Tintasiyasi.com -- Ajang kontestasi sebentar lagi akan dimulai. Partai politik jauh jauh hari sudah mempersiapkan diri dengan para calon legislatif baik di daerah maupun dipusat. Pesta demokrasi yang dilakukan sekali lima tahun itu memang butuh persiapan yang tidak sebentar. Akan tetapi apa jadinya jika ternyata calon yang diusung oleh partai pada pemilihan caleg nanti adalah mantan napi korupsi.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023 (Voaindonesia, 26/8/2023).
Tidak tanggung-tanggung partai yang mengusung mantan koruptor ini bukan hanya satu dua partai. Akan tetapi ternyata banyak partai yang mengusung mantan napi korupsi, setidaknya ada 12 partai yang mencalonkan mantan napi korupsi dalam kontestasi.
Wajar saja akhirnya publik bertanya Apakah partai yang bersangkutan sudah tidak memiliki kader yang berintegritas sehingga napi menjadi pilihan terakhir?
Jika para mantan napi ini terpilih menjadi calon legislatif maka tentu rakyat tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab merekalah yang memang diusung partai. Sehingga muncul pertanyaan berikutnya :
Pertama, bagaimana nasib rakyat Indonesia nantinya jika ternyata calon pemimpin yang terpilih adalah orang yang terbukti pernah memcuri harta rakyat alias korupsi? Bukankah itu akan membuka peluang kedua untuk melakukan hal yang sama? Lagi-lagi rakyat memang akan menjadi korban.
Munculnya mantan napi dalam ajang kontestasi hakikatnya menunjukkan kegagalan partai politik dalam kaderisasi. Partai politik yang seharusnya melakukan kaderisasi ternyata gagal mengkader anggotanya. Kader partai seharusnya bersih dari kejahatan apalagi kejahatan terkait harta rakyat berupa korupsi.
Seandainya kaderisasi berhasil tentunya kader partai tidak akan jatuh pada tindakan memakan harta rakyat. Lebih jauh lagi seharusnya calon yang diusung partai pastinya adalah orang yang paling berintegritas dari semua kader partai.
Kedua, munculnya mantan napi dalam ajang kontestasi juga tidak lepas dari besarnya mahar politik dalam demokrasi. Orang yang lolos dalam pencalonan pastinya adalah yang paling mampu membayar kursi di partai. Sebab untuk masuk diajang kontestasi butuh biaya yang tidak sedikit dan tidak mungkin gratis.
Mereka lah yang punya modal atau setidaknya di dukung oleh pemilik modal. Wajar saja Ujung-ujungnya yang dicari adalah keuntungan di saat naik dalam kursi kepemimpinan.
Demikianlah buruknya ajang kontestasi dalam demokrasi. Pesta lima tahunan ini memang tidak melahirkan apa-apa kecuali hanya mengganti wajah pemimpin yang lama dengan wajah yang baru. Sementara karakter pemimpin, kebijakan dan aturan tetaplah sama tidak memihak rakyat. Jika begitu rakyat akan terpaksa memilih calon yang tersedia meski mantan napi.
Padahal dalam Islam kriteria pemimpin itu jelas harus orang yang amanah. Kalau ada calon pemimpin yang dikhawatirkan tidak bisa amanah, dan apalagi terbukti pernah berkhianat terhadap rakyat tidaklah akan mungkin dicalonkan apalagi terpilih untuk yang kedua kali.
Rasulullah pernah mengingatkan betapa beratnya konsekuensi jadi pemimpin. Siapapun yang mengatur urusan rakyat maka mereka semua terkategori pemimpin. Rasulullah memperingatkan ancaman terhadap yang keras terhadap mereka supaya tidak jatuh pada dosa. Rasulullah bersabda:
"Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka.” (HR Ahmad).
Hanya saja sistem demokrasi telah mempertontonkan kepada kita bagaimana sepak terjang para pemimpin dan calon pemimpin yang mereka sodorkan. Umat harusnya semakin sadar bahwa tidak ada tempat kembali selain pada sistem Islam.
Hanya sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin yang amanah. Sistem Islam mampu mengkader banyak calon pemimpin yang taqwa. Sehingga tidak akan muncul fenomena krisis kepemimpinan sebagaimana saat ini.
Wallahu 'alam bishshawab.
Oleh: NurJannah
(Aktivis Muslimah)
0 Comments