Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengurai Masalah Karhutla Melalui Paradigma Islam

TintaSiyasi.com -- Tiap tahun, hutan-hutan yang menjaga keberlangsungan hidup bumi terperangkap dalam siklus yang tak pernah usai: kebakaran hutan. Api yang berkobar tak hanya merobek dedaunan, namun juga menghancurkan masa depan alam dan manusia.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, menyatakan bahwa pihaknya telah mengajukan tuntutan hukum terhadap 22 perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. (ppid.menlhk.go.id, 18/08/2023)

Meskipun luas karhutla di wilayah tersebut pada Juli 2023 mencapai 1.962,59 hektar, angka ini masih 13% lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada 2022. Namun, ada potensi peningkatan luas karhutla pada 2023 akibat El-Nino, yang memerlukan kewaspadaan bersama. (nasional.tempo.co, 20/08/2023)

Penting untuk dicatat bahwa kejadian karhutla yang berulang lebih disebabkan oleh kesengajaan perusahaan dalam membakar hutan dan lahan, bukan semata-mata faktor cuaca. Dari perspektif ini, pertanyaan muncul mengenai keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah karhutla.

Tuntutan administratif atau ganti rugi yang diajukan sebenarnya kurang signifikan dibandingkan dengan kerusakan akibat pembakaran hutan itu sendiri. Tuntutan terhadap 22 perusahaan tidak akan meresolusi masalah karhutla secara mendasar. Selain itu, masih ada 900 perusahaan lainnya yang beroperasi di ekosistem gambut dan hutan yang memiliki potensi melakukan tindakan serupa jika ingin membuka lahan.

Karhutla pada dasarnya adalah dampak dari kapitalisasi hutan dalam rangka konsesi. Eksploitasi hutan yang sembrono dimulai setelah diberlakukannya UU 5/1967 tentang Kehutanan. Awalnya, hukum ini bertujuan memajukan ekonomi, tetapi seiring waktu, korporasi mengambil alih dan menyebabkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan.

Tuntutan hukum terhadap perusahaan-perusahaan ini mungkin tidak akan efektif jika regulasi yang memfasilitasi kapitalisasi hutan masih ada. Meskipun ada kebijakan pengelolaan hutan yang ketat, dalam praktiknya kerusakan hutan terus meluas karena pembukaan lahan dan perubahan fungsi lahan.

Prinsip kapitalisme yang menekankan untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya mendorong kapitalis untuk membakar hutan demi membuka lahan baru, meskipun dampaknya pada lingkungan dan masyarakat sangat besar. Keserakahan ini, yang mendasari pada ideologi kapitalisme, menjadi bencana bagi negara.

Di sisi lain, penegakan hukum terhadap perusak hutan terasa kurang efektif. Tampaknya pemerintah kesulitan menghadapi korporasi. Faktanya, korporasi memiliki pengaruh besar dalam kebijakan pemerintah, terutama melalui konsesi hutan.

Berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa hutan adalah milik umum dan hanya boleh dikelola oleh negara. Praktik pengelolaan hutan dan lahan berdasarkan prinsip Islam akan lebih berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Paradigma Islam memandang bahwa hutan adalah milik bersama, dan negara memiliki kewajiban untuk mengelolanya demi kemaslahatan bersama. Islam memandang bahwa kepemilikan hutan tidak boleh jatuh ke tangan individu atau korporasi. Sebagai gantinya, negara memiliki tanggung jawab untuk mengatur dan mengelola hutan serta memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat.

Dalam paradigma Islam, negara memiliki peran penting dalam mengatur hak kepemilikan dan pengelolaan lahan. Individu boleh memiliki lahan, namun mereka juga wajib mengelolanya secara produktif. Jika lahan dibiarkan telantar lebih dari tiga tahun, maka statusnya akan berubah menjadi "tanah mati" dan dapat diambil alih oleh negara untuk dimanfaatkan secara lebih produktif.

Ketika berbicara tentang karhutla, Islam memberikan landasan yang jelas dalam melindungi lingkungan dan sumber daya alam. Pengelolaan hutan dan lahan harus mematuhi prinsip-prinsip Islam yang menghormati keseimbangan ekosistem dan melindungi alam serta manusia. Sanksi hukum Islam dapat diberlakukan terhadap pelaku perusakan alam untuk mencegah tindakan semacam itu.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kehutanan juga dianjurkan dalam Islam untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan dan lahan tanpa mengganggu ekosistem. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan hutan dan lahan, dampak negatif seperti karhutla dapat diminimalisir.

Namun, untuk benar-benar mengatasi masalah karhutla dan kerusakan lingkungan yang lebih luas, perubahan fundamental dalam sistem hukum dan paradigma yang mendasar diperlukan. Transisi dari ideologi kapitalisme ke prinsip-prinsip Islam dalam pengelolaan sumber daya alam seperti hutan adalah langkah penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Oleh: Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments