Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Karhutla Masih Berulang, Dampak Kebijakan Kapitalisme

Tintasiyasi.com -- Indonesia memiliki hutan yang sangat luas. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan di Indonesia mencapai 128.000.000 hektar. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negara penghasil hutan terbesar menduduki peringkat ke-9 di dunia. 

Namun disayangkan, keberadaan hutan di Indonesia terancam bahaya. Hutan di Indonesia seringkali terbakar. Setidaknya, di bulan Agustus saja tercatat dua wilayah hutan di pulau Kalimantan terbakar. Di wilayah Palangkaraya saja pada tahun 2023 ini tercatat 148 kali karhutla dengan total 91,99 hektare hutan dan lahan terbakar (Palangkaraya.co.id/20/8/2023).

Begitu juga di wilayah Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyatakan karhutla merambat hingga ke pinggir jalan. Bahkan karhutla hampir menjalar ke pemukiman warga (Kalsel.antaranews.com, 19/8/2023).

Karhutla yang berulang kali terjadi bisa berpotensi membahayakan lahan dan rumah penduduk. Begitu juga bisa menimbulkan kabut asap sehingga mengganggu kesehatan. Selain itu, bisa mengganggu mobilitas masyarakat. 

Seperti yang kita ketahui, hutan dengan sebutan paru-paru dunia merupakan sumber daya alam yang sangat penting keberadaannya bagi kelangsungan hidup manusia. Maka dari itu, sudah seharusnya kelestariannya harus terjaga.

Namun, dikarenakan kebijakan para penguasa yakni adanya konsesi hutan untuk perusahaan mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan terus berulang. Perusahaan yang diberi wewenang memiliki hutan, akan mengolah hutan seperti yang mereka inginkan. Dan tujuan mereka adalah mengolah hutan sebagai ladang bisnis. Sehingga keselamatan hutan maupun masyarakat akan diabaikan. Selama hal itu menguntungkan mereka, apapun akan dilakukan. 

Ada sekitar 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab kebakaran hutan. Dan Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani mengatakan pihaknya telah melakukan gugatan terhadap 22 korporasi ataupun perusahaan penyebab karhutla tersebut. 

Inilah cermin negeri yang berkiblat pada sistem kapitalisme. Hutan sebagai paru-paru dunia yang harus dijaga kelestariannya, nyatanya di dalam sistem kufur ini tidak luput dari cengkraman kekuasaan pihak korporat untuk menjalankan bisnisnya. 

Hutan pun dibakar untuk diganti dengan tanaman yang akan dijadikan sumber produksi yang menguntungkan mereka. Seperti kelapa sawit untuk produksi minyak goreng yang bisa meraup untung besar. Tak peduli imbas dari karhutla bisa membahayakan masyarakat luas. Selama bisa jadi sumber uang, pihak korporat akan datang. 

Hutan sebagai paru-paru dunia merupakan salah satu sumber daya alam (SDA) milik umum. Pemanfaatan hutan tidak boleh digunakan individu maupun swasta (korporasi). Selain itu pemanfaatannya juga tidak boleh membahayakan kehidupan dan lingkungan. 

Dan hal itu hanya bisa terwujud dengan sistem Islam. Islam mengatur hutan termasuk ke dalam kepemilikan umum. Hutan akan dikelola negara dan hasilnya akan digunakan untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Bukan individu ataupun korporasi. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda yang artinya, “Manusia itu berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Pengelolaan dan pemeliharaan hutan juga harus menjadi perhatian pemerintah. Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan pemerintah untuk kemashalatan dan kesejahteraan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat secara seimbang.

Dalam hal ini pemerintah juga perlu memberikan edukasi dan membangun kesadaran kepada masyarakat guna berpartisipasi dalam kelestarian hutan sehingga manfaatnya terus bisa dirasakan generasi selanjutnya. 

Adapun secara teknis, pengelolaan hutan dalam sistem Islam adalah pemerintah harus menetapkan langkah-langkah kebijakan yang mendukung tata kelola hutan Indonesia dengan benar.

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan memerlukan biaya yang tidak sedikit dan dibutuhkan teknologi, studi, dan keahlian yang sulit bila disandarkan kepada individu maupun swasta. Sebab bila diserahkan individu maupun swasta akan berujung pada kesulitan. Pemerintah tidak boleh memberi izin pengelolaan hutan kepada individu maupun swasta. 

Negara berperan sebagai raa'in dan junnah. Sebagai raa'in (pemeliharaan urusan rakyat adalah bertanggung jawab penuh dalam hal pengelolaan hutan dan lahan gambut sesuai fungsinya sehingga hak individu maupun publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya.

Sebagai junnah (pelindung), pemerintah berfungsi sebagai pelindung hutan dan lahan gambut yang merupakan sumber daya alam tidak boleh dimiliki indvidu atau swasta dari agenda 'hegemoni climate change' yang menyumbangkan dampak negatif terbesar.

Penerapan sistem Islam inilah kunci penyelesaian persoalan karhutla yang selama ini belum terselesaikan. Tentu saja melibatkan peran pemerintah sebagai raa'in dan junnah dalam menerapkan sistem Islam. Hanya Islam yang mampu menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan. Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Alfiana Prima Rahardjo, S.P.
(Aktivis Muslimah)

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments