Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pentingnya Partisipasi Politik dalam Negara

Tintasiyasi.com -- Partisipasi politik dalam arti keikutsertaan dalam berpolitik masih sulit diwujudkan di Indonesia. Berlimpah fakta yang menunjukkan bahwa keikutsertaan warga negara dalam berbagai proses politik masih langka dilakukan. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, semua dipicu oleh regulasi pemerintah sendiri, sehingga warga negara terhalang untuk berpartisipasi dalam politik. 

Politik dalam arti pengaturan urusan warga negara memerlukan aturan yang diterapkan dalam negara. Pengaturan negara baik di negara Islam maupun negara yang bukan berdasarkan Islam ditentukan oleh asas negaranya. Asas inilah yang selanjutnya melahirkan semua aturan yang ditetapkan dalam negara. Karenanya asas negara menjadi sangat penting bagi keberlangsungan dan kondisi negara.

Indonesia sebagai negara demokrasi memandang bahwa berpartisipasi dalam  politik adalah kewajiban bagi setiap warga negara. Partisipasi politik dianggap dapat memengaruhi dan bahkan mengubah kebijakan pemerintah. Partisipasi politik dianggap penting untuk mewujudkan kondisi negara untuk kehidupan rakyat menjadi lebih baik. 

Partisipasi Politik dalam Demokrasi
Dalam Demokrasi, partisipasi politik biasanya diwujudkan dengan proses pemberian suara dalam pemilihan umum. Selain itu adalah diskusi politik, kegiatan kempanye dalam pemilihan-pemilihan pejabat, membentuk partai politik, bergabung dalam partai politik dan melakukan komunikasi politik dengan pejabat serta birokrat. Pelaku partisipasi ini adalah seluruh warga negara, partai politik atau lembaga masyarakat.

Menarik ketika ternyata diketahui, melakukan komunikasi politik dengan pejabat politik dan kalangan birokrat dianggap penting dalam pandangan demokrasi. Walaupun menurut Milbrath dalam wacananya, Sistem Politik Indonesia (6/3/2012) memaparkan beberapa faktor yang penuh bias tendensi ketika orang melakukan partisipasi politik. Namun, tidak bisa disangkal bahwa komunikasi antara pemimpin dan rakyatnya harus ada dan terjalin.   

Jadi partisipasi politik tidak melulu terjadi saat rakyat melakukan pemilihan pemimpin atau pejabat negara. Partisipasi politik juga meliputi penyampaian kritik dan saran atas kinerja pemimpin yang rakyat pilih. Apalagi menurut demokrasi, pemimpin (presiden dan wakilnya) serta pejabat perwakilan rakyat dipilih untuk menjamin keinginan rakyat dapat terpenuhi.

Berbeda dengan Daulah Islam (Negara Islam). Dalam Daulah Islam pemimpin (Amir) dipilih oleh warga daulah untuk menjalankan negara dengan kebijakan menurut peraturan Allah. Bukan untuk menjalankan peraturan sesuai keinginan rakyat (manusia). Sementara kritik dan saran untuk pemimpin disampaikan dalam rangka menjaga pemimpin agar tetap menerapkan aturan yang benar menurut aturan Allah. 

Sayangnya di negara tercinta ini, sudahlah tidak menerapkan peraturan Islam, menerapkan peraturan sesuai pandangan demokrasi-pun tidak mudah. Ketika kritik harus disampaikan untuk memperbaiki kinerja pemerintah, rakyat atau lembaga masyarakat akan dihadang oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Padahal UU ITE sejatinya bukan digunakan untuk membungkam kritik. Revisi UU ITE yang disahkan pada 27 Oktober 2016 ini seharusnya digunakan untuk mengatur tentang informasi elektronik dan dokumentasi elektronik yang berkaitan dengan bukti elektronik. 

Juga mengatur tentang pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tentang tanda tangan elektronik, sistem elektronik dan lain-lain. Demikian seperti yang disampaikan oleh Ahli Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi Mustofa Haffas di Ruang Mahkamah Konstitusi (2/3/2020).

Namun, sayangnya UU ITE ini kemudian menjadi senjata yang ampuh untuk membungkam kritik dari rakyat kepada pemerintah. Jadi saat Presiden Joko Widodo meminta rakyat untuk lebih aktif mengkritik pemerintah, rakyat tidak berani mengkritik, karena dibayang-bayangi oleh ketakutan ancaman pidana UU ITE ini.

Hal ini seperti yang pernah disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) dalam 'Mimbar Demokrasi Kebangsaan' yang digelar oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Jumat (12/2/2021). JK dengan sinis mengatakan, "Beberapa hari lalu Bapak Presiden mengumumkan, silakan kritik pemerintah. Tentu banyak yang ingin melihatnya bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi?" 

Pertanyaan retorik JK itu tentu beralasan. Ia menyoroti dari data Indeks Demokrasi Indonesia yang menurun berdasarkan survei The Economist Intelligence Unit (EIU). Dalam survei itu Indonesia dinyatakan menempati peringkat 64 dari 167 negara di dunia dalam penerapan Demokrasi. Menurut pengusung Demokrasi angka ini tentu menunjukkan kondisi yang buruk. 

Mengkritik Pemimpin Menurut Islam
Dalam pandangan Islam mengkritik justru merupakan sebuah kewajiban. Hal ini kerena di dalam kritik terkandung nasihat yang wajib disampaikan manakala seseorang melihat satu kemungkaran. Ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW;

“Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.”

Bahkan saking pentingnya menyampaikan kritik (nasihat yang ma’ruf), Rasulullah  mengatakan dengan tegas, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian benar-benar mengajak kepada yang ma’ruf dan benar-benar mencegah dari yang munkar atau jika tidak, niscaya Allah akan mengirimkan hukuman (siksa) kepada kalian sebab keengganan kalian tersebut. Kemudian kalian berdo’a kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi dikabulkan” (HR Tirmidzi dari Hudzaifah ibn al-Yaman).

Rasulullah SAW juga pernah bersabda; "Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran (menyampaikan nasihat/kritik) di hadapan penguasa yang zalim" (HR Abu Daud). 

Hadits ini mengindikasikan bahwa mengkritik pemerintah jika kebijakannya salah adalah suatu keutamaan aktivitas, karena pahalanya setara berjihad fii sabilillah yaitu masuk surga. 

Dengan utamanya aktivitas mengkritik dalam bernegara, maka bisa dipastikan jalannya roda pemerintahan akan dinamis dan sehat. Hal ini karena saat sebuah kebijakan yang tidak tepat diterapkan oleh pemimpin negara, ia dapat diperbaiki segera setelah dikritik.

Di sistem bernegara dalam Islam, baik individu, kelompok, partai politik, Majelis Umat ataupun Mahkamah Mazalim dapat dengan mudah mengajukan kritik kepada khalifah terkait kebijakan yang ditetapkannya. 

Karenanya, dalam Daulah Islam tidak akan ditemui presiden atau pendukungnya melakukan persekusi dan pelaporan kepada pihak kepolisian terhadap rakyat yang mengkritik presiden. Tidak seperti kejadian belum lama berselang (1/8/2023), saat seorang akademisi Rocky Gerung menyampaikan kritik terhadap Presiden Joko Widodo terkait pembangunan IKN baru. Ini karena kritik yang disampaikan adalah terkait kebijakan yang tidak tepat, bukan ungkapan penghinaan terhadap pribadi presiden. 

Sejatinya pemimpin ada untuk mengatur dengan peraturan yang benar (Islam). Dan peraturan dan kekuasaan ada hanya untuk melayani manusia (rakyat) dengan keadilan yang menentramkan. Itulah sebabnya dalam pandangan Islam partisipasi politik dalam negara menjadi satu hal yang sangat penting.[]

Oleh: Dewi Purnasari
(Aktivis Dakwah Politik)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments