Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Peringatan Hari Anak di Tengah Nasib Anak yang Jauh dari Layak


TintaSiyasi.com - Presiden ke-2 RI Soeharto berpandangan bahwa anak-anak adalah aset kemajuan bangsa, sehingga pada periode kepemimpinannya ditetapkanlah Hari Anak Nasional (HAN). Dan melalui Keputusan Presiden RI No. 44 tahun 1984, tanggal 23 Juli ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional dengan visi mewujudkan Indonesia sebagai negara yang ramah dan peduli anak (Detik.com, 21/7/2023). Dan peringatan HAN ini pun masih dilakukan setiap tahunnya hingga saat ini. 


Hari Anak Nasional 2023

Pada tahun ini pun HAN diperingati pada tanggal 23 Juli lalu, dengan tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju". Puncak peringatan HAN diselenggarakan di Lapangan Pancasila Simpang Lima, Semarang, Jawa Tengah. Acara tersebut diikuti oleh 644 anak dari seluruh Indonesia dan dihadiri oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Antarafoto.com, 23/7/2023).


Kontradiksi Selebrasi HAN

Namun, sayang di tengah semaraknya selebrasi HAN, nasib anak-anak Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dilansir dari laman Idxchannel.com (17/12/2021), setidaknya terdapat 70 persen rumah tangga dengan anak mengalami hambatan berkepanjangan dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan dan 45 persen rumah tangga dengan anak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makanan bergizi yang cukup. Dan ini menimbulkan dampak stunting, wasting dan gizi buruk pada anak-anak Indonesia. Ini adalah hasil studi yang dilakukan oleh UNICEF bersama UNDP, Kemitraan Australia Indonesia untuk Pembangunan Ekonomi (PROSPERA) dan the SMERU Research Institute pada Desember 2020-Januari 2021.  

Belum lagi jumlah kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan secara signifikan pada 2022. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat dalam statistiknya, pada 2020 kasus kekerasan anak sejumlah 11.278. Lalu, mengalami kenaikan signifikan pada 2021, yakni mencapai 14.517 kasus dan pada 2022 mencapai 16.106 kasus (Republika.id, 28/1/2023).

Sehingga, selebrasi HAN dengan tajuk "Anak Terlindungi, Indonesia Maju" tidak ubahnya hanya sebuah diksi yang nyatanya jauh dari fakta di lapangan. Bagaimana mungkin mengatakan melindungi anak-anak sementara kasus kekerasan anak dan stunting masih tinggi? Tengoklah pula angka putus sekolah yang mengalami tren kenaikan pada 2022 lalu (Cnbcindonesia.com, 28/11/2022). Lalu bagaimana akan mewujudkan Indonesia maju jika masih banyak anak yang putus sekolah dan rakyat miskin masih kesulitan mengakses pendidikan yang berkualitas? 


Siapakah yang Bertanggung Jawab?

Kemiskinan dan faktor ekonomilah yang melatarbelakangi nasib anak-anak Indonesia masih sangat memprihatinkan. Orang tua dari golongan miskin kesulitan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak. Dimulai dari tingginya harga kebutuhan pokok, kemudian proses penerimaan siswa di sekolah negeri yang kerap diwarnai dengan kolusi bukan zonasi. Ditambah ketidakberdayaan orang tua jika ingin menyekolahkan anak karena dibutuhkan materi yang cukup banyak. Dan tidak sedikit pula anak-anak yang terpaksa harus membantu orang tua mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. 

Bukankah ini sama artinya dengan negara tidak memenuhi hak-hak anak? Padahal hak-hak anak sudah tertuang di dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28b ayat (2), "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Namun realitanya, banyak anak-anak yang belum bisa melangsungkan hidup secara layak. Banyak yang tidak tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya karena keterbatasan dalam mengakses makanan bergizi. Selain itu, masih banyak anak-anak yang mengalami diskriminasi sosial dan kekerasan, baik secara fisik, verbal ataupun seksual. 

Jadi, sudah seharusnya selebrasi peringatan HAN dibarengi dengan solusi untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada anak-anak. Namun, hal ini akan sulit untuk ditemui selama sekularisme masih menjadi landasan berpikir di negeri ini. Segala kebijakan yang dikeluarkan oleh negara hanya bersifat superficial dan tidak tepat mengatasi akar permasalahan sesungguhnya, yaitu sistem bathil sekularisme. Pemberian makanan tambahan, subsidi pendidikan dan kesehatan hanyalah sebagian kecil contoh solusi superficial yang diberikan. Lalu masih percayakah dengan sistem bathil sekularisme yang penuh kemudharatan? 


Dengan Islam, Hak Anak Terpenuhi

Sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam, di mana hak-hak anak banyak disebutkan di dalam Al-Qur'an:

Pertama, hak hidup seperti yang disebutkan di dalam QS Al-Isra ayat 31. 
Kedua, di dalam QS Al-Ahzab ayat 5 disebutkan bahwa setiap anak memiliki hak atas kejelasan nasab.
Ketiga, hak memperoleh ASI sebagaimana dianjurkan di dalam QS. Al-Baqarah ayat 233. 
Keempat, di dalam QS Al-Ahqof ayat 15 disebutkan bahwa anak memiliki hak memperoleh asuhan yang baik. 
Kelima, hak pendidikan seperti yang disebutkan di dalam QS Al-Tahrim ayat 6.
Keenam, di dalam QS An-Nisa ayat 11 disebutkan tentang hak anak atas kepemilikan harta benda dan waris. 

Dan pemenuhan hak-hak anak tersebut membutuhkan sinergi antara berbagai pihak. Bukan hanya tugas orang tua semata. Seperti yang disampaikan oleh Ustadzah Chusnatul Jannah, baik keluarga, masyarakat dan juga negara kesemuanya bertanggung jawab menjamin terpenuhinya hak-hak anak (Muslimahnews.net, 25/7/2023).

Keluarga sebagai institusi terkecil di dalam masyarakat dan negara memiliki peran pertama dalam pemenuhan kebutuhan anak-anak. Kedua orang tua bekerjasama mengasihi, mengasuh, memberikan kehidupan yang layak, pendidikan dan pengajaran, serta menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.

Kemudian masyarakat sebagai pihak lainnya pun memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya. Yaitu, menciptakan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak. Penerapan sistem Islam dalam masyarakat, seperti amar makruf nahi munkar dapat menjadi pengontrol perilaku agar anak-anak terhindar dari kemaksiatan dan kejahatan.

Pihak lain yang juga bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak anak adalah negara. Dengan memandang anak-anak sebagai generasi penerus peradaban bangsa, negara akan mengambil peran utama dalam pemenuhan hak-hak anak. Periayahan negara berupa pemenuhan kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Negara akan menyediakan layanan pendidikan berkualitas secara gratis sehingga dapat diakses dan dinikmati oleh seluruh rakyat. Tentunya dengan kurikulum pendidikan yang berlandaskan pada akidah Islam sehingga mampu mencetak generasi unggul yang berkepribadian Islam.

Dengan ketiga pihak saling bersinergi untuk memenuhi hak-hak anak sesuai dengan Al-Qur’an, maka kehidupan anak-anak akan terlindungi dan terjaga. Dan ini semua hanya dapat direalisasikan pada negara yang menerapkan sistem Islam secara kâffah.

Wallâhu a’lam. []


Oleh: Ns. Esti Budi Arti, S.Kep.
Praktisi Kesehatan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments