Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Remisi Napi Korupsi, Kado Pahit HUT-RI Ke-78


TintaSiyasi.com - Kementerian Hukum dan HAM memberikan Remisi Umum dalam rangka HUT ke-78 Republik Indonesia bagi 175.510 Narapidana pada Kamis 17 Agustus 2023 lalu.

Koordinator Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Rika Aprianti menjelaskan terkait pemberian remisi umum ini telah dijalankan sesuai peraturan dan berlaku bagi seluruh Narapidana, termasuk tindak pidana korupsi.

Rika menyebut bahwa remisi yang diberikan ini tidaklah secara cuma-cuma, namun ada syarat administratif dan substantif yang harus dipenuhi oleh Narapidana untuk mendapatkan remisi. Hal ini pun termaktub dalam Peraturan terkait pemberian remisi terdapat dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.

Karena itu, Rika menilai bahwa pemberian remisi ini bisa dilakukan asalkan narapidana yang dimaksud ini memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, Rika menambahkan informasi bahwa dari 2.606 Narapidana yang mendapatkan Remisi Umum II (langsung bebas), dimana dari jumlah tersebut, enam belas diantaranya merupakan Narapidana tindak pidana korupsi (Liputan6.com, 19/08/2023).


Benar-Benar Kado Pahit

Sungguh miris mendengar adanya pemberian remisi kepada narapidana di HUT RI ke-78 ini. Inikah kado pahit di HUT RI ke-78?

Namun, begitulah ketika sistem yang diterapkan sistem sekuler demokrasi, adanya korupsi maupun tindak pidana lainnya adalah suatu keniscayaan, bahkan demokrasilah yang menumbuhsuburkan tindakan pidana ini, termasuk korupsi dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena biaya politik sistem demokrasi yang sangat mahal untuk bisa sampai pada kursi kekuasaan. Karenanya, selama sistem demokrasi ini masih bercokol di negeri ini, maka korupsi maupun tindak pidana lainnya akan makin subur, karena akarnya sendiri tidak pernah dicabut.

Selain itu, jika kita mencermati fenomena pemberian remisi ini, semestinya kita patut mempertanyakan efek jera hukuman bagi koruptor. Di mana, secara fakta para napi ini jelas-jelas memakan uang rakyat. Dan, jika kita menilik pada kondisi rakyat yang kian hari nyatanya kian tergencat tekanan ekonomi, ditambah dibebani berbagai jenis pajak dan ancaman lainnya. Maka, patut kita pertanyakan, bagaimana mungkin para narapidana koruptor ini seketika layak mendapatkan remisi? Apakah hal ini akan membuat efek jera dan mencegah tindakan serupa terulang kembali?


Hanya Sistem Islam yang Tegas

Di dalam Islam, korupsi (ikhtilash) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain. Korupsi merupakan salah satu dari tindakan ghulul yaitu tindakan mendapatkan harta secara curang dan melanggar syariat, baik harta itu diambil dari harta negara ataupun harta rakyat.

Korupsi, apa pun jenisnya, baik berupa uang atau harta kepemilikan negara, kepemilikan individu, ataupun kepemilikan umum hukumnya adalah haram, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang merampok dan merampas atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (golongan umat Muhammad).” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim).

Berbeda dengan kasus pencurian, yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab takzir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi ditetapkan oleh kebijakan seorang khalifah. Karena itu, syariat Islam tidak menetapkan hukum potong tangan pada para koruptor, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Perampas, koruptor, dan pengkhianat tidak dikenakan hukum potong tangan.” (HR. Ahmad).

Hukuman bagi para koruptor adalah berupa hukuman takzir, yang bisa berupa publikasi, penyitaan harta, stigmatisasi, hukum cambuk, hingga hukum mati.

Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna terbukti mampu mencegah tindakan korupsi dengan sejumlah cara, sebagai berikut:

Pertama, khalifah akan memberikan gaji yang memadai bagi aparatur negara dan tunjangan hidup yang layak.

Kedua, khalifah akan menetapkan persyaratan dalam pengangkatan aparaturnya yaitu syarat adil dan takwa, di samping syarat profesionalitas. Dengan begitu mereka memiliki kontrol diri yang kuat.

Ketiga, khalifah menetapkan perhitungan kekayaan baik sebelum menjabat dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka khalifah akan merampasnya.

Umar bin Khattab radhiallahu' anhu apabila ia meragukan kekayaan seorang pejabat atau penguasa, maka ia tidak segan-segan untuk menyita jumlah kelebihan dari harta yang telah ditetapkan sebagai penghasilan yang sah. Kadang-kadang jumlah kelebihan itu dibagi dua, separuh untuk yang bersangkutan dan separuh untuk Baitul Mal.

Keempat, khalifah menetapkan hukuman takzir sebagai hukuman pencegah terhadap para pelaku koruptor.

Inilah cara yang dilakukan oleh khalifah untuk memberantas korupsi. Dan memang, korupsi hanya bisa diberantas ketika sistem Islam ditegakkan dalam naungan khilafah. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Asih Lestiani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments