TintaSiyasi.com - Keindahan penampakan alam akhir-akhir ini dilirik oleh berbagai negara di dunia sebagai komoditi baru yang dinilai cukup menggiurkan. dunia kapitalisme mengaung-gaungkan bahwa pariwisata adalah kunci pertumbuhan ekonomi. Indonesia, sebagai negara yang mengekor kebijakan kapitalis pun tidak ketinggalan. Ditunjang dengan iklim tropis dan keindahan alam yang beraneka ragam, Indonesia terus berupaya keras menaikkan pamor pariwisatanya. Baik skala lokal maupun internasonal. Salah satu tren baru dalam peningkatan pariwisata adalah 'sport torism', yang artinya sebuah kegiatan wisata untuk melakukan aktivitas olahraga maupun menyaksikan sebuah even olahraga. Jadi, negara yang ingin menonjolkan pariwisatanya lewat 'sport tourism' ini harus banyak mengadakan even-even olahraga internasional.
Dalam sebuah seminar virtual Pengembangan Pariwisata Olahraga untuk Pemuda Kemenpora, Menparekraf Sandiaga Uno, menyatakan optimis bahwa pertumbuhan 'sport tourism' di Indonesia bisa mencapai Rp18.790 Triliun pada 2024 (menparekraf.go.id, 24/10/2021). Sejalan dengan optimisme tersebut, sektor pariwisata terus digenjot tanpa memperhatikan lagi dampak buruk ikutannya. Melulu yang diperhitungkan hanya keuntungan materi, padahal ada aspek bahaya yang tak terelakkan ketika pariwisata dijadikan sebagai sumber pendapatan. Apalagi jika dijadikan sebagai satu-satunya pilar perekonomian utama suatu daerah bahkan negara.
Di balik iming-iming besarnya pendapatan, sektor pariwisata membawa konsekuensi besar. Meningkatkan pariwisata artinya membuka gerbang masuk negara selebar-lebarnya bagi asing. Di mana masuknya mereka pasti sekaligus membawa pemikiran dan budaya Barat. Budaya yang banyak bertentangan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Masuknya pengaruh budaya Barat ini sebenarnya sudah dirasakan oleh Indonesia sejak lama. Contoh yang sangat mudah dilihat adalah kondisi yang terjadi di pulau Bali. Sebagai destinasi wisata internasional yang cukup terkenal, Bali bak dikuasai oleh turis asing. Sangat mudah kita menemukan turis yang berpakaian jauh dari nilai kesopanan sebagaimana kebiasaan masyarakat Indonesia. Turis-turis ini bagai mendapat hak istimewa karena kehadiran mereka dianggap mendatangkan keuntungan. Tidak ada teguran atau aturan tegas untuk mengatur perilaku para turis di dalam negeri.
Masuknya turis asing tanpa aturan jelas ini pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah sosial. Di antaranya pergaulan bebas, kriminalitas, maraknya prostitusi, dan lain sebagainya. Mudahnya turis masuk ke dalam negeri banyak dimanfaatkan oleh warga negara asing untuk masuk ke Indonesia dengan tujuan selain berwisata. Ada yang menyelundupkan narkoba, melakukan tindak pidana penipuan, sampai menetap dan mencari nafkah di Indonesia yang jelas menyalahi ijin tinggal. Meningkatnya wisatawan juga berbanding lurus dengan melemahnya stabilitas keamanan nasional. Makin mudah asing masuk ke dalam negeri, tentu keamanan dan kedaulatan negara makin terancam secara fisik.
Jika dikaji lebih mendalam, sektor pariwisata sangat rapuh apabila dijadikan sebagai pilar perekonomian. Banyak faktor yang bisa meruntuhkan ekonomi pariwisata seketika. Ketika sebuah daerah atau negara, menggantungkan pertumbuhan ekonomi pada datangnya wisatawan, praktis ekonomi akan hancur ketika negara mengalami kondisi tertentu yang menyebabkan wisatawan tidak bisa datang. Seperti ketika negara mengalami bencana alam, pandemi, konflik sosial dan lain-lain. Namun ketika wisatawan datang berbondong-bondong sekalipun, tidak hanya keuntungan yang mereka bawa, tapi dampak buruk yang nilainya melebihi keuntungan yang diperoleh.
Meningkatkan pariwisata cara praktis dan mudah bagi negara untuk mendapat pemasukan. Tidak memandang apakah cara ini bisa berkelanjutan ataupun mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Pariwisata sejatinya bukan solusi mendasar bagi masalah ekonomi negara. Sama seperti utang luar negeri dan pajak, sebenarnya adalah solusi yang sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan negeri ini.
Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah di negeri ini lah yang harusnya dikelola sebaik-baiknya sehingga mampu menjadi sumber pendapatan negara yang stabil. Ironisnya, SDA potensial yang begitu banyak justru dikelola oleh asing. Negara hanya mendapat persentase keuntungan yang tak seberapa. Alhasil, negara ini tetap terpuruk dan miskin. Inilah keniscayaan dalam sebuah negara bersistem kapitalisme. Perekonomian dijalankan hanya demi kebaikan dan keuntungan golongan tertentu, bukan demi kesejahteraan seluruh rakyat. Satu-satunya cara untuk keluar dari keterpurukan adalah mengganti sistem kapitalisme dengan sistem yang lebih sempurna, yaitu sistem Islam. Dengan sistem Islam perekonomian akan diatur sebagaimana aturan Allah SWT sehingga tidak ada celah bagi individu atau golongan untuk mengambil keuntungan pribadi. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dinda Kusuma W.T.
Aktivis Muslimah
0 Comments