Tintasiyasi.com -- Indonesia secara klimatologis memiliki dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini secara priodik datang dan pergi kurang lebih enam bulan sekali. Hal ini juga yang mempengaruhi perubahan ekosistem, sosial, lingkungan dan bahkan terjadi bencana alam.
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang ditunjukkan dengan berkurangnya ketersediaan air bersih terhadap kebutuhan. Kekeringan yang melanda di tiga kecamatan di Kabupaten Cilacap sebanyak 7.739 jiwa dari 2.613 KK warga. Kekeringan juga terjadi setelah musim kemarau yang mulai melanda wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya, sejak awal Juni ( Republik.co.id, Juni 2023).
Dampak yang harus dirasakan ketika musim kemarau yaitu warga semakin sulit memperoleh air bersih. Seperti yang terjadi di desa Binangun Kota Banjar Jawa Barat, yang puluhan tahun kesulitan memperoleh air bersih. Air sumur milik warga tidak bisa digunakan untuk minum karena terasa asin. Selain mengandalkan air bersih, bantuan dari BPBD( Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Banjar. Kini warga harus merogoh lebih dalam kantongnya untuk membeli air bersih. Bukan hanya Kota Banjar yang mengalami kesulitan air bersih, tetapi juga pada wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Setiap datang musim kemarau, masyarakat diwilayah yang langganan kekeringan harus berjuang sendiri. Jika ada bantuan pasokan air bersih dari instansi pemerintah sifatnya hanya sementara, hal yang paling mendasar yang mesti dilakukan pemerintah adalah mitigasi yang bukan penanganan dari hilir, melainkan juga dari hulu.
Penanganan dari hulu tersebut berkaitan erat dengan kebijakan negara terhadap pemberian izin. Kemudian izin yang diberikan pemerintah negeri ini kepada pengusaha telah berdampak pada penguasaan aset publik seperti air, migas, hutan secara besar-besaran.
Sumber air yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan publik justru dikapitalisasi. Akhirnya masyarakat kehilangan akses untuk mendapatkan secara gratis dan harus merogoh kocek yang tak sedikit untuk mendapatkan air bersih. Begitu juga dengan hutan yang tak luput dari adanya kapitalisasi.
Pembakaran hutan serta penebangan liar dibiarkan begitu saja meski dampak kerusakan lingkungan dan ekosistem kian mengkhawatirkan. Sementara negara sibuk dengan teken kontrak untuk beragam pembangunan guna memuluskan kepentingan para pemilik modal.
Kapitalisme Sekuler yang bercokol dinegeri ini adalah satu paham yang melandasi negara untuk bertindak karena untung semata. Alhasil, rakyat kian terpuruk dengan kesulitan hidup dan kondisi lingkungan yang rusak, sementara para pemilik modal menikmati keuntungan materi dari kerusakan tersebut.
Islam satu-satunya solusi yang hakiki dalam segala persoalan yang ada, negara akan memastikan adanya pasokan air bersih yang dibutuhkan masyarakat lancar dan memadai. Dan tentunya langkah ini bukanlah hal yang sulit karena tanggung jawab negara adalah sebagai ra'in dan junnah. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw;
"Pemimpin itu adalah pengurus/ penggembala. Iya akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang diurusnya ( HR. Bukhari).
Negara akan mencari solusi terbaik, baik dari jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendeknya yaitu dengan memastikan kebutuhan pokok, kesehatan dan keamanan yang terjamin.
Jika pasokan bahan makanan dan air bersih diwilayah terdekat minim, maka negara akan memenuhinya dengan cara memerintahkan pejabat daerah yang subur mengirimkan pasokan makanan.
Begitu juga dengan jangka panjangnya, negara akan mencari solusi terbaik agar tidak terjadi kekeringan yang terjadi dinegeri atau wilayah lainnya. Selain menanamkan sikap ta'at dan tawakal atas musibah. Negara juga akan mengerahkan tenaga ahli untuk mencari solusi terbaik agar masyarakat diwilayah yang rawan.
Kekeringan mendapatkan air bersih tanpa ada kendala. Misalnya dengan membuat pipa air berskala makro yang dialirkan dari mata air, sungai, laut dan yang lainnya hingga air sampai kepada masyarakat sehingga dapat mereka menikmatinya.
Wallahu a'lam bishshowwab.[]
Oleh: Wakini
(Aktivis Muslimah)
0 Comments