Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bakal Calon Legislatif Mantan Narapidana Korupsi, Pantaskah Mengurus Negeri?


Tintasiyasi.com -- “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).

Sungguh korupsi merupakan tindak kejahatan dan pelanggaran syarat, sebab memakan harta dengan jalan yang batil adalah sesuatu yang Allah benci. Lantas, apa jadinya jika bakal calon legislatif adalah seorang mantan narapidana korupsi?

Warganet ramai-ramai memberikan responsnya mengenai kabar dibolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif DPR, DPD, dan DPRD pada pemilu 2024 mendatang. Warganet pun mempertanyakan kegunaan dari SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Seperti diketahui, izin soal narapidana menjadi caleg ini pun sudah tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g.

Dalam pasal tersebut, tidak terdapat larangan khusus bagi setiap mantan narapidana tindak pidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. Jika mantan koruptor ingin mendaftar, maka hanya diwajibkan mengumumkan kepada publik terlebih dahulu bahwa dirinya pernah dihukum penjara dan sudah selesai menjalani hukuman tersebut (cnnindonesia.com, 22/08/2022).

Kemudian, Indonesian Corruption Watch (ICW) mendapatkan paling tidak 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023 lalu. Bakal calon legislatif mantan narapidana kasus korupsi itu pun mencalonkan diri untuk pemilihan umum tahun 2024 ditingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka ini ternyata berasal dari berbagai partai politik.

Menurut peneliti dari ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik yang ada nyatanya masih memberi karpet merah kepada para mantan narapidana korupsi. ICW menyayangkan sikap dari KPU yang terkesan menutup-nutupi karena tidak juga memberi pengumuman perihal status hukum para bakal calon legislatif ini (voaindonesia.com, 26/08/2023).

Sungguh aneh memang jika dibolehkannya beberapa bekas narapidana koruptor yang mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif. Padahal, dulu sempat ada larangan dari KPU, teta kemudian pada tahun 2018 MA membatalkan hal tersebut dengan alasan HAM (Hak Asasi Manusia). Kebolehan ini pun di satu sisi seolah  menunjukkan bahwa tidak ada lagi rakyat yang layak memikul amanah.

Di sisi lain, hal ini pun menunjukkan bahwa adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bakal calon legislatif tersebut, mengingat untuk menjadi calon legislatif membutuhkan modal yang sangat besar. Jadi benarlah jika orang baik sekalipun jika tidak dukungan dengan modal, maka tidak mungkin dapat mencalonkan diri. Beginilah fakta sistem hari ini yaitu demokrasi.

Kebolehan seorang mantan narapidana korupsi menjadi bakal calon legislatif pun memunculkan berbagai kekhawatiran dari masyarakat akan risiko terjadinya korupsi kembali, sebab mengingat bahwa sistem hukum yang diberlakukan di negeri ini tidaklah sama sekali memberikan sanksi yang memberi efek jera, yang lebih parahnya lagi hukum di negeri ini seolah bisa dibeli.

Jika kita melirik pada sistem Islam yang diterapkan secara kafah, Islam mensyaratkan wakil umat haruslah orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. agar amanah menjalankan perannya, yaitu sebagai penyambung lidah rakyat. Belum lagi sistem hukum dalam Islam yang  sangat tegas sehingga berefek jera, yang dari sinilah akan membuat para pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat, bukan hanya tobat sambal yang besok dengan mudah diulangi kembali, tetapi tobat yang sebenar-benarnya tobat.

Bukan itu saja, dalam sistem Islam yang diterapkan secara kafah pun sebuah sanksi memiliki fungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus dosa), sehingga masyarakat umum akan takut berbuat hal yang sama yang akhirnya kejahatan serupa tidak akan kembali terulang, serta berbagai kejahatan yang sudah dihukum sesuai dengan hukum Islam, maka tidak akan Allah tanya lagi di akhirat kelak.

Untuk itu, bukankah kita sangat merindukan sistem Islam yang diterapkan secara kafah dalam institusi sebuah negara? Maka, marilah sama-sama memperjuangkan. Wallahualam bishshawab.[]

Oleh: Sari Ramadani, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments