TintaSiyasi.com - Dalam pemilihan pengurus suatu organisasi di bangku sekolah dan di kampus-kampus, track record calon pengurus adalah poin yang paling diperhatikan. Potensi terpilihnya mereka sebagai calon kandidat sangat erat kaitannya dengan rekam jejak dan sepak terjang mereka terdahulu.
Dalam skala yang lebih kecil, memilih menerima pinangan calon pemimpin rumah tangga pun tentu perlu melalui proses mencari tahu potret masa lalunya, jikapun memiliki rekam jejak yang buruk, kita perlu mendalami lagi seberapa besar progresnya untuk berubah dan memperbaiki diri.
Tapi kelumrahan dan keharusan seperti ini tampaknya tidak berlaku dalam pemilihan bacaleg di sistem demokrasi. Padahal anggota legislatif dielu-elukan dengan jargon perwakilan rakyat yang tentu kapasitas tanggung jawabnya jauh lebih besar dari kepengurusan keluarga maupun institusi kampus.
Dikutip dari laman website Voa Indonesia (26 Agustus 2023), Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik.
Tidak hanya itu, pada Tanggal 27 Agustus 2023, Kumparan News juga merilis nama-nama bakal calon legislatif yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan diketahui merupakan mantan terpidana (napi) berbagai kasus dan salah satunya korupsi dimana berjumlah sebanyak 52 bacaleg DPR dan 16 bacaleg DPD.
Hal ini tentu menimbulkan kekisruhan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya dalam beberapa profesi di Indonesia baik dalam lingkup pegawai pemerintah maupun karyawan perusahaan swasta, poin tidak pernah melakukan pidana adalah merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi dan dibuktikan dengan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Pertanyaan besarnya, mengapa hal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang justru akan menempati posisi penting dalam kepengurusan negara?
Menghadapi banyaknya lontaran pertanyaan, Mahkamah Agung mengemukakan alasan bahwa menetapkan aturan larangan eks-narapidana dalam pengajuan diri menjadi anggota legislatif merupakan pembatasan HAM (Hak Asasi Manusia) termasuk didalamnya hak politik seluruh warga negara untuk memilih dan dipilih, serta disebutkan bahwa hal tersebut juga akan berbuntut menabrak banyak pasal-pasal termasuk peraturan yang berkaitan dengan HAM.
Jika HAM digunakan sebagai dalih pembolehan eks-narapidana menjadi anggota legislatif, mengapa dalih tersebut tidak berlaku untuk warga negara lainnya yang ingin mendaftarkan diri menjadi Pegawai Negeri Sipil, BUMN dan sejenisnya?
Jika Hak Asasi Manusia begitu didewakan hingga melakukan pembiaran eks-koruptor menduduki kursi legislatif, bukankah tindakan korupsi justru adalah pelanggaran HAM berat?
Melalui fakta ini, dapat disimpulkan tiga hal yakni adanya indikasi ketidak-adilan dalam penetapan kebijakan, ada nasib negara yang dipertaruhkan karena mekanisme rusak dalam pemilihan pengurus negara dan ada potensi faktor kepentingan pihak tertentu dibalik pembiaran tersebut.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang didalamnya telah ditetapkan syarat-syarat pemangku dan pelaksana hukum dalam tatanan negara dengan mempertimbangkan banyak aspek krusial.
Beberapa jabatan dalam tatanan negara Islam baik Khalifah, Mu’awin Tafwidl, Mu’awin at-Tanfidz, Wali, Amil hingga Wakil Umat sangat menitikberatkan pada aspek kualifikasi dimana memiliki kemampuan sesuai dengan tugas yang diembannya dan dipilih dari kalangan orang yang bertakwa serta berkepribadian kuat.
Selain itu, peraturan terkait syarat-syarat pemangku jabatan dalam struktur negara khilafah bersifat tetap atau tidak mengalami perubahan meskipun terjadi perubahan pihak-pihak penyelenggara pemerintahan.
Kaidah yang sarat dengan keteraturan ini tentu sangat berbanding terbalik dengan kondisi negara dalam basis demokrasi kapitalisme yang terus-menerus terjadi inkonsistensi hukum-hukum. Segala peraturan berubah-ubah sesuai dengan kemauan para pengurus negara yang menjabat. Bahkan sistem batil ini menyuburkan kondisi dimana pengurus negara berkelok mengikuti kemauan para pemilik modal untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam hal ini, tidak berarti bahwa sistem Islam menghambat orang-orang yang memiliki track record buruk semasa hidupnya sehingga tidak ada lagi jalan untuk mereka berkontribusi untuk umat.
Namun, jika disandingkan dengan fakta sistem hukum di Indonesia yang bisa disumpal dengan dana serta tidak memberikan efek jera, dikhawatirkan hal ini akan meningkatkan kasus korupsi di Indonesia. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menduduki kursi di kancah legislatif itu menuntut adanya kekuatan modal yang besar.
Maka menyikapi kasus maraknya narapidana berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi bakal calon anggota legislatif ditambah tidak ada bentuk penyaringan analitis yang dilakukan oleh penyelenggara pemilihan umum baik dari segi background pendidikan, keahlian dan kepribadian, tentu membutuhkan perenungan mendalam bahwa penyuburan sistem rusak dan merusak ini tidak layak untuk terus menerus dilanjutkan. []
Oleh: Musdalifah Rahman, ST.
Aktivis Muslimah
0 Comments