Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bacaleg Mantan Terpidana Korupsi, Buah Sistem Demokrasi

TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini dunia perpolitikan dihebohkan dengan adanya manten terpidana korupsi yang mencalonkan diri sebagai calon legislatif. Dari Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023 diketahui terdapat beberapa nama yang merupakan mantan terpidana kasus korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan bahwa setidaknya ada 15 mantan terpidana korupsi yang terdaftar di dalamnya. Mereka mencalonkan diri untuk pemilu di tingkat DPR, DPRD, dan DPD (voaindonesia.com, 26/8/2023)..

Kebolehan mantan narapidana untuk menjadi caleg memang telah tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam UU tersebut tidak ada larangan secara khusus bagi mantan narapidana korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR maupun DPRD. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. Namun jika mereka hendak mendaftar hanya diwajibkan untuk mengumumkan kepada publik bahwa dirinya pernah dihukum penjara dan telah selesai menjalani hukuman. 

Adapun bunyi dari Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu adalah sebagai berikut, 
"Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,"  (cnnindonesia.com, 22/8/2022 ).

Inilah realitas yang terjadi di sistem Demokrasi Kapitalisme. Undang-undang dibuat oleh manusia. Dengan mudahnya Undang-undang dibuat berdasarkan kepentingan segolongan orang. Di sisi lain dalam proses pemilu yang merupakan bagian dari sistem Demokrasi sudah meniscayakan adanya uang untuk bisa mencalonkan diri sebagai caleg. Tanpa disokong dengan uang maka caleg tidak akan mudah untuk menjadi penguasa. Dengan demikian maka modal akan menjadi salah satu kebutuhan yang paling diutamakan dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Adanya pengeluaran modal yang banyak dalam pelaksanaan pesta demokrasi meniscayakan adanya upaya untuk mengembalikan modal dalam waktu yang cepat. Maka kebutuhan untuk mengembalikan modal yang cepat ini dilakukan dengan segala cara. Karena semata mengandalkan gaji itu tidak akan bisa untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan dalam pesta demokrasi. Oleh karena itu korupsi menjadi jalan pintas untuk mengembalikan modal.

Dengan realitas ini wajar dalam sistem demokrasi korupsi semakin tumbuh subur. Apalagi dengan mindset sekularisme kapitalisme yang menjadikan individunya menganggap bahwa agama sebagai sesuatu yang tidak perlu ikut campur dalam kehidupan. Asas agama kemudian digeser dengan materi. Sekulerisme menjadikan seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. 

Dengan adanya kebolehan bagi para mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai caleg hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa korupsi akan terjadi berulang lagi pada masa dia menjabat. Apalagi dalam sistem demokrasi saat ini hukum tidak dilaksanakan dengan tegas sehingga tidak memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan seperti halnya korupsi. Ditambah lagi dalam sistem Demokrasi Kapitalis saat ini hukum bisa dijual belikan. Akan mudah bagi para pemilik modal (uang) untuk bisa berpaling dari hukuman yang diberikan padanya.

Ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam mensyaratkan wakil rakyat haruslah orang yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Mereka juga haruslah orang-orang yang amanah dalam menjalankan tugasnya untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Dalam sistem Islam seorang muslim diberikan kesadaran bahwa setiap dari mereka akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Oleh karena itu hal itu akan mendorong seseorang untuk berbuat sesuai dengan perintah Allah SWT. Begitupun pada individu penguasa dan wakil rakyat. Mereka akan meyakini bahwa amanah yang mereka emban akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda yang artinya,

"Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Dengan demikian penguasa yang terpilih adalah orang-orang yang amanah dalam mengemban tanggung jawabnya. Di sisi lain masyarakat menjadi pihak pengontrol penguasa yang akan menjalankan tugasnya untuk melakukan amar ma'ruf nahi mungkar atas setiap kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa. Dari sisi negara,  maka negara adalah penerap hukum yang tegas dan melakukan menjalankan sistem sanksi dengan menjalankan syariat Allah SWT. Dalam Islam sistem sanksi yang diberlakukan oleh negara memiliki dua fungsi yaitu sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Dengan sanksi yang tegas dan dilaksanakan secara terbuka akan meniscayakan adanya aspek pencegahan yang mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Selain itu juga menjadi penebus dosa ketika di akhirat kelak. Inilah keagungan sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini seorang pemimpin yang cakap dan memiliki kredibilitas yang baik. Yaitu yang memiliki keimanan dan ketaqwaan yang kuat kepada Allah SWT.


Oleh: Desi Maulia,S.K.M
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments