TintaSiyasi.com - Staf ahli kementerian di bidang pembangunan keluarga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Indara Gunawan Menyatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak bisa dimulai dari keluarga dengan cara memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga termasuk anak-anak dengan membangun komunikasi yang berkualitas bagi selurh anggota keluarga (IDN Times, 26/08/2023). Namun nampaknya ini tidak sesuai dengan realitas yang terjadi di lapangan, kenapa? Karena berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 739 laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Data ini juga mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya 2022. Mirisnya 52% pelaku kekerasan adalah di dalam keluarga seperti ayah kandung, kakek, kakak dan teman dekat. (Kompas.com, 31/7/2023).
Dari data tersebut rasanya kurang tepat jika hanya keluarga yang dijadikan pencegah utama dalam pencegahan kekerasan seksual apalagi jika pelakunya berasal dari lingkaran orang terdekat. Sehingga ini juga menjadi alasan untuk takut melapor karena merupakan aib keluarga. Selain korban takut melapor karena pelaku dikenal baik sehingga khawatir mencoreng nama pelaku. Kemudia bisa juga di karenakan adanya relasi kuasa yang menjadi korban takut melapor.
Dilihat dari jumlah kasus yang kian meningkat, ada beberapa faktor penyebab tidak bisa diberantas secara menyeluruh, di antaranya pengaruh media saat ini. Media banyak sekali memuat konten yang berbau sensual, pornografi dan pornoaksi. Bahkan, saat ini mudah sekali mengakses konten pornografi yang tersebar bebas di media sosial. Kurangnya filter media ditambah tipisnya kadar keimanan individu sehingga tak mampu membedakan halal dan haram.
Penegakan hukum yang dinilai kurang adil dan kurang memberikan efek jera pada pelaku, bahkan sejumlah kasus selesai bukan di meja peradilan namun secara kekeluargaan. Belum lagi vonis pelaku yang bisa saja mendapatkan potongan masa hukuman yang membuat pelaku dapat melakukannya kembali. Apalagi mirisnya saat ini yang sering menjadi korban adalah anak-anak yang masih lugu. Seharusnya keluarga adalah menjadi tempat yang ternyaman untuk tempat berkembang dan bertumbuh, namun sayangnya malah menjadi potensi besar sarang pelaku predator kekerasan seksual. Maka dari itu tidak cukup peran pencegahan hanya ada pada keluarga perlu adanya upaya secara menyeluruh dari semua pihak.
Inilah faktor dari penerapan sekularisme dalam kehidupan sehari-hari. Di mana dalam kehidupan sehari-hari kita dijauhkan dari aturan agama, sehingga tak heran jika melahirkan individu yang bepemikiran liberal (bebas). Yang jauh dari kata halal-haram, surga dan neraka. Belum lagi induk dari sistem ini adalah diterapkannya demokrasi, di mana demokrasi telah melahirkan peraturan hukum yang dibuat oleh manusia yang rentan ketidakadilan dan tak mampu memberi efek jera pada pelaku. Selain itu demokrasi juga menjamin kebebasan berperilaku sehingga membuat potensi kekerasan seksual pada anak makin besar.
Hal ini jelas berbeda jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan sehari-hari ditingkat negara. Segala pintu-pintu dan celah-celah yang berpotensi pada munculnya kemaksiatan ditutup rapat-rapat. Segala stimulus-stimulus yang dapat memunculkan naluri biologis akan ditindak oleh negara. Media-media difilter oleh negara dan hanya menampilkan konten yang menambah keimanan dan mengedukasi masyarakat.
Setiap anggota keluarga akan dibina dengan akidah dan didik dengan akidah Islam sehingga institusi keluarga menjadi pabrik pencetak individu yang memiliki keimanan yang kuat, kokoh pandangnya terhadap Islam. Sehingga menjadi tuntunan mereka dalam kehidupan. Penegakan hukum pun ditegakkan seadil-adilnya berdasarkan Al-Qur'an dan hadis yang digali oleh mujtahid. Sehingga menimbulkan efek jera dan pencegah sehingga orang-orang yang ingin melakukan kriminal akan berpikir ulang.
Masyarakat pun tidak individualis, mereka akan menjadi kontrol sosial dengan amar makruf nahi mungkar. Karena masyarakat telah tersuasanakan dengan pemikiraan Islam, bahkan jika ada yang melakukan dosa seperti zina pelaku akan sukarela dihukum dan menyerahkan diri karena takut akan hukuman Allah di akhirat. Seperti kisah Maiz Bin Malik yang mengadu kepada Rasulullah dan meminta untuk mensucikan dirinya dari dosa zina dengan cara di rajam.
Begitulah cara Islam mencegah kekerasan seksual, bukan hanya ditakut-takuti secara penegakan hukum. Namun juga dapat menyadarkan individu terhadap perbuatan dosa besarnya. Hal ini jelas berbeda dengan penerapan hukum saat ini yang terkesan kurang adil dan tidak memberikan efek jera atau bahkan mencegah. Lantas mau sampai kapan hidup di sistem saat ini? []
Oleh: Razzaqurnia Dewi
Mahasiswi
0 Comments