NewsTintaSiyasi.com -- Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan adanya beberapa mantan narapidana korupsi dalam daftar calon sementara Bacaleg (Bakal Calon Legislatif), yang diumumkan oleh KPU pada tanggal 19 Agustus 2023 silam.
Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi ini berasal dari berbagai partai politik, mereka mencalonkan diri dalam pemilu 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Pada tahun 2018 polemik mengenai larangan pencalonan mantan napi korupsi ini pernah dicetuskan oleh KPU menjelang pemilu 2019 silam. Yang diatur dalam PKPU (Peraturan KPU) Nomor 20, Tahun 2018. Namun kemudian PKPU tersebut dibatalkan oleh MA (Mahkamah Agung) dengan alasan HAM dan menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu.
Adapun UUD yang dilanggar yakni tercantum pada Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Lalu Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa ada pengecualian”.
Kemudian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Hak Asasi Manusia), juga telah mengatur hak untuk memilih dan dipilih.
Selanjutnya Pasal 43 Ayat (1) UU Hak Asasi Manusia (HAM) pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu. Bunyinya: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dan Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak serta kebebasan setiap warga. Bunyinya: “Hak dan kebebasan yang diatur dalam undang undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Padahal, selama ini ada banyak sekali UU yang diamandemen dan seringnya hasil dari revisinya ditolak oleh rakyat. Bahkan jauh sebelum rentetan amandemen tersebut disahkan, RUU yang di buat pun acapkali mendapat penolakan dari rakyat dan tak jarang memicu aksi demonstrasi.
Artinya, UU yang bisa direvisi hanyalah UU yang mengarah pada kepentingan pihak tertentu, bukan kepentingan rakyat. Tak heran jika UU yang mengatur tentang pemilu di atas dianggap sebagai sesuatu yang baku dan tidak dapat diamandemen kembali. Sehingga bertentangan dengan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 menganai larangan pencalonan bagi mantan napi korupsi.
Di satu sisi kebolehan ini seolah menunjukkan bahwa tak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah sebagai wakil rakyat, karena kebijakan-kebijakan yang disahkan seringnya tak berpihak pada rakyat. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Pada akhirnya, orang baik sekalipun jika tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri, kalaupun mecanlonkan hanya sedikit yang berhasil menduduki kursi kekuasaan.
Inilah potret buruk demokrasi dalam sistem kapitalisme. Politik tak lagi diartikan sebagai aktivitas mengurusi urusan rakyat, tetapi mengatasnamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi.
Kebolehan mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai caleg, juga memunculkan kekhawatiran akan risiko terjadinya korupsi kembali mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera, bahkan hukum bisa dibeli.
Pada akhirnya keluarlah istilah “Hotel dalam Penjara” untuk menggambarkan bahwa sekelas penjara pun ada yang memiliki fasilitas layaknya hotel mewah. Melansir dari sebuah Channel YouTube Mata Najwa dalam program “Pura-Pura Penjara” terdapat banyak sekali fakta yang bertentangan dengan makna penjara yang sesungguhnya. Bagaimana tidak, sel-sel penjara milik beberapa mantan napi korupsi dilengkapi dengan fasilitas lengkap layaknya hotel mewah. Ada yang dilengkapi dengan toilet duduk, alat olah raga, microwave, dispenser pribadi, sofa pijat, brangkas, hingga peralatan elektronik seperti: TV layar datar, printer, sound system, dan komputer jinjing.
Bagaimana mungkin hukuman yang diterima oleh para napi ini dapat menimbulkan efek jera, sementara mereka bisa melakukan aktivitas layaknya orang di luar sel melalui fasilitas-fasilitas yang ditawarkan oleh oknum tak bertanggung jawab. Tak menutup kemungkinan mereka akan sangat berpeluang mengulangi kesalahan yang sama jika diberi kesempatan mencalonkan lagi, karena sepele dengan hukum di negeri ini yang turut dikapitalisasi.
Islam mensyaratkan wakil rakyat adalah orang yang beriman dan bertakwa agar senantiasa amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Dan seorang pemimpin akan menganggap kedudukannya sebagai sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT, sehingga ia akan menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat mendatangkan murka Allah. Disamping itu setiap umat Islam diwajibkan untuk senantiasa terikat dengan hukum syarak, sehingga ia akan mengarahkan dirinya untuk senantiasa condong pada keberanaran dan menjadikan keridaan Allah sebagai standar perbuatannya.
Dari Ibnu umar RA Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap orang adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala Negara akan dimintai pertanggung jawaban perihal rakat yang ia pimpin....Dan kamu sekalian pemimpin akan dimintai pertangggung jawaban dari hal yang dipimpinnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian, sistem hukum dalam islam sangat tegas dan mampu memberikan efek jera, baik bagi pelaku maupun orang-orang yang menyaksikan hukuman tersebut. Pada akhirnya akan membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertaubat, disamping itu dalam islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa).
Oleh: Marissa Oktavioni, S. Tr. Bns
(Aktivis Muslimah)
0 Comments