Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Harga Beras Membubung, Butuh Solusi Ulung

TintaSiyasi.com - Beras merupakan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia, meski harganya terus membumbung mau tidak mau akan dibeli. Sungguh malang nasib masyarakat di negeri agraris, kesejahteraan pangan tak pernah menyertai yang ada justru kenaikan harga pangan. Dengan kenaikan harga beras makin membuat masyarakat tercekik.

Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia mencatat per Kamis (31/08/2023), secara nasional harga beras medium berada di kisaran Rp12.300,- hingga Rp12.400,- per kilogram, sedangkan harga beras premium di kisaran Rp14.000,- hingga Rp14.200,- per kilogram. (Bisnis.com, 31/08/2023).

Menurut Ketua Umum Ikkapi Abdullah Mansuri, kondisi ini menjadi kondisi terburuk kenaikan harga beras. Agar Indonesia tidak masuk ke dalam kondisi ‘darurat beras nasional’, Ikappi meminta pemerintah segera melakukan upaya-upaya percepatan pencegahan.

Di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 31 Agustus 2023, dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Tahun 2023, Presiden Jokowi meminta jajarannya untuk mengatasi dan juga mewaspadai kenaikan harga beras agar inflasi tetap terkendali. Distribusi bantuan beras kepada 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM), merupakan intruksi Presiden. Bantuan tersebut akan disalurkan selama tiga bulan, dimulai pada September hingga November 2023. Setiap keluarga penerima bantuan akan mendapatkan 10 kilogram beras setiap bulannya. (Tempo.co, 02/09/2023).

Menurut Kepala Ekonomi Bank Permata, Josua Pardede faktor pendorong harga beras masih sama diantaranya karena kenaikan harga pupuk, permasalahan produksi, dan risiko kemarau panjang atau El Nino. Untuk mengurangi risiko inflasi, pemerintah perlu segera melakukan intervensi subsidi pupuk untuk meminimalkan biaya input pertanian. 

Selain itu pemerintah perlu menaikan kuota impor beras untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dari sisi konsumen, pemerintah perlu secara rutin melakukan operasi pasar serta mendorong daerah menyediakan gudang penyimpanan di lokasi strategis untuk memastikan distribusi tetap aman. 

Berbagai cara telah ditempuh pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga beras. Apakah cukup dengan memberikan beras 10 kilogram kepada keluarga penerima manfaat (KPM) mampu mengatasi kesulitan yang ada? Setiap tahun impor beras dan bahan pangan lainnya menjadi solusi setiap kali ketersediaan beras lokal atau bahan pangan diperkirakan tidak mencukupi. Menjadi pertanyaan besar, mengapa impor bahan pangan terus meningkat, di tengah sumber daya alam dan manusia yang melimpah? Bukankah dengan impor bahan pangan sangat merugikan para petani? Alih-alih mendorong kesejahteraan petani, kebijakan impor justru berdampak terhadap kemiskinan dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Sejatinya negara membutuhkan solusi ulung untuk mengatasi kondisi ini agar tidak berulang?  

Sebab, sudah menjadi rahasia umum jika harga sudah naik niscaya susah untuk turun. Sebagaimana harga minyak goreng, BBM, dan berbagai bahan pokok lainnya yang sampai hari ini harganya tidak kembali seperti semula. Begitu pun harga beras, tidak menutup kemungkinan harganya akan sulit turun. Sungguh berbagai kenaikan yang terjadi sangat membebani masyarakat. Meski menjerit dan menolak pun, pemerintah tak mampu memberi solusi secara komprehensif.

Dengan bantuan beras 10 kilogram yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat pun tidak akan mampu menjadi solusi. Sebab bantuan tersebut tidak akan cukup memenuhi kebutuhan hidup dalam jangka panjang, serta kebutuhan hidup yang serba mahal saat ini makin membebani masyarakat. Selain itu hanya keluarga penerima manfaat (KPM) saja yang menerima bantuan, sedangkan kenaikan harga beras dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga kebijakan ini sangat tidak adil dan bukan solusi yang tepat.

Semua solusi yang diambil hanya bersifat jangka pendek sehingga tidak akan menyelesaikan akar masalah yang ada. Alhasil permasalahan kenaikan harga dan impor pangan terus berulang. Sejatinya solusi yang tumpang tindih tersebut hanya memperlihatkan kelemahan negara dalam kedaulatan pangan. Negara hanya bertindak sebagai regulator untuk kepentingan para korporasi. Sehingga sampai kapan pun masyarakat hanya akan menjadi korban atas kepentingan dan keserakahan para kapitalis.

Kondisi inilah yang menjauhkan berkah Allah SWT dari kehidupan manusia. Sebab kapitalisasi adalah wujud tegaknya aturan buatan manusia, bukan aturan Allah. Allah berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).

Berbeda jauh dengan Islam yang sangat memperhatikan masalah pangan karena merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Negara atau penguasa dalam Islam akan berupaya sekuat tenaga agar rakyatnya sejahtera. Seorang pemimpin (khalifah) memiliki kewajiban untuk memenuhi dan melayani semua kebutuhan pokok rakyat dengan cara menerapkan seluruh syariat Islam yang mengatur secara komprehensif berbagai aspek kehidupan.

Khalifah akan memerintahkan jajarannya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, tidak hanya memastikan ketersediaan pangan dengan harga murah dan menjaga harga tetap stabil, tetapi memastikan juga kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. Khalifah dan jajarannya akan mengoptimalkan penyediaan pasokan pangan dari dalam negeri dengan melaksanakan konsep pertanian Islam. 

Seperti kebijakan intensifikasi dengan mempermudah petani dalam hal produksi, diantaranya penyediaan pupuk, bibit unggul, metode pertanian dan sebagainya. Ekstensifikasi dalam hal menyediakan lahan pertanian dan menjaga alih fungsi lahan benar-benar dilakukan untuk kepentingan seluruh rakyat bukan untuk kepentingan korporat. Sehingga kedaulatan pangan akan terwujud dan bebas dari ketergantungan pada negara lain. Tidak ada solusi ulung selain kembali kepada Islam dengan menerapkan seluruh syariat Islam secara komprehensif berbagai aspek kehidupan. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Sri Haryati
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments