Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Merdeka?


TintaSiyasi.com - Agustus menjadi bulan penting bagi negeri ini. Sebab, pada bulan inilah Indonesia merayakan kemerdekaannya. Beragam acara digelar untuk memperingatinya. Mulai dari upacara bendera hingga lomba-lomba rakyat menjadi agenda rutin tahunan. Segala macam pernak-pernik bernuansa merah putih juga terpampang di berbagai tempat. Semarak kemerdekaan bergema di penjuru negeri.

Bisa dikatakan pula bahwa Agustus adalah bulan ‘kelahiran’ negeri yang terkenal sebagai Zamrud Khatulistiwa ini. Usianya menginjak 78 tahun kini. Usia yang tidak terhitung lagi sebagai ‘anak kemarin sore’ sebenarnya. Pembangunan dan kemajuan telah begitu pesat. Negeri ini juga cukup punya prestasi yang mentereng. Namun sayangnya, beragam ‘prestasi’ buruk juga tak kalah mencoreng.

Berbagai permasalahan berat masih membelit negeri ini seakan tak mau pergi. Kemiskinan dan korupsi menjadi problema yang terus menghantui. Masalah penegakan hukum dan kriminalitas juga terus terjadi. Pendidikan yang mahal, lapangan kerja yang sulit, ketimpangan sosial, stunting, degradasi moral hingga kerusakan alam jelas menandakan ada yang salah pada pengelolaan negeri ini.

Bagaimana media menayangkan berita masyarakat yang mengantre untuk mendapatkan sembako gratis. Dalam kondisi panas terik dan berdesak-desakan, mereka berebut bantuan sosial yang jumlahnya tak seberapa. Bahkan, sampai terinjak-injak. Namun, mereka tak peduli karena memang membutuhkannya. Setidaknya bisa sedikit meringankan beban kebutuhan sehari-hari di tengah harga-harga yang terus naik. Mendingan dibanding nasib mereka yang harus mengais-ngais tempat sampah demi bertahan hidup.

Di lain tempat, kita saksikan betapa mudahnya orang menghilangkan nyawa manusia untuk mendapatkan segepok uang. Hati nurani telah tertutup oleh desakan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Kriminalitas makin menggila dalam hidup yang penuh dengan tekanan di sana sini.

Di sisi lain, kita lihat sekelompok kecil manusia kaya berpesta dan menghambur-hamburkan uangnya seperti tanpa beban. Mereka seolah tak peduli bahwa di sekitar mereka, banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Entah mereka tak sadar atau pura-pura tak melihat. Dengan santainya mereka melenggang dengan tas dan pakaian branded di hadapan jelata yang lusuh dan kurus.

Segelintir orang kaya menguasai sumber-sumber ekonomi negeri yang sejatinya milik bersama. Ketimpangan ekonomi begitu nyata lebarnya. Data BPS menunjukkan bahwa gini ratio pada Maret 2023 sebesar 0,388. Angka ini naik dibandingkan tahun lalu yang sebesar 0,384. Perlu diketahui bahwa gini ratio merupakan pengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Tingginya koefisien gini menandakan tingkat ketimpangan yang tinggi di suatu wilayah. (cnbc.com, 13/7/2023).

Sering pula kita melihat berita tentang orang miskin yang kesulitan mendapatkan akses kesehatan. Mahalnya biaya kesehatan membuat mereka mencari alternatif pengobatan yang lebih murah dan belum terjamin keamanannya. Ada juga yang terpaksa membiarkan sakitnya karena tak punya uang untuk berobat. Padahal, kesehatan adalah kebutuhan mendasar manusia. Ia tak bisa ditunda dan harus segera dipenuhi. Nyawa bisa menjadi taruhannya.

Kian sakit tatkala melihat kasus korupsi yang seakan tak terhenti. Korupsi bak hantu tak berkepala yang menggerogoti harta rakyat. Parahnya, koruptor itu adalah mereka yang harusnya bertindak sebagai pelayan rakyat. Alih-alih mengurusi urusan rakyatnya, mereka justru bersiasat dan mengkhianati amanah rakyat. Meskipun telah dibentuk lembaga anti rasuah, tetapi itu tak mampu menumpas korupsi hingga habis. Bagaimana bisa tuntas jika penegak hukumnya sendiri yang melakukan pelanggaran?

Rakyat lagi yang menjadi korban dari lemahnya penegakan hukum. Rakyat juga terkaget-kaget bagaimana mahkamah tertinggi negeri ini memberikan ‘diskon’ hukuman bagi para pembunuh seorang brigadir polisi. Ini seperti menyampaikan pesan bahwa keadilan bak impian yang sulit tergapai.

Kita juga mengelus dada pada fakta kerusakan moral generasi yang kian parah. Gaul bebas tanpa batas, seks bebas dan meyimpang, narkoba, gaya hidup hedon dan individualis, rapuhnya mental hingga maraknya aksi bunuh diri yang dilakukan generasi muda menjadi gambaran yang tak terelakkan. Pendidikan yang diterapkan selama ini jelas tak mampu menjadikan generasi kita sebagai sosok yang tangguh dan cerdas menyikapi permasalahan kehidupan. Mereka tersesat dalam arus liberalisme sekuler.

Di lain waktu, kita dibuat miris oleh kondisi anak-anak di pedalaman yang harus berjalan kiloan meter atau menerjang kerasnya alam demi bisa bersekolah. Mereka bersemangat menuntut ilmu demi masa depan yang lebih cerah. Sebuah harapan yang digantungkan oleh banyak anak negeri ini. Namun, keterbatasan biaya membuat anak-anak negeri terpaksa berhenti sekolah. Apakah pemerintah tak punya biaya untuk membangun infrastruktur pendidikan yang memudahkan semua mengaksesnya? Bukankah kita punya kekayaan alam yang begitu luar biasa yang seharusnya bisa menjadi sumber pendanaan pendidikan bagi rakyat?

Ketika suara-suara kritis menyuarakan kebenaran, berbagai ancaman siap menghadang. Berulang kali tongkat kekuasaan dipukulkan kepada mereka yang bersuara untuk rakyat. Kritikan dianggap hate speech yang merongrong pemerintah. Kriminalisasi terhadap mereka yang dipandang berseberangan dengan pihak penguasa. Bahkan, tokoh umat yang istiqamah di jalan dakwah juga tak luput dipersekusi, difitnah hingga dibui. Mereka dianggap menentang pemerintah. Padahal mereka ingin menyadarkan dari kesalahan selama ini dan kembali pada aturan Ilahi.

Seperti inikah merdeka? Hati nurani yang jujur pastilah mengatakan tidak. Bukanlah kemerdekan jika kita tak bebas mendapatkan hak dasar kehidupan. Bukanlah merdeka jika manusia harus tunduk pada manusia lainnya di bawah aturan sesuka hati.

Jika kita merdeka, maka tentulah kita bebas mengenyam pendidikan tanpa pusing masalah biayanya. Jika kita merdeka, maka kita tak perlu takut bersuara ketika kebenaran dipecundangi. Jika kita merdeka, maka kita bisa leluasa menjalankan kewajiban sebagai hamba Sang Pencipta tanpa takut dicap radikal atau intoleran. Itulah yang belum kita rasakan hingga kini.

Merdeka tak hanya terbebas dari belenggu penjajahan secara fisik, tetapi juga dari pemikiran. Selama kita terkungkung dalam pemikiran sekularisme kapitalisme yang menjadi inspirasi aksi penjajahan, maka selama itu pula kita belum merdeka. Inilah keadaan kita sekarang. Masih terbelenggu pemikiran kufur buatan manusia.

Kemerdekaan hakiki adalah ketika manusia bisa tunduk sepenuhnya pada seluruh perintah Sang Pencipta. Kita bisa menerapkan aturan-Nya di seluruh bidang kehidupan. Menegakkan syariat Islam secara kaffah demi meraih hidup yang berkah dalam ridha-Nya.

Hanya kepada Allah sajalah, manusia tunduk dan patuh. Tak ada ketundukan pada manusia dan aturannya. Tak ada yang namanya penjajahan dengan dalih apa pun.

Tidak pula manusia diperbudak hawa nafsunya sehingga merasa bebas berbuat apa saja. Sebab, itu artinya manusia belum merdeka sesungguhnya. Apalagi, kebebasan yang kebablasan hanya akan menimbulkan permasalahan dan penderitaan.

Hanya aturan Allah saja yang berlaku. Semua akan berjalan dalam koridor yang benar sehingga terciptalah kehidupan yang teratur, sejahtera, adil, makmur dan mendapat ridha-Nya. Sampai itu terwujud, rasanya belumlah pantas kita bilang merdeka. []


Oleh: Nurcahyani
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments