnia
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments