Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Agama dan Kekuasaan Adalah Saudara Kembar


TintaSiyasi.com - Imam Al Ghazali menulis dalam kitabnya, "Al Iqthisad Fi Al I'tiqad", beliau mengatakan bahwa agama dan kekuasaan itu merupakan saudara kembar. Agama itu fondasinya, dan kekuasaan adalah penjaganya.
Semua yang tidak memiliki fondasi akan roboh, dan semua yang tidak memiliki penjaga akan musnah. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara agama dan kekuasaan. Itu sangat penting, tidak terpisahkan. Islam itu agama syamil, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal bernegara.

Namun, Bapak Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tidak sependapat dengan hal itu. Beliau mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memakai agama sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan. Beliau pun memperingatkan agar jangan memilih pemimpin yang memecah belah umat. Seharusnya agama dapat melindungi kepentingan umat. Islam itu mengajarkan agar menebar kebaikan untuk seluruh alam, rahmatan lil alamin, bukan hanya untuk umat Islam saja. (Kemenag.go.id, 3/9/2023).

Pernyataan Bapak Menteri tersebut sangat berbahaya, apalagi bila orang awam, tanpa ilmu yang menerima begitu saja pernyataan itu. Justru agama itu sangat penting dalam memilih calon pemimpin. Islam punya kriteria sendiri dalam memilih seorang pemimpin. Tidak dibenarkan siapa pun berkuasa atau memegang jabatan yang berhubungan dengan kekuasaan, kecuali orang tersebut adalah, beragama Islam, laki-laki, baligh, merdeka, berakal, adil dan memiliki kemampuan.

Sangat disayangkan, pernyataan itu diucapkan oleh seorang Menteri Agama Republik Indonesia. Seharusnya, sebagai seorang menteri, beliau paham betul bahwa agama dan kekuasaan itu tidak dapat dipisahkan. Karena bila dipisahkan, maka akan menimbulkan banyak masalah, seperti yang terjadi pada negeri ini khususnya dan dunia pada umumnya.

Memang benar bahwa Islam itu rahmatan lil alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, jika memilih seorang pemimpin hendaknya yang mengerti hukum-hukum Islam. Yang sumbernya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Namun, hal itu tidak dapat diterapkan saat ini, mengapa?

Karena negeri ini memakai sistem buatan manusia, yaitu demokrasi, dengan jargonnya yang sangat terkenal, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Walaupun nyatanya, keadaan yang terjadi sekarang adalah, dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki.

Bagaimana kriteria pemimpin dalam Islam?
 
Islam punya kriteria sendiri dalam memilih seorang pemimpin. Hendaknya dia seorang yang beragama Islam. Karena negeri ini mayoritas penduduknya beragama Islam, maka yang memimpin haruslah yang beragama Islam.

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu. Mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya kamu termasuk golongan mereka." (TQS. Al-Maidah ayat 51).

Menjadi teman setia saja tidak boleh, apalagi menjadikan mereka itu pemimpin. Seorang pemimpin harus seorang laki-laki. Karena dengan segala keterbatasannya, seorang perempuan tidak boleh jadi pemimpin. Perempuan itu lebih mengedepankan perasaan daripada akalnya.

"Tidak akan beruntung suatu kaum, jika menyerahkan urusan mereka pada seorang perempuan." (HR Bukhari).

Seorang pemimpin itu harus yang sudah baligh. Berarti, anak-anak tidak boleh dijadikan sebagai pemimpin. Pemimpin itu harus merdeka, bukan hamba sahaya. Bisa juga dikatakan merdeka itu bebas dari tekanan. Tidak ada yang menyetir. Bukan merupakan petugas partai, maupun boneka asing. Seorang pemimpin itu harus berakal. Tidak gila atau punya penyakit mental lainnya. Seorang pemimpin juga harus adil. Dalam mengambil keputusan harus sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Seorang pemimpin harus punya kemampuan untuk menggali hukum dari sumbernya yaitu Al-Qur'an. Itulah kriteria yang harus ada pada diri seseorang, jika ingin menjadi seorang pemimpin.

Berbeda dengan keadaan saat ini, di mana setiap orang boleh berlomba untuk mencalonkan diri menjadi seorang pemimpin. Walaupun Bapak Menteri Agama menyatakan tidak boleh memakai agama sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan, namun yang terjadi justru bertolak belakang. Banyak politisi saat ini mendadak alim, bersorban, melakukan shalat berjamaah di masjid, mendatangi pondok pesantren, dan lain-lain. Itu semua tidak luput dari sorotan kamera. Dan itu dilakukan menjelang acara pesta demokrasi yang akan diadakan pada tahun 2024 mendatang.

Jika dipimpin oleh seseorang yang mendadak alim hanya untuk pencitraan saja, maka dapat dipastikan bahwa suatu hari suara rakyat akan diabaikan. Semua aspirasi dan keluhan rakyat tidak akan diperhatikan. Rakyat lagi-lagi gigit jari. Dengan kata lain, yang dibutuhkan dari rakyat hanya suara saja untuk meraih kekuasaan. Begitu menjabat, rakyat ditinggalkan. Maka jangan heran, bila saat ini rakyat makin susah. Sembako tambah mahal, lapangan pekerjaan sulit, biaya kesehatan melambung tinggi, walaupun ada pengobatan gratis, namun itu terbatas hanya untuk penyakit yang ringan saja, dan lain-lain. Sampai saat ini belum ada pemimpin yang memperhatikan urusan rakyat melebihi urusannya sendiri.

Di tengah keadaan yang seperti ini, Islam punya solusi. Solusi yang ditawarkan Islam tidak main-main. Yaitu mengganti sistem buatan manusia menjadi sistem yang berasal dari Allah SWT. Sistem Islam ini terbukti pernah menyatukan umat hampir 2/3 dunia selama berabad-abad. Jika sistem Islam kembali, maka 7 kriteria untuk menjadi seorang pemimpin itu harus ada. Jika salah satunya tidak ada pada diri seseorang, maka tidak layak untuk menjabat sebagai seorang pemimpin. Begitu ketatnya Islam menentukan siapa yang akan berkuasa, karena menyangkut berlangsungnya kehidupan umat. Jika masa itu tiba, maka kesejahteraan rakyat bukan hanya mimpi belaka. Sudahkan tergerak untuk mewujudkannya?

Wallahu a'lam. []


Oleh. Yuli Juharini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments