TintaSiyasi.com - Pemilu 2024 sebentar lagi akan segera tiba, berbagai partai politik semakin gencar menyiapkan para calon pemimpin yang diusung untuk menempati berbagai bangku kepemimpinan, baik di tingkat DPD hingga DPR RI. Namun sangat disayangkan karena masih banyaknya parpol yang menggelar karpet merah bagi mantan narapidana.
Temuan ICW menunjukan, setidaknya terdapat 12 nama mantan koruptor dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal caleg, baik tingkat DPR RI maupun DPD RI, yang dipublikasikan pada 19 Agustus 2023 lalu. (voaindonesia.com, 26/8/2023).
Di antara bacaleg anggota DPD ada Patrice Rio Capella, terpidana korupsi karena menerima gratifikasi dalam proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di Sumatera Utara oleh Kejaksaan. Sedang bakal Caleg DPR ada Abdillah disebut terbukti maling uang rakyat dalam pengadaan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Dan Nurdin Halid Politikus senior Golkar ini masuk bui karena perilaku korup untuk distribusi minyak goreng Bulog. (Kompas.com, 25/8/2023).
Hal ini sungguh sangat disayangkan, apalagi mengingat negara Indonesia sampai saat ini belum bisa benar-benar memberantas kasus korupsi. Meskipun sudah jelas terdapat hukum yang akan mengenai para koruptor, namun kasus korupsi masih ibarat parasit yang terus berkembang biak. Membiarkan mantan koruptor mencalonkan diri sama saja kita memberi peluang bagi mereka untuk melakukan hal yang sama.
Berbeda dengan pemilu 2019 sebelumnya, kali ini KPU seolah ingin menutupi fakta para bakal calon legislatif yang berstatus napi koruptor dengan tidak mengumumkan status hukum mereka. Dengan mengambil Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak, serta kebebasan setiap warga. Juga Pasal 43 (1) UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui pemilu.
Apakah negera Indonesia sudah kehabisan para calon pemimpin sehingga lebih memilih untuk membiarkan para napi koruptor yang mencalonkan diri? Ini bukan mengenai HAM yang dijadikan tameng dalam keputusan KPU, akan tetapi karena kita menyaksikan bersama bahwa hukum yang diterapkan saat ini tidaklah memberikan efek jera bagi para nara pidana, sehingga kemungkinan untuk mereka mengulangi kesalahan yang sama sangat besar. Ditambah lagi untuk menjadi bacaleg tidaklah menggunakan modal yang sedikit, maka hanya orang-orang yang memili modal besar saja yang mampu untuk bersaing dalam pemilihan wakil rakyat tersebut.
Pertanyaannya, apakah uang yang meraka keluarkan tersebut bersifat cuma-cuma, tentu saja tidak bukan. Maka kelak saat mereka sudah duduk di bangku kepemimpinan akan berusaha keras mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Tentu bukan gaji yang meraka harapkan untuk mengembalikan modal meraka, sebab itu tidak akan sebanding bahkan masih kurang. Sudah pasti dengan menggunakan jalur menyamping agar uang mereka bisa segera kembali dan bahkan meraih keuntungan yang sangat besar.
Inilah mirisnya sistem yang digunakan dalam negara kapitalisme, bangku kepemimpinan bukan dijadikan tempat pengabdian pada rakyat, melainkan dijadikan ajang bisnis untuk mendapatkan keuntungan materi. Maka selama negara kita masih menerapkan sistem demokrasi kapitalisme tidak akan mungkin akan lahir sosok pemimpin yang bersih. Jika ada yang diawal bersih, setelah masuk dalam lingkaran pemerintah lambat laun pasti akan ikut menyelam dalam lumpur juga. Sebab semua bersumber dari pemilihan sistem yang salah.
Untuk bisa mendapatkan pemimpin yang bersih dan benar mengabdi pada rakyat maka kita harus mengganti sistem yang ada saat ini dengan sistem Islam. Dalam Islam mensyaratkan calon pemimpin yang beriman dan bertakwa. Calon pemimpin juga harus yang mampu bersikap adil, yang dimaksud adil dalam Islam adalah ketika ia menjalankan perbuatannya berdasarkan perintah dan larangan Allah. Jika seorang pemimpin kepada tuhan yang menciptakan saja ia berlaku curang, apalagi kepada rakyat yang ada dalam kepemimpinannya. Keadilan penguasa merupakan hal yang sangat penting.
Rasulullah SAW bersabda, “Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).
Selain itu Islam memberikan sanksi yang sangat tegas bagi para pelaku kejahatan, begitu pula bagi pemimpin yang terbukti melakukan kecurangan maka akan diberikan hukum takzir yakni hukumannya ditentukan dari seberapa besar kesalahannya, bisa dengan hukuman penjara, cambuk, bahkan hukuman mati dan lainnya. Begitu pula bagi para pelaku korupsi, Islam akan mudah untuk mengetahuinya dengan selalu melakukan kontrol dari pertumbuhan kekayaan para pejabatnya yang tidak wajar.
Islam, selain memberikan efek jera pagi pelaku kejahatan, hukuman yang diberikan bisa menjadi jawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Maka seorang yang bersalah kemudian mendapatkan hukuman, dosa dari kesalahannya akan terhapuskan, dan orang lain yang menyaksikan hukuman tersebut tidak ada yang akan berani mengikuti kesalahan yang sama.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Agus Susanti
Pegiat Literasi Serdang Bedagai
0 Comments