TintaSiyasi.com -- Suasana jelang Pemilu 2024 makin memanas, hal tersebut terlihat dari maraknya pemberitaan di berbagai media massa nasional. Mulai dari pemberitaan pengumuman capres-cawapres, pengumuman partai-partai koalisi, hingga himbauan terkait pemilu itu sendiri.
Terkini, seperti yang dilansir Kompas.com (4/9), Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar jangan memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini disampaikan Yaqut mengingat tahun politik dan Pemilu 2024 semakin dekat. "Kita lihat calon pemimpin ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. Kalau pernah, jangan dipilih," kata Yaqut di Garut, Jawa Barat, dikutip dari siaran pers Kementerian Agama (Kemenag), Senin (4/9/2023). Yaqut mengatakan, pemimpin yang ideal harus mampu menjadi rahmat bagi semua golongan.
Namun apa yang dihimbau oleh Menag justru dianggap sebagai riak-riak pemicu perpecahan di tengah masyarakat. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan, jangan sampai pernyataan dari Menag justru malah memicu perpecahan di antara masyarakat. "Gus Yaqut semestinya tidak membuat pernyataan-pernyataan kontradiktif atau anomali yang bisa memicu pertentangan di masyarakat. Tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang justru akan mendapatkan respon yang negatif dari publik," ujar Ujang dalam keterangannya. (Republika.co.id, 05/09)
*Waspada Negara Makin Sekuler*
Di sisi lain, himbauan atau pernyataan Menag juga sangat menyesatkan karena jelas mengerucut pada larangan politik identitas bagi para capres-cawapres terpilih. Terlebih himbauan tersebut amat tendensius pada agama Islam yang notabene sebagai agama mayoritas di Indonesia. Himbauan Menag akan membahayakan kehidupan umat, karena agama dituduh sebagai alat politik. Pandangan ini menguatkan bahwa negara ini memang berada di atas sistem sekuler yang memisahkan politik dari agama.
Dalam sistem sekuler demokrasi keberadaan agama tidak lebih sebagai ajaran yang hanya mengurus masalah ibadah ritual dan hanya ada pada ranah pribadi/individu. Sementara di ruang publik termasuk pada tatanan politik agama tidak boleh diikutsertakan, bahkan dinihilkan keberadaannya.
Para pemimpin dalam demokrasi berlomba-lomba membuat aturan yang berasal dari akal pikiran mereka, hal ini dikarenakan demokrasi mengusung slogan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Walaupun perlu dipertanyakan lagi "rakyat" yang dimaksud? Karena kenyataannya pemimpin dalam demokrasi justru tidak pernah berpihak pada suara rakyat biasa, yang ada hanyalah kepentingan para oligarki pemilik modal.
*Umat Islam Wajib Berpolitik*
Adapun tudingan terhadap politik identitas sebagai penyebab perpecahan (terlebih jika dikaitkan dengan Islam) merupakan kampanye hitam yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menjaga keragaman itu sendiri. Bahkan tak jarang kata politik identitas dituduhkan untuk mengkriminalisasi dakwah Syariah kaffah. Jika benar mereka mengakui kedaulatan rakyat dalam demokrasi, mestinya apa saja aspirasi rakyat termasuk jika berdasar Islam, haruslah diterima. Namun faktanya tidak demikian, justru semakin ke sini semakin santer sebutan-sebutan untuk mendiskreditkan orang-orang yang memperjuangkan aspirasi Islam semisal: fundamentalis, garis keras, kadrun, radikal, dll termasuk sebutan politik identitas. Sehingga politik Islam makin tersisih.
Dalam Islam, politik tak dapat dipisahkan dari agama, karena agama harus menjadi landasan dalam menentukan arah politik negara. Terlebih mengutip pernyataan Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al iqthisad Fi Al I’tiqad yang mengatakan: agama dan kekuasaan adalah saudara kembar. Agama merupakan fondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tak memilki fondasi niscaya akan roboh. Segala sesuatu yang tak memilki penjaganya pasti akan musnah. Ini menunjukkan pada manusia “relasi antara agama dan kekuasaan merupakan hal yang sangat urgen, penting dan tidak terpisahkan".
Hal tersebut sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dalam mendirikan dan mengembangkan negara yang berdasarkan Syariat Islam. Sejak berdirinya negara Islam di Madinah, Rasulullah tidak pernah memimpin negara menggunakan aturan lain selain aturan Islam.
Islam bukan saja agama yang mengurusi masalah ruhiah (spiritual), tapi juga mengurus masalah politik (Siyasah). Islam Tidak hanya mengatur pahala-dosa, syurga-neraka, dan ibadah (shalat, puasa, zakat, pergi haji) semata. Namun Islam juga mengatur politik/pemerintahan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya, semua diatur menggunakan sistem Islam (syariat Islam). Karena memang Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna. Terlebih politik dalam Islam bukan hanya sekedar kekuasaan melainkan ri'ayah syu'un al-ummah (mengurus urusan umat) dengan aturan Islam yang sempurna.
Oleh karenanya sebagai umat Islam, sudah semestinya kita menampakkan identitas diri sebagai seorang muslim termasuk dalam berpolitik, tentunya dengan menggunakan politik Islam yang dicontohkan dan ajarkan oleh Rasulullah SAW dan para khalifah setelahnya.
Sudah saatnya umat sadar bahwa kita (umat Islam) memiliki agenda tersendiri, yaitu memperjuangkan kebangkitan yang hakiki, yaitu menjadikan Islam sebagai solusi dari setiap masalah kehidupan manusia. Jangan biarkan umat terlena pada ilusi pesta demokrasi, tak layak bagi seorang muslim untuk berharap pada sistem dan tokoh demokrasi yang tak akan mampu memberikan solusi. Wallahu’alam.
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media)
0 Comments