Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kasus Kekerasan Seksual pada Anak, Tanggung Jawab Siapa?



TintaSiyasi.com -- Idealnya dunia anak diliputi dengan keceriaan, kebahagiaan, rasa aman dan nyaman. Namun faktanya dunia anak saat ini mencekam dan dipenuhi dengan perilaku kekerasan. Lalu siapakah yang bertanggung jawab atas tingginya angka kekerasan pada anak?

Angka Kekerasan Pada Anak

Di Indonesia, melalui KemenPPPA tercatat bahwa kekerasan pada anak mencapai 16.106 kasus pada tahun 2022. Dari total angka kekerasan pada anak tersebut, angka kekerasan seksual mendominasi kasus-kasus yang muncul, mencapai 9.588 kasus (Republika.co.id, 27/1/2023). 

Dan menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, kekerasan pada anak disebabkan oleh empat faktor. Yaitu, adanya anak yang berpotensi menjadi korban, ada anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan, adanya peluang kekerasan tanpa perlindungan atau pengawasan dan adanya pencetus dari korban atau pelaku (Tribunjateng.com, 14/2/2015).

Tanggung Jawab Siapa?! 

Jika ditelisik lebih jauh, kekerasan pada anak disebabkan oleh 3 faktor utama. Yaitu faktor keluarga, masyarakat dan negara.

Keluarga, dalam hal ini orang tua memiliki peranan yang sangat besar atas keberlangsungan hidup anak. Orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi setiap kebutuhan anak. Baik kebutuhan dasar manusia seperti nutrisi, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan; pendidikan; perlindungan dan rasa aman. Kebutuhan lain yang tidak kalah pentingnya adalah afeksi, perasaan dihargai, diterima oleh lingkungan, stimulasi mental dan penguatan spiritual.

Namun jamaknya orang tua pada masa kini hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan yang bersifat material. Sementara kebutuhan yang sifatnya emosional-spiritual dan perkembangan mental bukan menjadi prioritas utama. Hal ini disebabkan tuntutan biaya hidup semakin tinggi, sehingga orang tua baik ayah ataupun ibu disibukkan dengan pekerjaan.

Kemudian proses perkembangan dan pendidikan anak diserahkan sepenuhnya kepada lembaga pendidikan baik formal maupun non formal dengan ditemani oleh gawai untuk mengisi kekosongan waktu mereka. Padahal keluarga terutama ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Di dalam keluarga anak-anak diajarkan tentang akidah, hukum-hukum agama, nilai-nilai moral, perkembangan mental dan pembentukan karakter. Dengan orang tua yang sibuk bekerja, tak ayal anak menjadi 'korban' sehingga kebutuhan emosional-spiritual serta stimulasi mental tidak terpenuhi dengan baik. Lalu terbentuklah perilaku agresif yang tidak mengenal nilai benar-salah.

Masyarakat pun memiliki tanggung jawab atas proses perkembangan anak, baik emosional-spiritual dan mental. Masyarakat berperan sebagai control system atas perilaku anggota masyarakat lainnya. Selain itu sistem nilai yang dianut dalam masyarakat akan mempengaruhi pembentukan karakter anak. Anggota masyarakat lain, termasuk anak-anak akan mengadopsi nilai-nilai yang diterapkan di dalam masyarakat.

Dewasa ini, nilai yang dianut dalam masyarakat adalah nilai-nilai liberal dan individualistik. Yaitu, paham kebebasan yang jauh dari nilai-nilai agama dan norma di dalam masyarakat. Masyarakat hanya berfokus dengan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan kehidupan sekitarnya. Dengan berdalih paham kebebasan, acapkali perilaku kekerasan baik verbal, fisik, psikis maupun seksual dipertontonkan secara vulgar di area publik (baik secara langsung ataupun di dunia maya) dan menjadi konsumsi banyak orang termasuk anak-anak. Sehingga tidak mengherankan jika perilaku kekerasan semakin 'menjamur'. 

Selain keluarga dan masyarakat, negara pun tidak bisa berlepas tangan atas masalah ini, justru negara memiliki peranan besar. Negara seharusnya mampu melindungi dan mengayomi seluruh warganya terutama anak-anak. Kebijakan dan undang-undang yang dibuat semestinya pro kepada rakyat.

Namun saat ini, hampir semua kebijakan yang dihasilkan oleh negara justru merugikan rakyat banyak dan menguntungkan hanya segelintir orang, yaitu para investor. Pertumbuhan industri pertelevisian, media sosial dan dunia digital yang semakin pesat tanpa kontrol ketat dengan dalih kebebasan berekspresi dan untuk pertumbuhan ekonomi adalah fakta kecil bahwa negara lebih mengedapankan kepentingan pebisnis dibandingkan menjaga moral dan nilai-nilai spiritual rakyatnya.

Belum lagi sistem pendidikan negeri ini yang jauh dari nilai-nilai agama. Dimana seharusnya agama (akidah) menjadi pondasi dari setiap cabang keilmuan namun justru semakin dijauhkan. Kurikulum pendidikan hanya memberi 'jatah' pelajaran agama 2 jam pelajaran dalam sepekan. Dan terkesan untuk menggugurkan kewajiban negara dalam membekali generasi dengan nilai-nilai agama. Sehingga tidak mengherankan jika hasil pendidikannya jauh dari nilai keimanan dan ketakwaan yang mampu menjauhkan individu dari perilaku kekerasan.

Ditambah dengan sistem hukum yang dianut di negeri ini nyatanya tidak mampu memberikan efek jera kepada para pelakunya. Hukuman yang diberikan relatif ringan jika dibandingkan dengan derita yang dialami korban dan keluarganya. Hal ini dikarenakan hukuman berat dianggap melanggar hak asasi manusia (pelaku) dan melupakan bahwa hak asasi korban pun telah dilanggar baik oleh pelaku dan juga hukum. 

Jika dirangkum, sesungguhnya akar dari tingginya angka kekerasan pada anak hanya satu, yaitu sekulerisme. Dimana nilai-nilai agama dijauhkan dari sendi-sendi kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat ataupun bernegara. Nilai-nilai kapitalisme, liberalisme dan individualisme sebagai turunan dari paham sekulerisme, menjadi acuan dalam berperilaku bahkan dalam menentukan kebijakan. Sehingga tidak mengejutkan jika angka kekerasan pada anak akan semakin tinggi setiap tahunnya. 

Islam Solusi Hakiki

Kehidupan yang Islami dibangun melalui tiga pilar, yaitu keluarga, masyarakat dan negara. Masing-masing pilar memiliki peran dan tanggung jawab dalam menciptakan kehidupan yang penuh rahmat dan jauh dari perilaku kekerasan.

Pilar pertama, keluarga sebagai unit terkecil di dalam kehidupan memiliki peranan penting. Keluarga Islam dibangun diatas nilai-nilai islam dan berawal dari pernikahan dengan mengharapkan rida Allah SWT. Di dalam keluarga Islam, nilai-nilai agama Islam diajarkan oleh orang tua kepada anak-anak sebagai pondasi. Dengan berlandaskan keimanan dan ketakwaan anggota keluarga akan jauh dari perilaku kekerasan.

Masyarakat Islam sebagai pilar kedua pun memiliki peranan yang tidak kalah penting. Masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam akan menciptakan lingkungan tempat tinggal yang kondusif bagi seluruh anggota masyarakat, termasuk anak-anak. Sikap individualis dengan mendiamkan kemaksiatan, jauh dari kehidupan masyarakat Islam. Karena keseharian mereka dipenuhi dengan amar makruf nahi munkar, saling menasehati dalam kebaikan.

Lalu negara Islam sebagai pilar terakhir, dengan segala kebijakannya akan melindungi dan mengayomi seluruh rakyatnya. Kebijakan dan hukum-hukum yang dihasilkan, diadopsi dari sumber hukum utama dan satu-satunya, yaitu syariah Islam.

Negara Islam akan memberikan sanksi hukum yang tegas kepada pelaku kekerasan, sehingga mampu menimbulkan efek jera. Sistem pendidikan pun menempatkan pendidikan akidah dan tsaqofah Islam sebagai pendidikan wajib sebelum mempelajari tsaqofah asing. Sehingga sejak usia muda, setiap individu Muslim akan memiliki akhlak Islami. Lalu Negara Islam akan mengontrol setiap tayangan atau konten yang disajikan oleh media, agar tayangan atau konten yang merusak nilai-nilai Islam tidak menjadi tontonan. Negara Islam pun akan memastikan kebutuhan setiap warganya terpenuhi. Sehingga orang tua, terutama ibu dapat mengoptimalkan diri dalam mendidik dan membekali anak-anak dengan nilai-nilai Islam.

Demikianlah Islam secara komprehensif memberikan solusi dalam menurunkan dan mencegah kekerasan seksual pada anak melalui sinergisitas tiga pilar kehidupan. Lalu, jika sudah ada Islam sebagai solusi yang hakiki, mengapa kita masih mencari jawaban pada sistem sekuler yang bathil ini? Bukankah sudah selayaknya kita kembali kepada sistem yang berasal dari Allah, Pemilik Hukum Tertinggi.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.


Oleh: Ns. Esti Budi Arti, S.Kep.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments