Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Judi Online yang Menggiurkan Bisakah Dihentikan?


TintaSiyasi.com - Maraknya judi online di kalangan masyarakat Indonesia makin mengkhawatirkan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya peningkatan penyebaran uang melalui transaksi judi online secara signifikan. Pada 2021 nilainya mencapai Rp.57 triliun dan pada 2022 nilainya naik menjadi Rp.81 triliun. Parahnya, masyarakat yang ikut judi online bukan hanya dari kalangan orang dewasa, tetapi anak SD-pun ada yang terjerat kasus judi online ini.

Kepala Biro Humas PPATK Natsir Kongah mengatakan adanya peningkatan jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait judi online yang masuk ke PPTK. Pada 2021 jumlahnya sebanyak 3.446 dan melonjak pada tahun 2022 sebanyak 11.222. Selanjutnya, jumlah laporan pada Januari 2023 tercatat sebanyak 916 laporan, Februari sebanyak 831 laporan dan pada Mei naik menjadi 1.096 laporan (CNN Indonesia, 26-8-2023).

Kendati Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan upaya pemblokiran ribuan situs judi online yang menyusupi situs-situs pemerintah sejak tahun lalu (tirto.id, 26-8-2023), nyatanya belum mampu menghentikan pertumbuhan pengguna judi online. Bahkan, pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, mengatakan ¬judi online merupakan bisnis yang dilegalkan oleh berbagai negara, maka dalam hal ini tidak bisa mengandalkan negara untuk memblokir karena akan terus ada sampai kapanpun. Devie juga menjelaskan bahwa judi online saat ini dikemas seperti gim, sehingga banyak penggunanya yang berasal dari kelompok anak dan remaja. Ditambah lagi, karena tampilannya seperti gim membuat masyarakat Indonesia menganggap ini bukanlah sesuatu hal yang berbahaya. (mediaindonesia, 27-8-2023).

Bertambah maraknya judi online saat ini menggambarkan bahwa masyarakat telah memandangnya sebagai bisnis yang menggiurkan. Apalagi di tengah sulitnya memenuhi kebutuhan dasar hidup, judi dipandang sebagai jalan pintas untuk menjadi kaya dan bangkit dari keterpurukan. Inilah cara pandang masyarakat yang telah dipengaruhi paham kapitalisme yang menjadikan perolehan materi sebagai tujuan utama hidupnya, tidak peduli apakah cara perolehan materi tersebut melalui cara yang benar atau tidak, halal atau haram. Cara pandang seperti inilah yang membuat masyarakat ingin meraih kekayaan dengan cara instan.

Hal ini tidak luput dari kurikulum sistem pendidikan saat ini, di mana nilai bagus dijadikan sebagai tujuan, karena merupakan salah satu syarat mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Belum lagi, masuknya paham sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) yang membuat lemah iman dan jauh dari aturan Allah. Jadi, sistem pendidikan semacam ini gagal membina dan mendidik untuk menjauhkan diri dari aktivitas yang dilarang agama termasuk judi.

Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini meniscayakan luasnya kemiskinan dan penguasaan sumber-sumber kekayaan rakyat oleh segelintir orang yang bermodal besar. Alhasil, tidak ada jaminan pekerjaan bagi rakyat, sebab penguasa menyerahkan pembukaan lapangan pekerjaan kepada swasta yang berorientasi bisnis. Rakyat juga sulit mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan, karena pemberian pelayanan tersebut dikelola oleh swasta. Akhirnya, masyarakat nekat bermaksiat demi mendapatkan uang untuk melangsungkan kehidupan.

Meski negara telah melarang praktik perjudian dan menghapus ribuan situs judi online, namun aturan dan cara tersebut nyatanya gagal menghentikan perjudian di negeri ini. Sebab, aturan yang diberlakukan tidak menyentuh akar persoalan maraknya kasus perjudian. Maka sudah dipastikan, problem utamanya ialah diterapkannya sistem kapitalis-sekuler. Oleh karena itu, masyarakat harus beralih pada sistem yang mampu menjamin kemuliaan hidup manusia, menjadikan aturan Allah (Sang Pencipta) sebagai satu-satunya pijakan dan menghapus segala kemaksiatan, sebagaimana dalam sistem Islam (khilafah).

Dalam Islam, perjudian adalah perbuatan yang haram, Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 

Berdasarkan dalil tersebut, maka perjudian dalam Khilafah wajib dipahami sebagai perbuatan yang haram oleh setiap individu, masyarakat dan negara. Ketakwaan individu akan menjadi pengontrol utama individu tersebut agar tidak melakukan perjudian. Konsep ini akan membawa individu, masyarakat bahkan para pejabat enggan berjudi meskipun menjanjikan keuntungan yang besar. Selain itu, masyarakat dalam khilafah akan senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu saling mengarahkan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Jika masih ada yang melakukan judi, maka Islam memerintahkan khalifah (pemimpin) menerapkan hukum sanksi (uqubat) kepada pelaku sebagai bentuk penjagaan Khilafah terhadap masyarakatnya. Penerapan sistem uqubat dalam hal ini memiliki efek khas, yaitu sebagai zawajir (pencegahan) manusia dari tindak kejahatan, dan sebagai jawabir (penebus) sanksi bagi pelaku di akhirat kelak. Sebab, uqubat akan dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat dengan tujuan memunculkan rasa takut terhadap aktivitas maksiat. Dalam hal perjudian, Islam akan menerapkan sanksi takzir tegas yang bentuk dan kadarnya ditetapkan oleh khalifah.

Khilafah juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat. Sebab, konsep kepemilikan dalam Islam memastikan harta milik umum dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, di antaranya untuk layanan pendidikan dan kesehatan gratis dimana pengelolaannya membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar, baik tenaga terampil maupun tenaga ahli. Penerapan sistem pendidikan Islam akan mencetak generasi bertakwa dan pembangun peradaban. Sungguh, segala bentuk perjudian hanya bisa dicegah dan diatasi hingga akarnya melalui penerapan aturan Islam kaffah dalam bingkai negara khilafah. []


Oleh: Sabila Herianti
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments