TintaSiyasi.com - Aneh, tetapi nyata. Itulah yang tepat menggambarkan ketika ada mantan napi koruptor menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) Pemilu 2024. Kok bisa-bisanya mereka yang pernah dipenjara karena kasus korupsi mencalonkan dirinya menjadi wakil rakyat? Mereka yang dahulu ‘mencuri’ uang rakyat kok berani, ya, mengajukan diri supaya dipilih oleh rakyat?
Diberitakan bahwa Indonesian Corruption Watch merilis 12 nama mantan napi koruptor yang masuk Daftar Calon Sementara (DCS) Bacaleg yang telah diumumkan oleh KPU pada 19 Agustus 2023. Mereka mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Mereka berasal dari berbagai partai. (voaindonesia.com, 26/08/2023).
Sama anehnya dengan MA dan KPU yang meloloskan para mantan napi tersebut. Lembaga negara ini seperti menggelar karpet merah untuk mantan pelaku korupsi. Padahal sebelumnya, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) 20/2018, KPU melarang mantan koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. KPU juga mengumumkan daftar caleg yang terlibat korupsi. Namun, karena ada gugatan dari mantan koruptor, peraturan ini dibatalkan oleh MA. Pembatalan ini tertuang dalam putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018. Alasannya adalah karena bertentangan dengan HAM, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) UU HAM yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak dipilih dan memilih. (CNN Indonesia, 24/8/2023).
Fakta aneh ini nyata terjadi dalam sistem demokrasi sekuler. Dalam sistem ini, aturan dibuat oleh manusia sehingga digunakan sesuai dengan kepentingannya dengan menafikan aturan Tuhan. Mereka yang menjadi penguasa akan membuat aturan demi meraih tujuannya, melanggengkan kekuasaannya, atau menyingkirkan semua yang menghalangi kepentingannya.
Adanya bacaleg mantan koruptor menunjukkan bahwa sistem ini ‘membolehkan’ siapa saja untuk maju dalam pemilihan selama punya modal. Sebab, kekuatan modal sangat menentukan dalam meraih kekuasaan. Tak peduli jika orang tersebut adalah mantan koruptor, selama ia didukung dengan modal yang besar, ia mampu melakukan apa saja. Lu punya uang, lu punya kuasa.
Korupsi sendiri memang tak bisa dipisahkan dalam demokrasi. Sistem pemilihan yang mahal telah membuka jalan bagi para pemilik modal untuk ikut nimbrung, bahkan mengatur jalannya kekuasaan. Kapitalis adalah penguasa sesungguhnya. Huey Newton, pemimpin Black Panther di tahun 1960-an pernah mengatakan bahwa, “Power to people, for those who can afford it" (kekuasaan untuk mereka yang mampu membayarnya).
Tak heran jika regulasi yang dibuat akan selalu menguntungkan para pemilik modal. Moralitas dan aturan agama akan disingkirkan ketika menghambat kepentingannya. Paradigma memisahkan agama dari kehidupan menjadikan politik menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Korupsi yang katanya akan diberantas, nyatanya seakan dilanggengkan. Korupsi di alam demokrasi lekat dengan lingkaran partai dan kekuasaan. Sulit sekali menyelesaikan kasus korupsi yang menyeret para pejabat. Sekalinya satu orang terkena jaring pemberantasan KPK, biasanya akan merembet ke yang lainnya. Ini yang pastinya akan dicegah oleh kekuasaan karena akan membahayakan eksistensi mereka yang berkuasa.
Inilah rusaknya demokrasi. Alih-alih menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, malah menjadi pelindung pelaku korupsi yang merugikan rakyat. Koruptor sangat merugikan rakyat. Bukan hanya mencuri harta rakyat, tetapi juga mengkhianati kepercayaan mereka.
Jika calon pembuat aturannya saja mantan napi koruptor, adakah jaminan mereka akan benar-benar concern dengan pemberantasan korupsi? Apalagi dalam sistem yang sekuler dan kapitalistik seperti sekarang ini. Sangat rentan sekali memberi jalan bagi mantan napi koruptor untuk melenggang menuju kekuasaan. Nasib rakyat dipertaruhkan. Pemberantasan korupsi hanya tinggal angan-angan.
Beda jauh dengan Islam. Dalam Islam, seorang pejabat atau wakil rakyat adalah orang yang adil dan amanah. Orang yang adil dan amanah pasti mampu menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Ia tidak akan berani berlaku curang atau maksiat seperti korupsi. Sebab, ia sadar bahwa hal itu bertentangan dengan aturan Sang Pencipta.
Tidak sembarang orang bisa menduduki suatu jabatan. Keimanan dan ketakwaan menjadi hal yang mutlak. Sebab tanpanya, kekuasaan akan tersesat dan jatuh pada kezaliman. Ini bertentangan dengan prinsip Islam dan pasti membawa pada kerusakan dan kehancuran.
Karena itulah, tidak cukup hanya person saja yang harus baik, tetapi juga sistem yang menaunginya juga harus baik. Dan itu hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam bernama khilafah. Inilah yang akan menjadikan syariat Allah bisa diterapkan secara menyeluruh. Sistem ini juga akan menempa dan mengkondisikan setiap orang berada dalam ketakwaan.
Dengan penerapan aturan Islam di seluruh sendi kehidupan akan menghasilkan pribadi-pribadi yang berkarakter islami. Setiap perbuatannya akan selalu terikat pada syariat. Jika ia seorang pejabat, maka ia akan bertindak jujur, adil, dan amanah. Tidak akan terpikirkan olehnya melakukan tindak maksiat dan kezaliman. Sebab, ia sadar sepenuhnya bahwa Allah melihatnya dan kelak akan meminta pertanggungjawaban atas jabatan yang diembannya.
Sistem Islam juga akan mencegah dari tindak kemaksiatan seperti korupsi. Harta setiap pejabat akan diawasi. Penambahan yang tidak wajar akan ditelusuri dan harus dijelaskan dari mana asalnya. Jika terbukti melakukan kesalahan, pejabat tersebut akan dikenai sanksi sesuai ketentuan khalifah.
Inilah sistem terbaik yang akan menjauhkan masyarakat dari orang-orang yang curang yang hendak menduduki jabatan. Kehidupan masyarakat akan berada dalam kebaikan di segala aspeknya.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Nurcahyani
(Aktivis Muslimah)
0 Comments