TintaSiyasi.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR pada Senin 4 September 2023 menyampaikan usulan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tidak menjadi sarang radikalisme. Dia menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP, Safaruddin. Safaruddin mengulas tentang adanya masjid di BUMN kawasan Kalimantan Timur yang setiap hari memberi kritik terhadap pemerintah.
Rycko sebagai ketua BNPT menanggapi. Dia menyebut perlu adanya kontrol tempat ibadah yang dinilai sering dijadikan tempat penyebaran paham radikal. "Kiranya kita perlu memiliki mekanisme kontrol terhadap penggunaan dan penyalahgunaan tempat-tempat ibadah yang digunakan untuk penyebaran paham radikalisme," kata Rycko Amelza Dahniel dalam rapat.
"Siapa saja yang boleh memberikan, menyampaikan konten di situ, termasuk mengontrol isi daripada konten supaya tempat-tempat ibadah kita ini tidak dijadikan alat untuk menyebarkan ajaran-ajaran kekerasan, ajaran-ajaran kebencian, menghujat golongan, pimpinan, bahkan menghujat pemerintah," lanjutnya. (detik.com, 06-09-2023).
Mengapa tempat ibadah terutama masjid sering dituding sebagai sarang dari radikalisme?
Isu radikalisme, terorisme, dan ekstremisme selalu dinarasikan sebagai bahaya yang mengancam umat Islam di negeri ini. Sebelum tempat ibadah, muncul deretan nama ustaz yang dinilai radikal sehingga sempat muncul usulan sertifikasi ulama untuk mencegah adanya ceramah-ceramah yang bersifat radikal dan intoleran.
Menjadi suatu tudingan yang tak berdasar, ketika mengatakan bahwa tempat ibadah digunakan untuk penyebaran paham radikalisme. Apakah benar kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan di masjid bagi umat Islam berpotensi memunculkan radikalisme atau bahkan terorisme yang membahayakan masyarakat? Radikal itu yang seperti apa? Apakah ceramah yang mengandung kritik terhadap pemerintah dianggap suatu tindakan yang radikal? Apakah semangat kaum muslim untuk belajar islam dan mengamalkannya secara menyeluruh adalah sesuatu yang berbahaya? Tentu tidak, bukan?
Sampai saat ini, definisi ‘radikal’ sangat subjektif yang ternyata berdasar pada persepsi dan kepentingan rezim penguasa. Faktanya, pihak yang selama ini sering dituding radikal adalah mereka yang kritis terhadap kezaliman rezim seperti ustaz-ustaz yang dikriminalisasi. Bila secara bahasa radikal artinya mengakar, seharusnya radikal dalam agama bisa diartikan dengan memahami ajaran agama secara mengakar dan menyeluruh dan itu adalah suatu hal yang positif. Namun karena adanya kepentingan rezim, kata ini menjadi suatu hal yang berkonotasi negatif. Radikal sering disejajarkan dengan kekerasan, terorisme, dan ekstremisme.
Adanya suatu kontrol berarti ada suatu kendali dan tidak ada kebebasan. Ini akan cenderung memberi legitimasi terhadap pemerintah, sehingga akan sulit memberi kritikan. Padahal kritik terhadap pemerintah adalah hal yang sangat diperlukan untuk berjalan lurusnya sebuah negara. Adanya kendali ini juga memungkinkan adanya pembatasan aktivitas-aktivitas di masjid, apalagi terkait dengan penyampaian konten materi dan siapa yang menyampaikannya. Ini justru mengerdilkan fungsi dan peran masjid sebagai tempat untuk mengkaji tsaqafah Islam dan tempat digelarnya pengaduan umat kepada penguasa seperti masa kekhalifahan. Karena seharusnya bila konten materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan Islam, bukankah hal itu tidak perlu menjadi hal yang dikhawatirkan?
Di samping isu radikalisme, bukankah masih banyak problem lain di masyarakat yang lebih ‘urgent’ untuk diselesaikan? Adanya ketimpangan sosial, kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan hukum, dan problem lain yang lebih krusial. Seabrek persoalan ini adalah hasil dari ketidakberhasilan pemerintah dalam mengurusi rakyat dan negaranya. Ketika ada yang dengan terang-terangan mengkritik rezim atas ketidakberhasilannya, mereka dituding sebagai radikal dan menentang pemerintah. Padahal, seharusnya rezim mengakui saja ketidakberhasilannya dari pada menutup-nutupinya dengan membungkam pihak yang kritis. Toh, hal ini sudah menjadi rahasia umum, sudah terang benderang kegagalannya.
Masjid bukanlah sarang terorisme. Masjid adalah rumah Allah, di sanalah yang seharusnya menjadi tempat untuk menyiarkan dan menyebarkan pemahaman Islam ke tengah umat. Agar umat mengetahui bagaimana Islam yang sebenarnya, Islam yang rahmatan lil alamin. Jangan sampai karena adanya isu semacam radikalisme, terorisme, maupun ekstremisme menjadikan umat Islam takut untuk pergi mengkaji Islam di masjid. Dan sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam untuk jeli dan tidak mudah terpengaruh dengan berbagai informasi yang menyudutkan umat Islam sendiri. Mari memakmurkan masjid, bukankah memakmurkan masjid adalah perintah Allah?
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apapun) kecuali kepada Allah. Maka, mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS At-Taubah: 18).
Wallahu a’lam. []
Oleh: Saffana Afra
(Aktivis Mahasiswa)
0 Comments