TintaSiyasi.com - Judol alias judi online kian merajalela, bak virus pandemi yang menyerang seisi dunia tanpa pandang bulu, kaya, miskin, pekerja, pengangguran, pelajar/mahasiswa, hingga anak-anak menjadi korban. Jika dulu penanganan virus Covid-19 dengan isolasi (diam di rumah), lain hal dengan judol karena virusnya bisa masuk rumah tanpa lewat pintu apalagi bilang salam, tau-tau udah ada di layar handphone, dalam genggaman pula tanpa sempat kenalan.
Ini juga sebagian dari sisa-sisa efek virus pandemi kemarin, di saat penggunaan handphone berlebih dibanding sebelum pandemi baik untuk keperluan pekerjaan, sekolah, hingga sekadar penghilang kejenuhan akibat pembatasan kegiatan di luar rumah. Juga banyaknya korban PHK yang mau tidak mau memaksa mencari penghasilan dengan cara instan, pinjol dan judol jadi pilihan.
Anak-anak yang telah terbiasa berinteraksi dengan dunia maya, padahal sekolah telah kembali normal, tak ayal berselancarnya bukan ke pulau 'belajar online' tapi ke 'game online' yang sebagiannya adalah aplikasi judol secara sengaja ataupun digiring oleh iklan yang muncul. Apalagi banyak judol berbalut game kartun yang digemari anak-anak.
Yang namanya game, apalagi dikemas dengan semenarik mungkin, siapa sih yang tidak tertarik? Setingkat anggota DPRD DKI saja tergoda bermain judol saat sidang paripurna, videonya pun viral yang mengakibatkan beliau dipecat oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai tempat beliau bernaung. Entah sekadar menghilangkan kejenuhan saat itu, entah tergiur cuan saat menang. Padahal gaji DPRD jelas di atas 100 ribu/hari, bahkan bisa berkali-kali lipat dari itu.
Bagaimana dengan yang berpenghasilan di bawah 100 ribu/hari? Ternyata mereka tergiur juga. Bahkan jumlahnya tidak sedikit. Berharap dapat meningkatkan pendapatan, uang yang tak seberapa itu malah dipakai top up judol. Bukannya untung, malah buntung. Niat ingin menyelesaikan masalah, malah menambah masalah. Banyak pertengkaran di rumah tangga yang berakhir dengan perceraian gara-gara judol.
Judol dan pinjol emang adik kakak. Kerjanya sama-sama merusak. Harta habis, harga diri lenyap hingga kalap embat sana-sini. Yang diembat bukan hanya harta orang, tapi juga nyawa orang. Bukan hanya itu saja, akibat judol banyak yang stress, depresi, dan mengakhiri hidup jadi solusi terakhir. Kesusahan akibat judol bukan hanya diderita pelaku, tetapi juga orang terdekat. Baru-baru ini viral seorang ibu penjual gorengan yang ingin menjual ginjalnya demi melunasi utang anaknya yang kecanduan judol. Inilah cermin buruknya sistem ekonomi yang gagal mensejahterakan dan gagalnya sistem pendidikan mencetak generasi berkepribadian Islam.
Meskipun Kominfo sudah melakukan pemblokiran terhadap 5000 situs judol, namun pelaku/penyedia permainan sangat banyak, ditambah manisnya iklan oleh para influencer, selegram, dan youtuber, tak heran penggemarnya semakin banyak pula. Mati satu tumbuh seribu. Meski penggerebekan dan penangkapan dilakukan di berbagai daerah, tetap saja pelaku dan penyedia tidak kapok. Padahal jauh sebelumnya, Bang Haji Rhoma Irama telah mewanti-wanti bahwa, "apapun namanya bentuk judi, semuanya perbuatan keji" termasuk judol sekarang ini.
Adanya kelonggaran terhadap pelaku dan penyedia judol mengakibatkan masalah ini tak kunjung usai. Apalagi dengan berubahnya hukuman raja judi dari hukuman mati menjadi seumur hidup, hal ini setidaknya membawa angin segar bagi antek-anteknya untuk kembali beroperasi dan meningkatkan strategi licik, toh yang dibutuhkan negara bukan penegakkan keadilan, melainkan besarnya cuan sebagai pemasukan negara.
Sungguh negara membutuhkan komitmen kuat dan peralatan hebat. Tak cukup dengan penggerebekan, penangkapan, pemblokiran, apalagi sebatas nyanyian, ups! Dibutuhkan kekuatan super yang dapat memberantas judol hingga benar-benar tuntas. Kekuatan super tersebut hanya ada dalam sistem yang telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Tidak lain ialah sistem Islam.
Islam mengharamkan perjudian, karena itu negara Islam tak mungkin menyediakan fasilitas untuk keharaman. Negara Islam berfungsi sebagai pengurus dan pelindung. Apalagi pengurusan SDA sesuai dengan syariat menjadikan negara tidak perlu mengemis kepada oligarki apalagi penyedia judul untuk dijadikan kas negara. Masyarakatnya pun terkondisikan dalam suasana penuh keimanan dan ketakwaan, sehingga bukan mengejar kenikmatan dunia sesaat, melainkan berfokus pada penghambaan dan pengharapan mendapat ridha-Nya. Kesesuaian pengaturan kehidupan di dalam semua aspek, termasuk ekonomi dan pendidikan, menjadikan judol tercerabut hingga ke akar. Langkah awal yang dapat kita lakukan, yaitu dengan mencabut dan membuang jauh-jauh sistem saat ini, kemudian menggantinya dengan sistem Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Comments